Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Materi Pendidikan Agama Kaloik SD

Kunjungi Chanel DMC Yos Sudarso

Materi Pendidikan Agama Katolik SMA/SMK

Kunjungi Chanel DMC Yos Sudarso di Youtube

Materi Pendidikan Agama Katolik untuk SMP

kunjungi Chanel DMC Yos Sudarso

Friday, March 22, 2013

Tribunal Perkawinan Keuskupan pada Perkawinan Katolik


Tribunal Perkawinan Keuskupan pada Perkawinan Katolik

 untuk lebih lanjut

TRIBUNAL merupakan suatu lembaga peradilan di dalam Gereja Katolik, yang berwenang menangani banyak perkara dalam Gereja, yang pembentukan dan pelaksanaannya diatur oleh  Hukum Gereja (Kitab Hukum Kanonik). Lembaga ini merupakan tempat diupayakannya penyelesaian suatu perkara menurut ketentuan hukum gerejawi. Perkara yang dimaksud berkenaan dengan keadilan, penuntutan hak, pemenuhan kewajiban, serta akibat yuridis yang menyertainya. Hal ini merupakan wujud / bentuk pelaksanaan konkrit kuasa yudisial yang dimiliki Gereja atas hal-hal spiritual, hal-hal yang berkenaan dengannya, dan pelanggaran terhadap Hukum Gereja (kan. 1401).
Pada dasarnya Tribunal berwenang menangani banyak perkara, namun dalam realitasnya di Indonesia, masalah-masalah yang ditangani oleh Tribunal, masih terbatas pada masalah perkawinan. Oleh karena itu, Tribunal ini lebih tepat disebut sebagai Tribunal Perkawinan. Tribunal Perkawinan  menangani masalah-masalah perkawinan, menyangkut validitas atau sah tidaknya sebuah perkawinan. Aspek-aspek perkawinan lain seperti hak akan pengasuhan anak, kewajiban memberi nafkah terhadap anak atau eks pasangan, dan pembagian warisan atau harta kekayaan lain, dibiarkan menjadi kewenangan Pengadilan Sipil. Terhadap aspek-aspek yang terakhir itu Gereja akan menanganinya hanya apabila diperlukan dan secara insidental  (kan. 1672). 
Proses Anulasi Perkawinan Dalam Tribunal Gerejawi

Sah tidaknya sebuah perkawinan, dilihat dari 3 hal, yakni (Lih. kanon 1057§1) :
1.         Materia Sacramenti (subyek), yakni bahwa perkawinan hanya sah  apabila dilaksanakan oleh dua orang yang  berbeda seksualitas ( laki-laki dan perempuan) yang mampu secara hukum.  Mampu secara hukum berarti bahwa keduanya tidak sedang terkena halangan nikah, baik bersifat kodrati maupun gerejawi, sebagaimana ditentukan dalam kanon  1083-1094;.
2.        Forma Sacramenti (konsensus), yakni menyangkut konsensus atau kesepakatan nikah. Kesepakatan nikah merupakan tindakan kemauan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling memberikan diri dan menerima yang lain untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (Kanon 1057§2). Ada 3 sifat konsensus yang selalu harus ada, supaya perkawinan menjadi sah, yakni:
a.    sungguh-sungguh (verus), menikah dengan serius, tidak simulatif atau berpura-pura, kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata ((Kan. 1101§1);
b.    penuh (plenus), menikah tanpa mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan (Kan. 1101§2), bahwa perkawinan merupakan persekutuan seluruh hidup dan bertujuan untuk kesejahteraan pasangan  serta kelahiran dan pendidikan anak;
c.    bebas (liber), menikah tanpa paksaan dan ketakutan besar.
3.        Forma Canonica (tata peneguhan), bahwa setiap orang katolik hanya dapat menikah secara sah gerejawi di hadapan otoritas Gereja yang berwenang dan dua orang saksi (Kanon 1108), kecuali telah mendapat dispensasi untuk bisa menikah di hadapan petugas resmi di luar Gereja (lih. Kan. 1127§2).

Di dalam Keuskupan, Tribunal berada di bawah otoritas Uskup Diosesan, karena dialah hakim instansi pertama (Kan 1419).  Sebagai hakim utama yg memiliki kuasa yudisial di dalam keuskupan yang dipercayakan kepadanya, kuasa yudisial dapat dijalankannya sendiri atau melalui orang lain, yakni Vicarius Iudicialis dan para hakim (Kan 1420; 135; 391§3). Bersama dengan Vicarius Iudicial dan para hakim, uskup diosesan  membentuk suatu Tribunal  Keuskupan, yang menangani perkara-perkara yang tidak direservasi bagi dirinya sendiri.
      Pendirian Tribunal Perkawinan ini merupakan suatu keharusan seiring dengan keberadaan Uskup diosesan. Tribunal perkawinan ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan Gereja Partikular, karena termasuk salah satu bentuk pelayanan hukum dan pastoral bagi umat beriman di keuskupan. Dalam praksis pelayanan Tribunal perkawinan keuskupan, para hakim berusaha untuk memberikan pelayanan kepada mereka yang mengalami persoalan hukum dalam hidup perkawinannya, dengan harapan mereka mendapatkan solusi yuridis yang memungkinkannya mendapatkan haknya sebagai warga Gereja (sejauh dimungkinkan oleh hukum). Pelayanan yuridis ini harus sesuai dengan prosedur hukum, khususnya sebagaimana diatur dalam norma-norma umum (kanon 1055-1165) dan norma-norma prosedural (kanon 1671-1716).
Tribunal Perkawinan Keuskupan mewujudkan fungsi dan tujuan Gereja menjaga dan melindungi martabat perkawinan (dignitas matrimonii), kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum), dan kebaikan Gereja (bonum ecclesiae) secara umum. Berkenaan dengan martabat perkawinan, Tribunal mengupayakan terpeliharanya keutuhan ajaran iman dan moral Gereja tentang hakekat, ciri hakiki, dan tujuan perkawinan. Hakekat perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae). Ciri hakiki perkawinan adalah kesatuan dan ketidak-dapat-ceraian (unitas et indissolubilitas). Sedangkan tujuan perkawinan adalah kebaikan suami-isteri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis).
Untuk kesejahteraan suami-isteri, Tribunal mengupayakan penyelesaian kontroversi antara hak dan kewajiban suami-isteri secara timbal-balik. Kontroversi yang sering terjadi adalah hal pemberian dan penerimaan diri, dukungan, dan jaminan akan persamaan derajat, eksklusivitas hubungan, dan kemantapan atau keberlangsungan hubungan. Berkenaan dengan kebaikan Gereja, Tribunal mengupayakan terciptanya tatanan hidup bersama yang harmonis dan terhindarkannya skandal. Konkritnya, Tribunal berupaya menyelesaikan kontroversi yang biasa terjadi, yaitu pelanggaran atas nilai-nilai atau norma perkawinan yang benar, baik, dan indah bagi masyarakat. Menghindarkan skandal berarti mencegah timbulnya keheranan, pertanyaan, atau kebingungan atas suatu pelanggaran yang terjadi dalam komunitas gerejawi atau masyarakat umum.   

Beberapa Jenis  Tribunal

Beberapa jenis Tribunal
1.   Tribunal Tingkat Pertama

Di setiap keuskupan dan untuk semua perkara yang dalam hukum tidak dikecualikan secara tegas, hakim tingkat pertama adalah Uskup diosesan (kan. 1419 § 1; DC art. 22), yang dapat  melaksanakan kuasa yudisialnya secara pribadi atau lewat Vicaris Iudisial.  Atas persetujuan Takhta Apostolik, beberapa Uskup diosesan dapat membentuk satu pengadilan tingkat pertama dalam keuskupan-keuskupan mereka, sebagai ganti pengadilan diosesan yang disebut dalam kan. 1419-1421).

2.   Tribunal Tingkat Kedua

Tribunal tingkat kedua sering juga disebut Tribunal Banding atau Tribunal Instasi II. Tribunal banding ini ditetapkan untuk menerima banding melawan putusan dari Pengadilan Tingkat Pertama dari Keuskupan-keuskupan Sufragan. Tribunal Banding bagi Tribunal Keuskupan Sufragan adalah Tribunal Keuskupan Agung atau Keuskupan Metropolit (kan. 1438, 1º). Karena itu, Keuskupan Agung / Metropolit haruslah memiliki Tribunal Instansi I dan II sekaligus. Perkara yang ditangani pada tingkat pertama oleh Tribunal Keuskupan Agung atau Metropolit naik banding diajukan ke Tribunal yang dipilihnya secara tetap (kan. 1438, 2º). Apabila hanya ada satu Tribunal Istansi I bagi beberapa keuskupan, Konferensi Para Uskup dapat membentuk Tribunal Instansi II untuk semuanya (1439 § 1dan 2).

3.   Tribunal Rota Romana

Tribunal ini dibentuk oleh Paus untuk menerima permohonan banding dari berbagai Tribunal Gerejawi. Tribunal Rota Romana mempunyai kewenangan untuk mengadili:
a.    Para uskup dalam perkara perdata dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1419 § 2
b.    Abas Primas atau Abas Superior Kongregasi Monastik dan pemimpin tertinggi tarekat-tarekat religius tingkat kepausan
c.    Keuskupan-keuskupan dan orang perorangan atau pun badan hukum gerejawi lain yang tidak memiliki pemimpin di bawah Paus
d.    Pada tingkat kedua, perkara-perkara yang sudah diputus oleh pengadilan-pengadilan biasa pada tingkat pertama dan diajukan ke Takhta Suci lewat permohonan banding yang legitim
e.    Pada tingkat ketiga atau selanjutnya, perkara-perkara yang telah diputus oleh Rota Romana sendiri dan oleh tribunal mana pun
f.    Perkara-perkara lain yang oleh Paus diserahkan kepada Rota Romana


4.   Tribunal Mahkamah Agung Signatura Apostolik
Kanon 1445 dan Konstitusi Apostolik Pastor Bonus, artikel 122, menegaskan bahwa Mahkamah Agung Signatura Apostolik, mengadili:
a.    pengaduan kebatalan dan permohonan peninjauan kembali secara menyeluruh, dan rekursus-rekursus lain melawan putusan-putusan Rota Romana;
b.    rekursus dalam perkara-perkara mengenai status pribadi-pribadi, yang pemeriksaan ulangnya ditolak oleh Rota Romana;
c.    eksepsi-eksepsi dan perkara-perkara lain melawan para Auditor Rota Romana karena tindakan-tindakan dalam melaksanakan tugas mereka;
d.    konflik kewenangan yang disebut dalam kanon 1416;
e.    persengketaan-persengketaan yang timbul dari tindakan kuasa administratif gerejawi yang secara legitim diajukan kepadanya, dan sengketa-sengketa administratif lainnya yang oleh Paus atau oleh departemen Kuria Roma diajukan kepadanya, dan konflik wewenang antar departemen itu;
f.    mengawasi pelayanan keadilan yang benar dan jika perlu memberi peringatan kepada para pengacara atau orang yang dikuasakan;
g.    memperluas wewenang pengadilan-pengadilan;
h.    memajukan/menyetujui pembentukan pengadilan-pengadilan yang disebut dalam kan. 1423 dan 1439.
Personalia Tribunal

Personalia Tribunal
A.    Hakim Gerejawi Pada umumnya
Kata HAKIM merupakan terjemahan dari bahasa Latin Iudex, yang berasal dari kata ius dan dicere, yang secara harafiah artinya “berkata benar”. Makna kata ini menunjuk pada tugas esensial hakim yakni: menyatakan kebenaran dan melaksanakan hukum. Selain itu tugas seorang hakim merupakan tugas publik dan bukan privat. Maksudnya dia melaksanakan tugasnya dalan nama dan atas otoritas Gereja.  Oleh karena itu, Hakim Gerejawi adalah orang / kumpulan orang yang oleh Gereja diberi otoritas yurisdiksional, bertugas untuk menyatakan dan merumuskan, sesuai dengan ketentuan hukum, segala perkara baik perdata maupun pidana atas nama Gereja sendiri. Karya-karya Hakim Gerejawi selalu diarahkan demi kesejahteraan bersama (bonum commune) dan keselamatan jiwa-jiwa.

B.  Beberapa personalia Tribunal Perkawinan Keuskupan
 Hakim Keuskupan. Kita sudah tahu bahwa bersama dengan Vicarius Iudicial dan para hakim, uskup diosesan  membentuk suatu Tribunal  Keuskupan, yang menangani perkara-perkara yang tidak direservasi bagi dirinya sendiri. Pengangkatan para hakim,  hendaknya untuk jangka waktu tertentu meskipun setelah habis masa jabatannya, mereka bisa diangkat kembali. Jabatan mereka tidak terhenti bila terjadi tahkta lowong. Syarat menjadi hakim: orang yang memiliki nama baik tak bercela; doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat (kan. 1421§3).
    Vicaris Iudisial. Setiap uskup diosesan wajib mengangkat Vicaris Iudisial di setiap keuskupan. Vicaris Iudisial dalam melaksanakan tugasnya bisa dibantu oleh satu atau dua orang Vikjud Pembantu. Kuasa yurisdiksional Vikjud adalah ordinaria vicaris, maksudnya dia melaksanakan tugasnya berdasarkan jabatannya (ordinaria) dan atas nama uskup diosesan (vicaris).
    Promotor Justitiae. Ditunjuk oleh Uskup Diosesan dengan tugas menyampaikan perkara ketika kepentingan umum dilanggar. Apabila ada perkawinan yang menimbulkan skandal karena menunjukkan tanda-tanda ketidaksahan secara jelas, ia berhak dan berkewajiban untuk mengajukannya kepada Triibunal (bdk. kan. 1674 § 2). Karena baru dapat menjalankan hak dan kewajibannya di dalam situasi yang khusus, Promotor Justitiae sangat jarang terlibat dalam Tribunal Perkawinan Keuskupan. Umumnya, pihak yang bersangkutan dengan perkawinan itu sendiri yang mengajukan perkaranya kepada Tribunal (bdk. kan. 1674 § 1).
    Defensor Vinculi. Orang yang bertugas membela keabsahan ikatan perkawinan dalam perkara pembatalan atau pemutusan perkawinan (kan. 1432). Keberadaan Defensor Vinculi di setiap keuskupan adalah wajib. Karena itu, ia semestinya sungguh-sungguh melibatkan diri dalam proses penanganan perkara dengan seksama. Kekuatan kritisnya sangat diperlukan untuk menjaga kebenaran dan ketepatan tentang prosedur yang dijalankan serta pengumpulan bukti atas alasan yang telah ditetapkan. Kepada hakim, ia dapat melakukan intervensi yang berupa saran atau usulan. Berdasarkan apa yang ditemukan dalam keseluruhan proses penanganan perkara, ia harus membuat pertimbangan tertulis (animadversiones) kepada hakim.
     Notarius. Ia mempunyai peran yang khusus berkaitan dengan berkas perkara. Ia bertugas untuk membuat dalam bentuk tertulis berbagai hal mengenai pernyataan pemohon dan responden, keterangan saksi, serta dokumen-dokumen lain yang menyertainya (bdk. kan. 484 § 1). Dalam pemberkasan itu, ia harus menuliskan tempat dan waktu secara tepat (hari, bulan, dan tahun) serta membubuhkan tandatangannya (kan. 484 § 2). Selain mencatat setiap berkas atau dokumen secara semestinya, ia juga harus memberikan tanda atau cap “sesuai dengan aslinya” terhadap setiap salinannya (bdk. kan. 484 § 3).
    Hakim Tunggal dan Asesor + Auditor.  Atas pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal, perkara-perkara perkawinan dapat diserahkan kepada hakim tunggal, yang dibantu oleh asesor  dan auditor. Asesor adalah seorang yang ditunjuk sebagai penasehat / pembantu bagi pengadilan hakim tunggal (kan. 1424).  Sedangkan Auditor adalah seseorang yang ditunjuk, atas mandat hakim, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akan diserahkan kepada hakim (kan. 1428§3).  Jadi, kehadiran asesor dan auditor dalam Tribunal tidaklah wajib, tetapi hanya membantu jika suatu perkara  anulasi perkawinan ditangani oleh hakim tunggal. Oleh karena itu, asesor dan auditor, tidak memiliki fungsi yudisial dalam tribunal. Kehadiran mereka bukan membentuk tribunal kolegial.


Prinsip Dasar Tribunal Perkawinan

Dalam segala perkara, prinsip pertama dan utama harus dipegang oleh hakim, yakni bahwa pengadilan formal harus dihindari. Proses pengadilan formal hanya merupakan upaya terakhir setelah segala upaya yang ditempuh untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa ternyata tidak membuahkan hasil. Hal ini juga dimungkinkan oleh hukum sendiri (lihat Kan 1446, 1676, 1695, 1713-1716). Jadi tidak semua perkara / kasus perkawinan permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Tribunal.  Segala sengketa, kasus-kasus perkawinan di dalam Paroki, hendaknya Pastor Paroki menggunakan sarana-sarana pastoral / mengupayakan pendekatan pastoral (berdamai, rujuk, rekonsiliasi) antara kedua pihak yang bersengketa.
Tribunal Perkawinan merupakan tempat terakhir bagi orang yang berperkara karena jalan damai dan pendekatan pastoral sudah tidak bisa mengatasi persoalan lagi. Instruksi Dignitas Connubii: proses Tribunal adalah via negativa (jalan negatif), karena itu sebaiknya Tribunal tidak mudah menerima perkara. Dianjurkan untuk menempuh via positiva (jalan positif), melalui pendekatan pastoral untuk rujuk kembali.

Di Tingkat Paroki

a.    Prinsip utama
Pastor Paroki perlu menyadari bahwa peradilan formal tribunal hanya merupakan upaya terakhir. Karena itu usaha damai / rekonsiliasi menjadi usaha utama dan pertama
b.    Peran Para Pastor Paroki
Reksa Pastoral Umum
Ø  Para pastor paroki mempunyai tanggungjawab besar untuk menyelenggarakan reksa pastoral sebelum perkawinan dilangsungkan, yakni dengan mempersiapkan calon pasangan nikah dengan baik. Hal ini ditempuh dengan menekankan keluhuran dan kesucian perkawinan serta sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan. Reksa pastoral yang baik sebelum perkawinan akan sangat menentukan kualitas perkawinan.
Ø  Kanon 1063 menegaskan apa yang semestinya dilakukan oleh para gembala umat dalam melaksanakan reksa pastoral perkawinan, yakni:  kotbah dan katekese.
·dengan kotbah dan katekese tentang perkawinan, kaum beriman Katolik dibantu  mengetahui, memahami ajaran serta menghayati makna perkawinan Katolik serta tugas sebagai suami-istri;
·dengan kotbah dan katekese tentang perkawinan, calon pasangan nikah akan memperoleh pandangan yang lebih lengkap tentang tugasnya sebagai orangtua, khususnya dalam mendidik anak-anak  secara fisik, sosial, kultural, moral, religius dan sebagainya (bdk. Kan. 1136).
Ø  Reksa pastoral on-line melalui internet, perlu dipertimbangkan. Kiranya kebutuhan bentuk pastoral semacam ini akan memberi banyak bantuan secara luas kepada umat beriman. Umat beriman sangat berminat pada tulisan-tulisan sederhana terkait dengan perkawinan kanonik: consortium totius vitae, bonum coniugum, konsensus, halangan nikah, dll. Tentu saja, pendampingan on-line tidaklah cukup dan tetap membutuhkan pendampingan langsung dengan tatap muka.
Ø  Kanon 1067 menyebutkan bahwa Konferensi Para Uskup bertanggungjawab untuk menentukan bagaimana penyelidikan kanonik diselenggarakan. Dalam praksis, penyelidikan kanonik atas calon nikah dilakukan melalui tiga cara:
a.    Examen: wawancara langsung pada calon pasangan nikah
b.    Publicatio: pengumuman nikah
c.    Altriis mediis: dokumen-dokumen (surat baptis, surat status bebas, surat nikah luar Gereja, surat cerai, bukti-bukti medis)
Ø  Paus Benedictus XVI belum lama ini – dalam kesempatan allocutio di depan Rota Romana – juga menekankan perlunya mempersiapkan calon pasangan nikah secara serius. Dengan cara ini diharapkan semakin diminimalisasi masalah-masalah perkawinan.
Ø  Penyelidikan kanonik, kadang tidak dipahami dengan baik oleh para calon nikah (para pastor juga?), sehingga sekedar memberi jawaban “ya” atau “tidak”. Karena itu penyelidikan kanonik kiranya baik kalau dilaksanakan tidak hanya sekedar menuntun pasangan untuk memberikan jawaban “ya” atau “tidak”, karena ada bahaya mereka tidak memahami kandungan yang ada di dalam setiap pertanyaan.

Keterlibatan Para Pastor Dalam Proses Anulasi
Secara teoritis, orang yang mendukung dan memberikan nasehat untuk pengurusan nullitas perkawinan adalah advokat. Namun di hampir semua Keuskupan di Indonesia tidak mempunyai advokat. Karena itu, yang diharapkan membantu umat adalah para pastor paroki. Hal-hal yang diharapkan bisa dilaksanakan oleh para pastor paroki, yakni:
a.    Melakukan proses wawancara terhadap orang yang bermasalah (mengurus anulasi).
b.    Ia harus memahami hal-hal yang berhubungan dengan anulasi, misalnya: halangan-halangan nikah, cacat forma, defectus consensus.
c.    Para pastor paroki diharapkan bisa membantu untuk menemukan landasan kebatalan dalam kasus perkawinan dan menggali banyak informasi selama wawancara.
d.    Membantu membuat libellus (surat gugat/surat permohonan), membahasakan kisah perkawinan pihak pemohon (penggugat), memberi argumen atas dasar hukum mana permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Tribunal Perkawinan.

Jadi, sebelum disampaikan kepada Pengadilan Gereja, kasus perkawinan sebaiknya disampaikan kepada pastor paroki setempat. Setelah mendengarkan kasus yang diajukan, hendaknya pastor berusaha menyelesaikannya secara pastoral (kan. 1676). Jika usaha ini menemui jalan buntu, hendaknya pastor mengajak yang bersangkutan untuk mencari dan menemukan alasan yang memadai (caput nullitatis), agar kasus itu dapat diajukan ke Pengadilan Gereja.

Tahapan-Tahapan Tribunal Gerejawi

Tahapan-Tahapan Tribunal Gerejawi

Tahap I : Pembuka Perkara

1.   Pengajuan Libellus kepada Tribunal
Libellus adalah sebuah buku kecil atau sesuatu yang ditulis berupa surat yang berisikan permohonan resmi oleh seseoramg kepada pengadilan Gereja (Tribunal Perkawinan), agar menyelidiki dan menyatakan bahwa perkawinannya dengan pasangannya tidak sah sejak semula. Bentuk libellus biasanya dibuat secara tertulis. Surat gugat ini perlu, sebagai dasar untuk menyelidiki sebuah kasus perkawinan.
Kanon 1501: Hakim tidak dapat memeriksa suatu perkara kecuali jika ada permintaan yang diajukan oleh yang berkepentingan atau promotor iustitiae menurut norma hukum.

2.    Isi dari Surat Gugat ( libellus )
Menurut kanon 1504 – Libellus yang membuka pokok sengketa harus:
1º   Secara esensial menyatakan perkara itu diajukan ke hadapan hakim yang mana, apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu ditujukan.
2º Menunjukkan atas hukum mana penggugat bersandar dan sekurang-kurangnya secara umum, fakta dan  pembuktian mana yang membenarkan apa yang dinyatakan
3º Secara formal harus ditandatangani oleh penggugat atau orang yang dikuasakannya, dengan         disebutkan hari, bulan serta tahun dan tempat di mana penggugat bertempat tinggal
4º Menunjukkan domisili atau kuasi domisili pihak tergugat.

Berdasarkan norma umum, sebagaimana diatur dalam kanon 1504, maka libellus untuk membuka proses pengadilan kasus perkawinan harus mengandung unsur-unsur sebagaimana tersebut di bawah ini.

a.   Pengadilan yang berwenang:
Kan 1673 memberikan penjelasan soal kewenangan hakim bagi anulasi perkawinan yang tidak direservasi Takhta Apostolik:
·         pengadilan dari tempat perkawinan dilangsungkan;
·         pengadilan dari tempat pihak tergugat memiliki domisili atau kuasi-domisili;
·         pengadilan dari tempat pihak penggugat memiliki domisili asalkan keduanya tinggal dalam wilayah Konferensi Waligeraja yang sama serta vikaris yudisial pihak tergugat menyetujuinya, setelah juga  didengarkan pihak tergugat sendiri;
·         pengadilan dari tempat  de facto kebanyakan bukti dapat dikumpulkan asalkan ada persetujuan vikaris yudisial dari domisili pihak tergugat.

Jika terjadi konflik kewenangan tribunal, Kan 1416 memberikan solusi sebagai berikut: “Konflik kewenangan antara pengadilan-pengadilan yang dibawahkannya oleh satu pengadilan banding yang sama, dipecahkan oleh pengadilan banding itu; jika tidak dibawahkan oleh pengadilan banding yang sama, dipecahkan oleh Signatura Apostolik.
Ada satu catatan penting bahwa tribunal yang berwenang untuk anulasi perkawinan itu adalah harus tribunal hakim kolegial dengan tiga hakim (bdk. Kan 1425 § 1). Tetapi dalam § 4 kanon yang sama dinyatakan bahwa jika tidak mungkin membentuk hakim kolegial, Konferensi Waligereja dapat mengijinkan uskup diosesan untuk menyerahkan pengadilan itu pada hakim tunggal.


Siapa yang bisa menjadi penggugat dalam anulasi perkawinan?

Siapa yang bisa menjadi penggugat dalam anulasi perkawinan?

a.    Kan 1674 – Dapat menggugat perkawinan:
1.     Suami atau istri
2.    Promotor iustitiae jika kebatalan sudah tersiar apabila perkawinan itu tidak dapat atau tidak selayaknya disahkan.
Dapatkah perkawinan itu diajukan ke pengadilan untuk dibatalkan setelah kematian dari salah satu pihak atau kedua-duanya? Kan 1675 memberikan jawaban bahwa perkawinan yang selama hidupnya tidak dapat digugat maka setelah kematian juga tak bisa digugat. Sebab kematian juga memutus ikatan perkawinan. Tetapi karena dari perkawinan itu  muncul berbagai hak dan kepentingan, juga jika tidak dapat digugat secara langsung sebagai perkara utama, perkawinan itu bisa digugat secara tidak langsung jika masalah keabsahannya hal yang harus diputus lebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa.  Dalam kasus ini, orang yang memiliki kepentingan sah adalah pasangan yang masih hidup, anak-anak, ahli waris, promotor iustitiae, defensor vinculi.

b.    Kan 1518 – Jika pihak yang bersengketa meninggal dunia atau berganti status atau berhenti dari jabatan atas dasar mana ia mengajukan perkara, maka:
1.     Bila perkara itu belum ditutup, peradilan ditangguhkan sampai ahli waris dari orang yang meninggal atau penggantinya atau orang yang berkepentingan, membuka kembali sengketa itu.
2.    Bila perkara sudah ditutup, hakim harus maju ke langkah-langkah selanjutnya dengan memanggil orang yang dikuasakan jika ada, atau ahli waris dari orang yang meninggal atau penggantinya.

b. Menunjuk data diri dan domisili atau kuasi-domisili Penggugat dan Tergugat
Siapa yang meminta dan siapa yang tergugat, dengan mengindentifikasikan domisili atau kuasi-domisili masing-masing.

c. Sejarah singkat
Kapan dan bagaimana mereka berkenalan. Apakah ada pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan rencana perkawinan dan teristimewa tentang alasan mereka menikah. Hendaknya juga dimuat sejauh mana keduanya saling mengenal (tentang karakter, dll). Apakah ada konflik yang muncul sebelum dan sesudah perkawinan dan motif-motifnya. Apakah ada perceraian sipil dan informasi lain yang mendukung caput nullitatus.

d. Causa Petitum: apa yang diminta?
Memohon kepada pengadilan untuk menganulasi perkawinan

e. Caput Nullitatis
Caput Nullitats perkawinan adalah alasan yuridis yang menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan gugatan anulasi perkawinan.  Disebut alasan yuridis, maksudnya alasan-alasan itu sudah diatur  oleh ketentuan norma atau fakta-fakta yang oleh hukum dinyatakan sebagai dasar tidak sahnya sebuah perkawinan. Ada tiga pelaku penting yang mendapat perhatian dalam tindakan hukum proses  kanonik pembatalan perkawinan, yakni:
(1). Pemohon (quis petit); (2). Hakim (coram quo) dan (3). Responden (a quo petatur).

Ada dua hal pokok untuk menghantar kita pada pemahaman tentang caput nullitatis dalam proses pernyataan batalnya perkawinan kanonik, yakni:

1.   Motivasi untuk bertindak
Setiap tindakan hukum dalam hukum proses perkawinan kanonik selalu dimulai dengan pernyataan kehendak dari orang / pemohon secara bebas dan sadar. Dalam pengertian seperti ini libellus dapat dipahami sebagai tahap awal suatu tindakan hukum yang memegang peranan penting untuk terjadinya pernyataan pembatalan perkawinan di Tribunal. “Hakim tidak dapat memeriksa suatu perkara kecuali jika ada permintaan yang diajukan oleh orang yang berkepentingan atau oleh promotor iustitiae seturut norma hukum. Barangsiapa mau menggugat seseorang haruslah menyampaikan surat gugat kepada hakim yang berwenang di mana diuraikan pokok sengketa serta dimana pelayanan hakim” (Kan 1501-1502).

2.   Elemen-elemen konstitutif  dari libellus
Elemen-elemen konstitutif  dari libellus yang menghantar pada pemahaman caput nullitatis perkawinan kanonik, terdapat dalam Kan 1502 dan 1504.  Pertama, elemen Subyektif terdiri dari: pemohon, yaitu orang / persona yang meminta tindakan hukum melalui proses. Orang / persona, bisa individu, kolektif, badan hukum gereja, dapat mengajukan permintaan gugatan tentang persoalan apapun; dan responden. Kedua, elemen Obyektif yang menyatakan bahwa untuk terjadinya proses peradilan perdata biasa, perlu adanya obyek apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu ditujukan dari seorang yang berkepentingan. Dalam elemen obyektif ini, dinyatakan secara konkret obyek dari konkroversi / perkara itu diajukan ke pengadilan. Ketiga, elemen Yuridis, ditunjukkan atas dasar hukum mana / alasan yuridis mana pemohon bersandar.  Dalam rujukan atas dasar hukum mana pemohon bersandar dapat diambil argumen yuridis dari hukum universal maupun hukum partikular yang berlaku. Tidak perlu diuraikan spesifikasi tindakan dan teks substansial dasar hukum tetapi kaitan persengketaan itu dengan norma hukum, entah statuta, hukum partikular / universal, yang diketahui oleh hakim tribunal. Dengan demikian, memudahkan para hakim untuk merumuskan persoalan / persengketaan (ad litem contestandam), dan atas dasar apa keabsahan perkawinan itu digugat (caput nullitatis atau capita nullitatis), kemudian menyampaikan kepada pihak yang berperkara (bdk. Kan 1677§3).  Secara empiris dinyatakan bukti-bukti mana yang membenarkan apa yang dinyatakan dalam permohonan pernyataan pembatalan perkawinan. Keempat, elemen Postulat, sebagai unsur terakhir libellus, adalah permintaan pemohon agar hakim mengintervensi  untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Permintaan hendaknya jelas dengan mencantumkan tanda tangan pemohon dan atau prokurator, hari, bulan dan tahun serta tempat tinggal pemohn (domisili / kuasi domisili).

Menentukan Caput Nullitatis
Persoalan pokok dalam menentukan caput nullitatis adalah persesuaian antara realita persengketaan perkawinan dengan landasan yuridis sebagai alasan pernyataan pembatalan perkawinan dan pembuktian melalui saksi-saksi biasa maupun saksi ahli.  Persesuaian ini penting agar pokok sengketa yang diajukan kepada hakim dapat sungguh terbukti oleh bukti-bukti empiris maupun yuridis bahwa perkawinan itu dapat dinyatakan batal.
Pembatalan sebuah perkawinan terjadi apabila salah satu dari 3 hal di bawah ini terbukti yakni:
a.    adanya halangan baik umum maupun khusus
b.    adanya cacat konsensus
c.    adanya cacat forma canonica

Tidak terlalu sulit jika caput nullitatisnya berkaitan dengan halangan-halangan nikah baik umum maupun khusus serta mengenai cacat forma kanonika, karena pada umumnya cukuplah kita mencari semua alat bukti, misalnya: halangan ikatan nikah perkawinan, cukuplah dicari dokumen-dokumen surat baptis, surat perkawinan sipil, dsb.  Menjadi agak sulit ketika masalahnya justru mengenai kemungkinan adanya cacat konsensus (ketidakmampuan dalam menyatakan konsensus). Kesulitannya terutama disebabkan karena konsensus adalah tindakan personal seseorang yang berasal dari keputusan batin. Oleh karena itu, kita hanya dapat merumuskan atau menentukan cacat konsensus kalau kita memiliki pengetahuan mengenai  skema pokok-pokok yang bisa dijadikan caput nullitatis terutama yang berkaitan dengan cacat konsensus.

Agar perkawinan dapat diproses sampai dihasilkan putusan afirmatif atau negatif oleh pengadilan gerejawi tingkat I, harus memenuhi 4 kriteria berikut:
a.    Mempunyai cacat / kekurangan
Umum menyebut cacat atau kekurangan ini dengan kata alasan yuridis. Hal itu bisa berkenaan langsung dengan salah satu atau kedua pasangan atau perkawinan itu sendiri.

b.    Cacat / kekurangan tersebut sesuai dengan KHK
Maksudnya, alasan yuridis itu berkenaan dengan halangan yang menggagalkan (kan. 1083-1094), kesepakatan tidak bebas, benar dan penuh (kan. 1095-1107) atau forma / tata peneguhan tidak terpenuhi (kan. 1108-1123). Halangan yang menggagalkan mengena langsung pada orang atau subyek perkawinan, kesepakatan yang cacat mengena pada tindakan, dan forma mengena pada bentuk atau wujud lahiriah perayaan perkawinan.

c.    Adanya sebelum atau sewaktu perayaan
Cacat atau kekurangan itu telah ada sejak sebelum atau sekurang-kurangnya sewaktu perkawinan itu dirayakan. Perlu ditegaskan di sini bahwa telah adanya cacat kekurangan tidak sama dengan saat diketahuinya cacat atau kekurangan itu. Artinya, sangat mungkin cacat atau kekurangan itu telah ada sebelum perkawinan tetapi baru dikenali, disadari, atau diketahui sesudah perayaan perkawinan.

d.    Ada kemungkinan dibuktikan
Hal itu menunjuk pada adanya atau tersedianya saksi-saksi yang mungkin tampil, berbagai dokumen yang mungkin dikumpulkan, atau keduanya. Hanya melalui itu, hakim dapat sampai pada kepastian moral dan dapat membuat putusan afirmatif atau negatif.


Beberapa pokok persengketaan sekitar cacat konsensus yang dapat menjadi caput nullitatis

1. Penggunaan akal-budi secara  tidak mencukupi: kan. 1095 § 1
Pengertian
Ada keyakinan bahwa pada dasarnya setiap orang dianugerahi oleh Tuhan akal-budi (ratio) yang mencukupi dan kemampuan untuk menggunakannya (usus rationis) secara memadai. Namun demikian, ada keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat mengganggu, menghambat, atau bahkan menghalangi, sehingga penggunaan akal-budi itu tidak memadai atau sama sekali tidak dimungkinkan. Mengenai hal itu, dua hal ditunjuk di sini. Pertama, penggunaan akal-budi pada seseorang yang secara umum dan dalam keseluruhan waktu tampak sangat rendah. Contohnya: orang debil, orang idiot, atau sejenisnya. Kedua, penggunaan akal-budi pada seseorang yang tampak sangat rendah hanya dalam waktu-waktu tertentu ( misalnya ketika kesepakatan perkawinan diungkapkan ). Contoh: orang yang sedang mabuk, linglung, trans, kesurupan, atau tidak sadar (karena pengaruh zat kimiawi tertentu, obat-obatan atau penyakit pada umumnya).

Pembuktian
Yang perlu diselidiki pada orang yang demikian adalah kemampuannya untuk ber-abstraksi atau  ber-asosiasi. Abstraksi adalah kemampuan membayangkan atau menghadirkan benda, peristiwa dan nilai dalam pikiran. Asosiasi adalah kemampuan melihat hubungan antara berbagai hal, peristiwa atau nilai dalam kerangka sebab-akibat. Kekurangan menggunakan akal-budi secara permanen dapat ditunjukkan dengan cara mencari kepastian bahwa yang bersangkutan termasuk dalam kategori orang debil atau idiot. Kekurangan penggunaan akal-budi ketika kesepakatan diungkapkan, ditunjukkan dengan mencari kepastian bahwa pada saat itu ada gangguan, hambatan, atau halangan yang menyebabkan demikian. Gangguan, hambatan dan halangan itu dapat berupa keadaan atau peristiwa.

2. Tidak mampu membentuk pandangan  tepat mengenai pemberian dan penerimaan hak dan kewajiban perkawinan: kan. 1095.2°

Pengertian
Yang dapat terkena kekurangan atau cacat (defectus) ini adalah orang yang memiliki kemampuan akal budi cukup dan dapat menggunakannya secara memadai, namun secara obyektif ada kekurangan dalam penilaian, pertimbangan dan keputusannya yang dihasilkan oleh akal-budi yang digunakan itu. Seorang anak kecil yang pandai dapat dengan mudah menghafal  rumusan atau definisi tentang perkawinan, tetapi hampir pasti ia tidak mengerti arti atau nilai yang sesungguhnya dari perkawinan itu.  Begitu juga orang yang lingkungan hidupnya ditandai  oleh kebiasaan kawin-cerai, kebebasan seksual, serta gaya hidup, tata nilai, budaya permisif atau sejenisnya. Sangat mungkin, orang demikian tidak mengerti arti penting atau nilai luhur seksualitas, ikatan perkawinan yang tak dapat diputuskan, dan sakramentalitas perkawinan. Kalaupun mengertinya, mungkin sekali ia tidak sampai pada tingkat keyakinan yang dituntut untuk sahnya kesepakatan perkawinan. Akibatnya, hal-hal itu tidak masuk dalam prioritas yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Akibat lebih lanjut, hal-hal itu mudah dan bahkan sangat mudah dikalahkan atau dikuburkan..

Pembuktian
Penempatan tugas dan kewajiban pokok perkawinan diantara tugas dan kewajiban lain dalam kehidupan sehari-hari; keputusan lebih ditentukan oleh perasaan senang atau tidak senang. Misalnya: lebih mementingkan menonton  televisi atau sekedar bejalan-jalan dengan teman daripada mengantar pasangan yang sakit ke rumah sakit; membiarkan pasangan melacur asalkan mendapat uang; memilih menggunakan uang untuk judi daripada untuk membiayai pendidikan anak; memilih menyakiti atau menyiksa diri daripada bekerja agak jauh dari tempat tinggalnya; memilih memperkerjakan anaknya yang masih di bawah umur daripada diri sendiri bekerja dengan gaji yang lebih rendah. Untuk semua itu dapat dilihat berbagai kemungkinan berikut: usia yang terlalu muda, ketidakmatangan pribadi, kebiasaan yang tidak baik, pendidikan yang buruk, atau lingkungan yang tidak sehat, pengalaman traumatis, kehamilan pra nikah, KDRT, ketergantungan / kekanak-kanakan pada orangtua.

3. Ketidakmampuan menjalankan kewajiban pokok perkawinan: kan. 1095.3°

Pengertian
Orang yang mengalami ketidakmampuan ini umumnya memiliki kemampuan akal budi yang cukup dan mungkin cukup matang kepribadiannya. Namun keadaan psikisnya mengganggu, menghambat atau bahkan menghalangi pelaksanaan dari apa yang ia mengerti dan janjikan. Menjadi caput nullitatis sejauh gangguan psikis tersebut (trauma, sindrom, kekacauan/gangguan mental, kelainan kejiwaan, penyimpangan psikologis) membuat yang bersangkutan tidak mampu melaksanakan kewajiban hakiki perkawinan. Keadaan psikis yang adalah bagian dari dirinya itu berada diluar atau diatas kontrol dan kuasanya sehingga membuatnya demikian. Dengan keadaan psikisnya itu, ia sungguh-sungguh tak berdaya.

Pembuktian:
kewajiban pokok perkawinan berkaitan langsung dengan hakikat, tujuan dan ciri hakiki perkawinan (kanon 1055-1056).
a.    Hakikat: menghidupi identitas dan melaksanakan misi perkawinan (hidup sebagai persekutuan yang senasib dan sepenagungan);
b.    Tujuan: menjadi pasangan, kekasih, orangtua;
c.    Ciri-ciri hakiki: menjadi pasangan yang esklusif, seutuhnya dan selamanya
Kebutuhan bantuan expert sangat dibutuhkan, dengan catatan bahwa gangguan psikologis tidak harus sampai pada gangguan klinis. Harus dicari kemudian kepastian bahwa yang membuat pelaksanaan satu atau beberapa kewajiban pokok itu tidak terpenuhi bukanlah cacat, kelemahan, kelumpuhan dan tidak berfungsinya salah satu / beberapa organ fisik.
Gangguan psikologis yang baru diketahui setelah perkawinan, hanya dapat dijadikan caput nullitatis sejauh dapat ditelusuri keberadaannya sejak sebelum perkawinan atau sejak awal pernikahan. Contoh: Setiap kali melakukan hubungan seksual, suami selalu menyakiti istrinya.

4. Ketidaktahuan mengenai hakikat perkawinan (ignorantia): kan.1096 §1

Pengertian
Hakikat perkawinan adalah persekutuan tetap suami-istri dengan tujuan melahirkan anak melalui hubungan seksual. Apabila seseorang  tidak mempunyai pengertian akan hal itu, ia dianggap sebagai orang yang tidak mampu memberikan kesepakatan nikah. Ia melakukan kesepakatan tanpa obyek kesepakatan.  Perlu diperhatikan di sini bahwa ketidaktahuan (ignorantia) itu dianggap tidak ada  kalau seseorang telah melewati masa pubertas. Tetapi,  tetap berlaku ketentuan yang memungkinkan untuk pembuktian yang sebaliknya.

Pembuktian
Membuktikan ignorantia tentang perkawinan, harus dilihat kemampuan akal budinya, usianya, dan lingkungan hidupnya. Sangat mungkin bahwa orang benar-benar tidak memiliki pengetahuan itu karena usianya terlalu muda atau lingkungan yang sangat mentabukan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Umumnya, kalau ignorantia itu disebabkan oleh usia yang terlalu muda, caput nullitatisnya lebih tepat diarahkan pada kekurangan umur (kan. 1083§1). Apabila disebabkan oleh kurangnya lemah akal-budi, caput nullitatis lebih diarahkan pada penggunaan akal-budi yang tidak mencukupi (kan. 1095 § 1).

5. Kekeliruan mengenai kualitas orang (error in persona): kan. 1097 §2

Pengertian
Kanon 1097 ini, termasuk ke dalam error in persona. Prinsip umum yang mau ditekankan adalah tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kesesatan tentang sesuatu yang merupakan inti tindakan atau syarat mutlak adalah tidak sah (bdk. Kan 126). Ignorantia et error objective essentialis”, kekeliruan dan ketidaktahuan membentuk secara substansial pandangan tindakan yuridis yang tidak menghasilkan apa-apa (bdk. Kan 1097§1). Dalam kan. 1097, dinyatakan dua bentuk kekeliruan: yang pertama, error in persona sebagai error substantialis. Cerita tentang Yakob yang berkeinginan menikah dengan Rahel orang yang diketahuinya, ternyata dia menikah dengan Lea yang tidak dikehendakinya (bdk. Kej. 29:15-30). Kedua, error in qualitate personae: kekeliruan mengenai sifat kepribadian (kualitas), yang merupakan tujuan langsung dan utama kesepakatan serta kualitas itu harus serius dan berat secara objektif ( berdasarkan pandangan masyarakat ) dan subjektif ( menurut  orang itu sendiri yg memberi nilai substansial pada kualitas itu).

6.Tipu muslihat (error dolosus): bdk. Kan. 1098).
Kanon ini masih berbicara tentang error (kekeliruan) karena tertipu, yakni orang menikah karena tertipu. Kekeliruan ini disebabkan oleh kejahatan orang lain lewat tipu muslihat dan dengan tindakan ini, seseorang mau menanamkan sebuah realitas palsu dalam diri subjek yang tidak sesuai dengan realitas riil dan objektif.  Kanon ini diadakan untuk melindungi orang-orang yang akan menikah dari setiap bentuk penipuan yang dapat sangat merugikan keputusan kehendak bebas. Penipuan ini dibedakan atas dolus directus: penipuan yang langsung direncanakan oleh subyek pelaku dan dolus indirectus: melakukan penipuan tetapi lewat perantara orang lain. Jenis-jenis penipuan, mis: menjebak, menutup-nutupi,  main sandiwara mengenai sifat / kualitas yang seandainya diketahui oleh pihak lain, pasti pihak lain itu akan menolak untuk menikah dengannya, penyakit, kualitas moral, dlsb.

7. Pengecualian (exclusio atau simulatio) bdk. Kan 1101
Dalam doktrin yurisprudensi, caput nullitatis berdasarkan pada kan 1101, disebut dengan simulatio, sementara dalam KHK 1983, ditemukan istilah exclusio (pengecualian). Simulatio dibedakan atas simulatio  partialis: apabila salah satu atau kedua belah pihak dengan positif mengecualikan salah satu unsur hakiki perkawinan; dan simulatio totalis: apaila salah satu atu kedua belah pihak dengan positif mengecualikan perkawinan itu sendiri.  Agar dapat memahami fenomena simulatio dalam kan. 1101 ini, perlu dilihat kembali prinsip yang dinyatakan dalam kan. 1057. Hal mana dinyatakan dalam kan. 1057 bahwa kesepakatan adalah perbuatan kemauan (actus voluntatis) antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat perkawiman. Jadi untuk membentuk kesepakatan (consensus) dibutuhkan kecukupan menggunakan akal budi (sufficienti rationis), kan. 1095§1) dan perbuatan kemauan diperlukan pengetahuan yang minimal apa itu perkawinan (bdk. Kan. 1096), suatu kemampuan membentuk pandangan mengenai hak dan kewajiban hakiki perkawinan (bdk. Kan. 1095§2) dan keabsahan internal maupun eksternal (bkn. Kan. 1103).
Contoh: Orang yang sebenarnya tidak mau menikah dengan orang yang dijodohkan oleh orangtuanya, namun akhirnya menikah demi orangtua yang sangat mengharapkan perkawinan tersebut dan demi orangtua yang sakit-sakitan. Selama perkawinan pun yang bersangkutan merasa hidup dalam neraka. Memang dengan perkawinan tersebut, masalah yang dihadapi oleh keluarga dapat diselesaikan. Perkawinan ini menjadi simulatio totalis, sejauh perkawinan dilaksanakan demi menyelesaikan masalah. Ada desakan dari dalam yang memaksa yang bersangkutan berkeputusan untuk menikah.
Perkawinan ini dalam kategori metus reverentialis sejauh perkawinan dilaksanakan demi orangtuanya. Di sini ada desakan pihak luar yang memaksa yang bersangkutan untuk menikah. Orang menikah lebih karena kehendak orangtua yang sudah dalam keadaan sakit-sakitan.  Contoh lain: perkawinan karena kehamilan di luar nikah: perkawinan ditempuh sebagai jalan satu-satunya untuk menghindarkan sesuatu yang dipercayai akan terjadi

8. Perkawinan bersyarat: kan. 1102
Kanon ini berbicara tentang kesepakatan bersyarat (consensus conditionatus), yang dibedakan tiga macam: mengenai sesuatu yang akan datang, mengenai sesuatu yang sekarang dan mengenai sesuatu yang sudah  lampau.
Kesepakatan bersyarat mengenai sesuatu yang akan datang selalu menggagalkan perkawinan, karena membuat status perkawinan tidak jelas. Misalnya: “Saya mau menikahi kamu, asal nanti tetap bebas untuk menjalin hubungan  dengan orang lain”. Sedangkan kesepakatan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang atau yang lampau, validitas perkawinan sangat tergantung pada terpenuhi-tidaknya syarat yang dicanangkan. Misalnya: “Saya mau menikahi kamu, asal kamu masih perawan”.  Kanon 1102§2 memperbolehkan dilaksanakannya perkawinan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang dan yang lampau. Namun untuk melakukannya, dibutuhkan izin dari Ordinaris wilayah (kan 1102§3).
Condicione masuk ke dalam salah satu elemen aksidentil yang dapat menggagalkan perkawinan dengan merujuk pada kan. 124§1: “Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya dan pula agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu”.

9. Paksaan atau ketakutan besar (vis et metus): kan. 1103

Pengertian
Suatu dorongan atau desakan yang tak dapat ditahan atau ditolak (fisik atau moril). Paksaan atau ketakutan terjadi apabila perkawinan dilaksanakan lebih untuk menghindari kemungkinan terjadinya sesuatu yang lebih buruk. Perasaan takut dibedakan dua macam, yakni:  perasaan takut yang biasa (common fear), yang ditimbulkan oleh ancaman / bahaya dari orang jahat atau orang yang memusuhinya; dan perasaan takut terhadap orang yang dihormati (reverential fear), ditimbulkan oleh kemungkinan akan terjadinya hal buruk atau ketidaksenangan pada seseorang yang seharusnya dihormati secara khusus (mis: orangtua, kakak, pemimpin, wali, dll).

Pembuktian
Perlu dilihat latar-belakang orang yang bersangkutan, juga bentuk dan tingkat ketergantungannya pada orang lain atau orangtuanya, konkritnya: hubungan yang bersifat superior-inferior.
Mengamati mekanisme terjadinya paksaan atau rasa takut:
a.    mula-mula ada suatu keyakinan dari pihak inferior mengenai sesuatu yang dimiliki dan dipertahankan oleh pihak superior (kehormatan, nama baik, status ekonomi/sosial, dll)
b.    keyakinan ini dibarengi keyakinan bahwa pihak inferior harus menjaganya juga: apa yang dimiliki pihak superior terancam oleh kesalahan pihak inferior. Karena itu perkawinan pihak inferior menjadi penyelamat pihak superior.

Melihat beratnya ancaman, terkait dengan bentuk dan wujud kerugian yang sungguh diyakini pihak inferior bila tidak terjadi perkawinan. Biasanya didahului dengan gagalnya usaha meniadakan penyebab ancaman (menghindari hubungan, menggugurkan kandungan, dll).

f.   Lampiran-lampiran
Meminta dokumen-dokumen jika mengenai perkawinannya:
·         Surat Baptis dan Surat perkawinan
·         Berkas penyelidikan Kanonik
·         Sertifikat Kursus Persiapan Perkawinan
·         Surat dispensasi beda agama atau ijin beda agama
·         Daftar para saksi dengan alamatnya
·         Salinan Akta Nikah Sipil
·         Salinan Putusan Cerai Pengadilan Negeri
      
3. Pemeriksaan Libellus: Menerima atau menolak
Setelah menerima Libellus, Vikaris Yudisial menetapkan Tribunal Kolegial dengan sebuah dekret supaya diketahui siapa para hakim yang akan memproses perkara anulasi itu. Susunan hakim kolegial terdiri dari: satu orang hakim ketua, dua orang hakim anggota, Defensor Vinculi dan Notarius. Hakim ketua, entah seorang diri atau secara kolegial bertugas memeriksa libellus untuk diterima atau ditolak.
Kanon 1505§2 menjelaskan alasan-alasan libellus ditolak, yakni:        
a)    Jika hakim atau tribunal itu tidak memiliki kompetensi untuk mengadili;
b)   Jika ada kepastian bahwa penggugat tak memiliki kemampuan legitim untuk menggugat di pengadilan,
c)    Jika tidak ditepati ketentuan Kan 1504, 1-3;
d)   Jika pasti nyata bahwa libellus itu tak punya dasar apapun untuk menggugat. Jika libellus ditolak karena cacat yang dapat diperbaiki, penggugat dapat membuat libellus yang baru yang disusun secara baik dan menyampaikannya lagi kepada hakim.
Kanon 1506 menegaskan mengenai penerimaan libellus secara  ipso facto artinya berdasarkan hukum itu sendiri yakni jika dalam waktu satu bulan sejak libellus diajukan, Tribunal yang berwenang tak mengeluarkan dekret dengan mana menerima atau menolak libellus itu, maka pihak yang  berkepentingan dapat meminta agar hakim  menunaikan tugasnya; dan hakim tetap diam saja, maka setelah lewat 10 hari sejak permintaan itu tanpa ada keterangan, libellus dianggap sebagai diterima.

4.      Pemanggilan Tergugat (Kan 1507-1512; 1677)
Pemanggilan biasanya dibuat dalam bentuk sepucuk surat oleh Tribunal, yang dialamatkan kepada responden dengan permintaan agar menjawab secara tertulis atau secara pribadi menghadap ke Tribunal untuk menjawab gugatan pemohon.  Hakim dapat mengatur cara pemanggilan itu menurut norma Kan 1508-1511. Dengan pemanggilan itu, maka pengadilan resmi dibuka dan perkara jatuh di tangan hakim yang menerima pengaduan. Responden yang menolak suatu panggilan dianggap  sebagai sudah dipanggil secara legitim (bdk Kan 1510).
        Kanon 1512 menyatakan efek yuridis dari pemanggilan itu:
o   masalah sudah tidak netral lagi (menjadi perkara sengketa)
o   masalah jatuh di dalam hakim atau pengadilan itu, yang menerima pengaduan yang diajukan dan memang berwenang;
o   yurisdiksi hakim yang didelegasikan menjadi kokoh sehingga tak terhenti meski si pemberi delegasi itu telah tiada;
o   daluwarsa terputus, kecuali ditentukan lain;
o   pokok sengketa mulai dibuka, maka segera berlaku prinsip ‘selama sengketa, jangan mengubah apa-apa’ (lite pendente nihil innovetur).

5.    Penentuan Pokok Sengketa
Kan 1667 § 3: Rumusan persoalan tidak hanya memasalahkan apakah perkawinan yang                                       bersangkutan itu pasti tidak sah melainkan juga harus menetapkan atas dasar                                 apa atau atas dasar-dasar apa perkawinan itu digugat.
                § 4: Setelah 10 hari dekret diberitahukan, jika pihak2 yang bersangkutan tidak                                       melawannya, hakim ketua atau ponens dengan suatu dekret baru memerintahkan                         suatu penyelidikan perkara (instrukturia).

Penentuan pokok sengketa
Penentuan pokok sengketa ialah suatu akta pengadilan yang dibuat oleh hakim biasanya tanpa kehadiran pihak2 yang bersangkutan. Penentuan pokok sengketa ini adalah suatu  bentuk perlawanan pihak tergugat atas surat gugat penggugat yang dibuat di hadapan hakim dengan “semangat bersengketa”. Kehadiran pihak yang berkepentingan tidaklah mutlak perlu untuk merumuskan pokok sengketa ini. Kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan diminta kalau jawaban-jawaban mereka sejauh diminta oleh hakim tidak cukup jelas atau kalau hakim juga meminta informasi lain.
Kanon 1513 § 1: Penentuan pokok sengketa adalah apabila dengan dekret hakim dirumuskan butir-butir perselisihan yang diambil dari permintaan serta jawaban pihak-pihak yang bersangkutan.
Kanon 1513 § 2 : Permintaan dan jawaban pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali dalam surat-gugat pembuka pokok sengketa, dapat juga terungkap dalam jawaban atas pemanggilan atau dalam pernyataan-pernyataan lisan di hadapan hakim; tetapi dalam persoalan-persoalan yang lebih sulit pihak-pihak yang bersangkutan haruslah dipanggil oleh hakim untuk menyepakati hal-hal yang dipersoalkan, yang nantinya dalam putusan harus dijawab.
Perkara yang mau dipersoalkan di dalam peradilan haruslah secara eksplisit diungkapkan di dalam libellus dan harus diberitahukan pada pihak tergugat di dalam surat pemanggilan. Maka dengan ini diketahui bahwa penentuan pokok sengketa adalah kesepakatan mengenai perkara yang tak lain kecuali akta yang dibuat oleh hakim yang sudah ditetapkan di dalam dekret penerimaan libellus dan pemanggilan pihak tergugat.

TAHAP II : TAHAP PEMBUKTIAN (Kan 1526-1600)

Pada tahap ini, Hakim, Defensor Vinculi, atau bersama-sama, menyusun dua macam pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan alasan yang telah dirumuskan untuk menginterogasi pihak yang bersangkutan dan para saksi.  Dengan pertanyaan-pertanyaan itu mulailah interogasi satu persatu secara rahasia. Dalam interogasi ini, Pembela (jika ada) dan Defensor Vinculi, memiliki hak untuk hadir dan mendengarkannya. Pada kesempatan ini juga hakim dapat meminta pihak yang bersangkutan menyerahkan berbagai dokumen yang perlu dan dianggap mendukung penyelesaian kasus atau perkara tersebut.

1. Interogasi Pemohon dan Responden
Examen Pemohon
a.            Data administratif (tempat, waktu persidangan, jam, hari dan tanggal, tim tribunal yang memeriksa)
b.            Data pribadi pemohon dan responden (nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, paroki domisili, waktu dan tempat pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, waktu dan tempat pengajuan perceraian sipil)
c.            Pada awal sidang, Pemohon disidang untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur (non katolik: berjanji)
d.            Pertanyaan diarahkan untuk mencari data bahwa caput nullitatis yang dipilih dapat ditetapkan untuk kasus itu
e.            Hakim dan Defensor Vinculi (melalui hakim ketua), dapat mengajukan pertanyaan tambahan yang belum ada dalam daftar pertanyaan sebagai pertanyaan ex officio untuk menjelaskan fakta
f.            Notarius mencatat dan membacakan jawaban pemohon. Pemohon menyertakan persetujuannya dengan menandatangani akta proses tersebut
g.            Pada akhir sidang, pemohon disumpah untuk menyimpan pembicaraan dalam persidangan sebagai rahasia
h.            Notarius merumuskan kembali secara redaksional (tanpa mengubah substansi) jawaban pemohon untuk keperluan akta proses yang akan dikirim kepada Tribunal Banding.

          Examen Responden
a.    Data administratif (tempat, waktu persidangan, jam, hari dan tanggal, tim tribunal yang memeriksa)
b.    Data pribadi pemohon dan responden (nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, paroki domisili, waktu dan tempat pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, waktu dan tempat pengajuan perceraian sipil)
c.    Pada awal sidang, Pemohon disidang untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur (non katolik: berjanji)
d.    Pertanyaan diarahkan untuk mencari data bahwa caput nullitatis yang dipilih dapat ditetapkan untuk kasus itu
e.    Hakim dan Defensor Vinculi (melalui hakim ketua), dapat mengajukan pertanyaan tambahan yang belum ada dalam daftar pertanyaan sebagai pertanyaan ex officio untuk menjelaskan fakta
f.    Notarius mencatat dan membacakan jawaban pemohon. Pemohon menyertakan persetujuannya dengan menandatangani akta proses tersebut
g.    Pada akhir sidang, pemohon disumpah untuk menyimpan pembicaraan dalam persidangan sebagai rahasia
h.    Notarius merumuskan kembali secara redaksional (tanpa mengubah substansi) jawaban pemohon untuk keperluan akta proses yang akan dikirim kepada Tribunal Banding.

2. Pengumpulan Bukti-bukti (dokumen, saksi dan ahli)

a.   Bukti-bukti (Kanon 1526-1586; 1678-1680)
Dalam hukum kanonik, bukti adalah pengajuan segala argument yang legitim kepada seorang hakim gerejawi untuk memperlihatkan kebenaran dari suatu hal atau fakta yang dipertentangkan, dengan tujuan membantu hakim untuk mencapai kepastian moral sebelum menjatuhkan putusan.

Ada dua macam bukti menurut hukum kanonik:
(i). Bukti penuh (full proof), yaitu yang tak memerlukan unsur-unsur lain untuk menguatkan kebenarannya. Hal-hal yang mempunyai daya bukti penuh adalah: (a). Pengakuan paradilan mengenai urusan privat (kan 1536§1), (b). Dokumen publik (kan 1541), (c). Kesaksian seseorang ex officio (kan 1573) dan presumsi atau pengandaian hukum (kan 1585).
(ii). Bukti semi penuh, yaitu bukti yang masih memerlukan unsur-unsur lain untuk menguatkan kebenarannya. Hal-hal yang hanya mempunyai bukti semi penuh adalah: (1). Pengakuan peradilan mengenai sesuatu atau menyangkut kepentingan umum (kan 1536§2); (2). Dokumen-dokumen privat (kan 1542); (3). Saksi-saksi (kan 1549); saksi ahli (kan 1579)§1; pengadilan yudisial yang dibuat seorang hakim menurut hukum (kan 1586).

Ada enam sumber bukti yang dibicarakan dalam hukum kanonik:
                       1.   Pernyataan dan pengakuan para pihak yang berperkara (Kan 1530-1538).
Pengakuan adalah statement dari seseorang yang berperkara, entah tertulis atau lisan, melawan dirinya sendiri (contra se), sehubungan dengan suatu perkara yang sementara dalam penyelidikan pengadilan. Disebut pengakuan yudisial kalau statement “contra se” itu dilakukan di hadapan hakim dalam pengadilan, disebut pengakuan ekstra yudisial kalau pengakuan itu dibuat di luar pengadilan. Contoh pengakuan contra se, responden menyatakan bahwa sebelum perkawinan ia bermaksud untuk tidak mempunyai anak. Hal itu berarti dia bersaksi melawan diri sendiri (contra se).
Pernyataan (declaratio) adalah statement yang bukan contra se, tetapi kontra pihak lain. Misalnya, pemohon menyatakan bahwa responden sebelum perkawinan telah mempunyai intensi untuk tidak mempunyai keturunan. Dalam hukum, pengakuan mempunyai daya bukti penuh, sedangkan pernyataan hanya mempunyai daya bukti semi penuh.

2.      Dokumen-dokumen (Kan 1539-1546)
Dokumen adalah sumber informasi tertulis yang sangat bernilai bagi sebuah Tribunal karena merupakan salah satu sarana penting bagi hakim untuk mencapai kepastian moral (moral certitude). Ada tiga macam dokumen( Kan 1540):
a.    Dokumen publik gerejawi, yang dibuat oleh seorang pejabat resmi dalam melaksanakan tugasnya, mis akta dari Paus, Uskup, Buku Induk Permandian, dll
b.    Dokumen publik sipil, yang diakui menurut hukum, mis akta perceraian sipil
c.    Dokumen privat, seperti kontrak, surat wasiat, laporan polisi, dll.

3.      Para Saksi (Kan 1547-1573)
Saksi adalah seorang yang secara resmi dipanggil oleh pengadilan untuk menjawab di bawah sumpah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang hakim sehubungan dengan perkara yang di bawa ke pengadilan. Kesaksian adalah pernyataan yang diberikan saksi di bawah sumpah kepada hakim dan dicatat oleh seorang notarius. Kredibilitas para saksi dan kesaksiannya di atur dalam  Kan 1572.

Ada 4 kriteria untuk menjadi saksi yang  kredibel:
a)    Kriterium Moral: ini menyangkut kepribadian dan kejujuran seorang saksi dalam memberikan kesaksiannya
b)   Kriterium Mental: apakah informasi yang diberikan seorang saksi itu berasal dari pengalaman langsung atau mendengar dari orang lain, atau hanya dugaan dan perkiraan saksi saja.
c)    Kriterium Material: apakah seorang saksi teguh dan konsisten dalam memberikan kesaksian, ataukah ia plinplan, ragu-ragu, merasa tidak pasti dan tidak yakin.
d)   Kriterium Numerik: apakah ada saksi-saksi lain yang meneguhkan kesaksiannya, atau apakah kesaksian seorang saksi dikukuhkan oleh unsur-unsur pembuktian lain.

Examen Saksi-saksi
o   Ø  Data administratif (tempat, waktu persidangan, jam, hari dan tanggal, tim tribunal yang memeriksa)
o   Ø  Data pribadi pemohon dan responden (nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, paroki domisili, waktu dan tempat pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, waktu dan tempat penhajuan perceraian sipil)
o   Ø  Pada awal sidang, Pemohon disidang untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur (non katolik: berjanji)
o   Ø  Pertanyaan diarahkan untuk mencari data bahwa caput nullitatis yang dipilih dapat ditetapkan untuk kasus itu
o   Ø  Hakim dan Defensor Vinculi (melalui hakim ketua), dapat mengajukan pertanyaan tambahan yang belum ada dalam daftar pertanyaan sebagai pertanyaan ex officio untuk menjelaskan fakta
o   Ø  Notarius mencatat dan membacakan jawaban pemohon. Pemohon menyertakan persetujuannya dengan menandatangani akta proses tersebut
o   Ø  Pada akhir sidang, pemohon disumpah untuk menyimpan pembicaraan dalam persidangan sebagai rahasia
o   Ø  Notarius merumuskan kembali secara redaksional (tanpa mengubah substansi) jawaban pemohon untuk keperluan akta proses yang akan dikirim kepada Tribunal Banding.

4. Saksi Ahli (Kan 1574-1581; a680)
Bantuan seorang ahli sangat dibutuhkan oleh seorang hakim, terutama ketika berhadapan dengan masalah-masalah seperti impotensi, kasus “non konsumatum”, kasus dengan latar-belakang psikologis. Peran seorang ahli di sini, membantu hakim untuk mengerti dan mengevaluasi fakta dalam terang hukum kanonik dan untuk mencapai kepastian moril.

5. Kunjungan dan Inspeksi Pengadilan (Kan 1582-1583)
Bukti ini kurang lazim dipakai. Tetapi bilamana diperlukan, hakim bisa mengunjungi TKP demi penyelidikan lebih lanjut.

6. Presumsi atau Pengandaian (Kan 1584-1586)
Kan 1584 menyatakan bahwa presumsi adalah perkiraan yang masuk akal tentang sesuatu               yang belum pasti. Ada dua macam:
a.    Presumsi hukum yang ditetapkan oleh hukum itu sendiri, mis Kan 1060, menyatakan bahwa perkawinan yang telah diteguhkan mendapat perlindungan hukum, maka bila timbul keraguan akan sah tidaknya, maka keabsahannya tetap dipegang teguh. Atau Kan 1062§2, menyatakan bahwa setelah perkawinan diteguhkan, suami-istri tinggal bersama, diandaikan terjadi konsumasi.
b.    Presumsi peradilan atau presumsi orang, yakni pengandaian yang dibuat oleh hakim dalam mengadili suatu perkara. Misalnya sebelum perkawinan diketahui ada perlawanan dari salah satu pihak, diandaikan dia dipaksa untuk menikah.
b.  Pengumuman Akta Perkara (kanon 1598)
Pada tahap ini para pihak yang berperkara atau yang berkepentingan diberitahu dengan suatu dekrit bahwa (untuk sementara) pengumpulan bukti-bukti telah selesai (pengumuman ini dituntut oleh hukum demi sahnya akta dan proses perkara selanjutnya). Para pihak yg berperkara boleh mengajukan lagi bukti-bkti tambahan sepanjang batas waktu yang ditentukan dalam dekret.

3.      Penutupan Perkara (Kan 1599-1600)
Penutupan perkara merupakan tahap terakhir dari pengumpulan bukti-bukti. Kanon 1599§1: “Selesai segala sesuatu yang menyangkut pengumpulan bukti, sampailah pada penutupan perkara”. Untuk itu hakim harus mengeluarkan lagi dekret penutupan perkara. Meski demikian, bukti tambahan masih boleh diajukan lagi kalau ada alasan yang serius dan masuk akal seturut norma kan 1600.

Tahap III: PEMBAHASAN PERKARA (Kan 1601-1606)
Setelah selesai, semua berkas difotokopi dan diserahkan kepada Pembela (kalau ada) dan Defensor Vinculi. Berdasarkan berkas itu, mereka harus menuliskan pendapatnya yang kemudian harus mereka serahkan kepada hakim. Format tulisannya adalah: Species Facti, In Iure, dan In Facto.

1. Dukungan Pembela

Pada awal tahap ini, hakim harus memberi waktu secukupnya kepada para pihak yang berperkara atau lewat kuasa hukumnya untuk membuat pembelaan dan catatan-catatan. Ini merupakan saat di mana para pembela menyampikan kepada hakim pembelaan-pembelaan yang berupa suatu sintesis atau data-data dan penilaian serta argumentasi mengenai bukti-bukti  demi kepentingan pihak yang berperkara. Dalam Tribunal Gerejawi tidak ada pembahasan perkara secara terbuka seperti dalam pengadilan negeri. Pembelaan itu dipersiapkan dalam bentuk tertulis. Pihak-pihak yang bersangkutan dibantu oleh pembela.
Pembelaan itu, mencakup tiga bagian:
a.    sintesis mengenai data-data (species facti): meringkas proses munculnya persoalan itu di dalam data-data;
b.    mengurai berbagai kanon, pendapat pakar dan yurisprudensi yang berkaitan dengan kasus;
c.    menunjukkan berbagai data dan bukti yang diberikan untuk pihak yang dibela itu benar dan mempunyai relevansi atau kaitan dengan perkaranya, juga bisa menyatakan bahwa pernyataan pihak lain itu (dengan saksi-saksinya) adalah keliru, bertentangan dan tak relevan. Lalu semua itu ditutup dengan kesimpulan yang mendukung pihak yang dibela.

2. Animadversiones Defensor Vinculi
Defensor Vinculi dapat merumuskan/membuat penilaian terhadap putusan hakim,  proses anulasi, dll. Defensor Vinculi merumuskan species facti, In Iure dan In Facto
Spesies facti, yakni summary dari kasus yang sedang diproses dengan mengambil fakta dari riwayat perkawinan yang diajukan pemohon dalam libellus, dokumen-dokumen yang relevan,
dan proses persidangan atas pemohon, responden dan saksi-saksi tanpa disertai dengan penilaian.
Pertimbangan In Iure, yakni tinjauan atau penjelasan atas caput nullitatis yang dipilih untuk anulasi perkawinan yang sedang diproses. Dapat mempergunakan komentar para ahli tentang caput nullitatis yang bersangkutan atau yurisprudensi yang relevan dengan kasus yang sedang diproses.           
Pertimbangan In Facto, Summary kasus yang sedang diproses disertai dengan penilaian atas dasar fakta yang didapatkan ini dari riwayat perkawinan yang diajukan pemohon dalam libellus, dokumen-dokumen yang relevan, hasil interogasi pemohon, responden dan saksi-saksi (pendek kata, Defensor Vinculi, memperingatkan hakim agar putusan affirmative baru boleh diberikan setelah mencapai kepastian moral).

Tahap IV: PUTUSAN DEFINITIF (Kan 1607-1655; 1681-1685).
Pada tahap ini, hakim harus memeriksa semua berkas, memperhatikan pendapat tertulis Pembela (jika ada) dan Defensor Vinculi, serta kemudian membuat putusan.

1.      Putusan Hakim
Putusan definitif adalah suatu pernyataan yang legitim di mana seorang hakim memberikan suatu jawaban atas perkara utama yang diadukan oleh pihak yang berperkara dan yang ditanganinya secara yudisial di dalam tribunal (Kan 1868§1’17).
Putusan yang dinyatakan oleh hakim itu adalah putusan resmi Gereja karena hakim dalam hal ini melaksanakan tugas yudisialnya atas nama Gereja.


2.      Kepastian Moral
Kan 1608 § 1 : Untuk menjatuhkan putusan apapun, di dalam diri hakim dituntut adanya suatu kepastian moral mengenai perkara yang harus ditetapkan dengan suatu putusan.
Kan 1608 § 2 : Kepastian itu harus diperoleh hakim dari akta dan hasil pembuktian
Kan 1608 § 3 : Hakim harus menimbang pembuktian-pembuktian berdasarkan hati nurani, dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan undang-undang  mengenai kekuatan pembuktian-pembuktian tertentu.
Kan 1608 § 4 : Hakim yang tidak dapat memperoleh kepastian moral itu hendaknya memutuskan bahwa tidak ada kepastian mengenai hak penggugat dan hendaknya membebaskan tergugat....

3.      Prosedur Tribunal Kolegial
Kanon 1609 §  1 : Dalam pengadilan kolegial, ketua majelis hakim hendaknya menentukan hari dan jam berapa para hakim harus bersidang untuk membahas perkara dan jika tidak ada alasan khusus yang menyarankan lain, sidang hendaknya di tempat kedudukan pengadilan itu sendiri.
Kanon 1609 § 2 : Pada hari yang telah ditentukan untuk sidang, masing-masing hakim hendaknya menyampaikan secara tertulis kesimpulannya mengenai perkara itu dan juga alasan-alasan baik dalam hukum maupun dalam kejadian  yang mendorong mereka sampai pada pendapat itu; pendapat mereka itu yang harus tetap dipelihara kerahasiaannya, hendaknya dijadikan satu dengan akta perkara
Kanon 1609 § 3 : Setelah menyebut nama Allah, pendapat-pendapat itu diuraikan satu per satu menurut urutan presedensi, tetapi selalu hakim ponens atau relator memulai lebih dahulu; kemudian dilangsungkan pembahasan dibawah pimpinan ketua pengadilan terutama untuk mencapai kesepakatan bersama, apa yang harus ditetapkan dalam bagian disposisi dari putusan.
Kanon 1609 § 4 : Jika para hakim dalam pembahasan pertama tidak mau atau tdak dapat sampai pada putusan, pengambilan putusan dapat diundur  sampai sidang berikutnya tetapi jangan lebih dari seminggu....

4.      Menyusun Putusan
Jika hakim itu tunggal, ia sendiri yang menyusun putusan itu (bdk Kan 1610§1). Dalam pengadilan Kolegial, yang bertugas menyusus putusan adalah ponens atau relator dengan mengambil alasan-alasan yang dikemukakan oleh para hakim dalam pembahasan, kecuali oleh suara terbanyak para hakim. Lalu putusan itu harus disampaikan untuk disetujui oleh masing-masing hakim. Putusan harus dipublikasikan tidak lebih lama dari satu bulan sejak hari perkara itu diputus, kecuali jika dalam pengadilan kolegial para hakim menentukan waktu lebih lama atas alasan yang berat.

5.      Elemen-elemen esensial dalam Putusan (Kan 1611)
a.    Merumuskan perselisihan yang diadukan di hadapan pengadilan, dengan memberi jawaban yang sewajarnya pada masing-masing masalah
b.    Menentukan mana kewajiban-kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan yang datang dari peradilan dan bagaimana harus  ditepati.
c.    Menguraikan alasan-alasan atau dasar-dasar, baik dalam hukum maupun dalam kejadiannya, yang menjadi landasan dari bagian disposisi putusan itu
d.    Menentukan ongkos perkara.

6. Format dari Putusan
a.    Menyebut nama Allah
b.    Menyebut siapa hakim atau tribunal; penggugat, tergugat, orang yang dikuasakan, promotor iustitiae, defensor vinculi jika mereka ambil bagian dalam peradilan
c.    Secara ringkas melaporkan macam-macam kejadian dengan pendapat pihak yang bersangkutan serta rumusan persoalannya
d.    Bagian dispositif dari putusan itu setelah dikemukakan alasan-alasan yang melandasinya
e.    Ditulis  dalam format: Species Facti (sintesis mengenai data-data), In Iure (penjelasan atas caput nullitatis yang dipilih), In Facto (rangkuman kasus disertai dengan penilaian atas fakta yang didapat dari riwayat perkawinan yang diajukan pemohon dalam libellus, dokumen-dokumen, interogasi pemohon, responden dan para saksi).
f.    Hari, tanggal dan tempat di mana putusan itu dibuat dan dibutuhkan tandatangan hakim dan notarius.

7.      Pengumuman Putusan
Pengumuman putusan berada di dalam pemakluman atau pemberitahuan yang dibuat oleh Tribunal berdasarkan ketentuan hukum
a.    Putusan harus secepatnya diumumkan
b.    Harus menunjukkan cara-cara untuk menyanggahnya
c.    Dengan diumumkan, putusan telah memiliki kekuaatan hukum
d.    Pengumuman putusan terjadi dengan menyerahkan salinan putusan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Tahap V: Pengadilan Banding
Prinsip:

Dalam perkara kepentingan pribadi tidak diwajibkan naik banding
Dalam kasus anulasi perkawinan, terhadap putusan (afirmatif atau negatif) dari Tribunal tingkat I wajib dilakukan naik banding ke Tribunal banding (Tingkat II), kecuali dalam proses dokumental (namun dengan persetujuan defensor vinculi). Dengan adanya ratifikasi dari Tribunal Banding, keputusan afirmatif atau negatif memiliki kekuatan hukum.

Kanon 1682
§ 1:  Putusan, yang pertama kali menyatakan nulitas perkawinan, bersama dengan permohonan banding, jika ada, dan akta peradilan lainnya, dalam waktu dua puluh hari dari pengumuman putusan hendaknya ex officio dikirim ke pengadilan banding.
§ 2: Jika putusan pada tingkat peradilan pertama menetapkan nullitas perkawinan, pengadilan banding, setelah mempertimbangkan catatan-catatan dari defensor vinculi, dan jika ada juga dari pihak-pihak yang bersangkutan, hendaknya dengan dekret segera mengukuhkan putusan itu atau menerima perkara itu untuk diperiksa secara biasa pada tingkat baru.

Yang dapat mengajukan permohonan banding
a)    Defensor vinculi atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan banding ke Tribunal lebih tinggi.
b)   Permohonan ditujukan kepada hakim/tribunal yang mengeluarkan putusan tersebut dalam waktu 15 hari setelah pengumuman putusan (kan. 1630). Selanjutnya hakim melanjutkan permohonan banding kepada Tribunal Banding.

Proses penanganan di Tribunal Banding
o   Pada tingkat banding, proses haruslah berjalan dengan cara yang sama seperti pada Tingkat I.
o   Tribunal Banding berhak untuk melengkapi pembuktian dengan mengundang pihak-pihak yang berkepentingan.

Efek permohonan banding
o   Permohonan banding menangguhkan pelaksanaan putusan (kan. 1638).
o   Keputusan affirmatif memberi efek yuridis, atau perkawinan dinyatakan batal atau dinyatakan sah.


Pelaksanaan putusan
o   Setelah pengadilan banding mengukuhkan putusan affirmatif dari Tribunal Tingkat I dengan suatu dekret atau putusan II, mereka yang berperkara dinyatakan bebas dari ikatan nikah dan berhak untuk menikah lagi, sesuai dengan ketentuan hukum (termasuk kalau putusan tribunal mencantumkan larangan untuk menikah).
o   Putusan dari Tribunal I dan Banding segera disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dan dicatatkan pada LB dan LM tempat yang bersangkutan dibaptis dan melangsungkan perkawinan (kan. 1684).

Personil Tribunal banding
o   Tribunal Banding untuk tribunal keuskupan sufragan tingkat I adalah Tribunal Keuskupan Metropolit. Sedangkan tribunal banding untuk Tribunal Metropolit adalah tribunal yang ditunjuknya sendiri secara tetap.
o   Untuk kasus banding, selalu harus hakim kolegial; meskipun di tingkat I dapat hakim tunggal atau hakim kolegial.

Demikianlah secara singkat uraian perihal proses / tahapan-tahapan Tribunal Perkawinan. Semoga uraian ini, bisa mendorong semangat dan minat kita pada pelayanan pastoral perkawinan, khususnya menangani masalah-masalah perkawinan. Kiranya pendekatan pastoral yang bijak, takkala berhadapan dengan orang yang mengalami permasalahan dalam perkawinannya, merupakan salah satu bentuk pelayanan dan wujud caritas pastoralis kita. Harapan kita ke depan, bahwa suatu saat, Tribunal Perkawinan Gerejawi Keuskupan Sibolga, makin kokoh, karena dengan itu, kita bisa menolong keluarga-keluarga kristiani yang bermasalah dan yang mencari keadilan di Gereja kita.
penjelasan lebih lanjut

(Katedral-Sibolga/P. Samuel Gulô, Pr.)