PIERRE FELIX BOURDIEU
Riwayat Hidup Bourdieau
Tahun
|
Peristiwa
|
Karya
|
1
Agustus 1930
|
Lahir di
Desa Denguin, distrik Pyreness-Antlantiques, Barat Daya Prancis putra seorang
pegawai pos desa
|
|
1955
|
Pengajar
Lycee (SMA) di Moulins, kemudian bergabung dengan ketentaraan dan dikirim ke
Aljazair selama dua tahun
|
|
1958
|
Pengajar
di Universitas Aljazair
|
|
1960
|
Kembali
ke Paris sebagai antropolog autodidak
|
|
1952-1964
|
Mengajar
di universitas Paris dan Universitas Lille.
|
|
1968
|
Direktur
Centre de Sociologie Europeenne
|
|
1975
|
Meluncurkan
jurnal Actes de la Recherche en Sciences
|
|
1981
|
Memegang
jabatan di bidang sociologi di Colllege de France
|
|
1993
|
Mendapatkan
anugerah penghargaan Medaille deor du Centre National de la Recherche
Scientifique? (CNRS)
|
|
1962-1983
|
Berumah
tangga dengan Marie-Claire Brizard
|
|
1990-an
|
Bergabung
dengan sejumlah aktivitas diluar lingkaran akademis
|
|
1996
|
Menjadi
pendiri perusahaan penerbitan Liber/Raisons d Agir
|
|
1998
|
Menerbitkan
artikel di surat kabar Le Monde
|
|
1984
|
Distinction
: A Social Critique of the Judgement of Taste
|
Karya-Karya Buku
Ø Bourdieu, Pierre
& Passeron, Jean-Claude.
1964.
Les heritiers. Les etudiants et la
culture, Paris: Minuit.
1970.
La reproduction. Elements pour une
theorie du systeme d’enseignement, Paris: Minuit
Ø Bourdieu, P. dan
Wacquant, L.J.D.,
1992.
Reponses. Pour une anthropologie
reflexive. Paris: Seuil
Ø Bourdieu, Pierre,
1979.
La distinction. Critique sociale du
jugement. Paris: Minuit.
1980.
Le sens pratique. Paris:Minuit
1982.
Ce que parler veut dire. L’economie
des echanges linguistiques. Paris: Fayard.
1993.
La misere du monde, Paris: Seuil.
1994.
Raisons pratiques. Sur la theorie de
l’action. Paris: Seuil
1998.
La domination masculine. Paris:
Seuil
2000.
Les structures sociales de l’economie.
Paris: Seuil.
Latar Belakang yang mempengaruhi
Persoalan awal yang digarap oleh Bourdieu
adalah bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan
serta berpengaruh didalam suatu masyarakat. Bourdieu berusaha untuk menjelaskan
secara komprehensif dinamika kehidupan masyarakat dengan membedakan struktur
objektif dan subjektif yang berupa disposisi yang ada di dalam diri individu. Bourdieu
melihat bahwa konsep oposisi agensi vs struktur tidak memadai untuk mejelaskan
realitas sosial. Praktik sosial tidak begitu saja dijelaskan sebagai produk
dari struktur atau agensi sebagai subjek. Penjelasan relasional yang
menunjukkan dinamika hubungan antara agensi dan struktur diperlukan untuk
menemukan hubungan saling mempengaruhi yang tidak linier diantara keduanya.
Sekolah diandalkan sebagai
tempat efektif untuk menaikkan jenjang sosial. Melalui
sekolah orang berharap akan memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi,
budaya maupun posisi dalam hierarki sosial. Imajinasi republikan Perancis
mengembangkan gambaran mobilitas sosial dalam tiga generasi: kakek petani,
orangtua guru, anak menjadi intelektual (penulis), pemimpin perusahaan atau
pejabat. Contoh yang sering dikutip ialah Georges Pompidou, Presiden Perancis,
cucu seorang petani dan anak seorang guru dari desa Cantal (C.Baudelot,
2006:165).
Di benak masyarakat seakan
sekolah membuka kesempatan sama bagi semua lapisan. Padahal budaya sekolah
menuntut suatu syarat tertentu bila ingin mendapatkan tempat terhormat di
universitas-universitas ternama. Praktek pedagogis sehari-hari para pengajar di
semua jenjang pendidikan dan perilaku keluarga yang menghambat kesiapan peserta
didik dari kelas bawah menentukan jenis hubungan budaya sekolah dan budaya
keluarga.
Tentu dalam konteks
pendidikan di Perancis pemikiran Bourdieau ini
berkembang.
Menurut Christian Baudelot, sejak tahun 1962 terdapat penelitian tentang
sistem pendidikan, dibuat di bawah pimpinan Alain Girard dan Roger Bastide,
yang memperhitungkan perjalanan jenjang sekolah (2006:166). Sumbangan penelitian
itu membantu mengembangkan analisa sosiologis karena memberi data yang sangat
kaya untuk mereka yang ingin mempelajari peran sekolah dalam masyarakat,
terutama perannya dalam mobilitas sosial.
Dari
hasil penelitian itu, peserta didik yang berasal dari kelas atas lebih sering
di atas rata-rata. Semakin tinggi jenjang sekolah semakin naik kemampuan
bersaing mereka sehingga semakin mengurangi dan mengalahkan peserta didik dari
kelas bawah, yaitu anak petani, buruh, karyawan rendahan. Penelitian ini yang
menunjukkan adanya sistem seleksi sosial sejak awal.
Tokoh-Tokoh yang berpengaruh
Dasar Marxisme modern yang diambil
Bourdieu menekankan pada faktor ekonomi sebagai struktur yang membentuk manusia
dan mengabaikan subjektivisme manusia sebagai agen. Dan pemikiran dasar dari
fenomenologi yang diambil Bourdieu didasarkan pada pertentangannya terhadap
poposisi kehendak. Fenomenologi cenderung menempatkan manusia sebagai subjek
penentu dengan kesadarannya dan menganggap sepi pengaruh realitas social yang tampil
sebagai struktur objektif.
Bourdieu meletakkan pemikiran
Durkheim dan hasil studinya tentang fakta sosial, strukturalisme Sussure,
Levi-Strauss, dan struktural Marxis kedalam penganut pandangan objektivisme.
Prespektif inilah yang menjadi dasar pandangan Bourdieu karena dalam pandangan
tersebut hanya menekankan pada struktur objektiv dan mengabaikan adanya proses
konstruksi social melalui proses dimana aktor akan merasakan, memikirkan dan
membangun struktur ini dan mulai bertindak berdasarkan yang dibangunnya itu.
Teori objektivisme menurut pandangan Bourdieu mengabaikan adanya keagenan.
Untuk itu Bourdieu lebih condong pada pemikiran strukturalis yang tidak
mengabaikan agen.
Arena Sosial, Habitus dan Modalitas
Pierre Bourdieu
mengajukan suatu rumusan dalam mewujudkan sebuah praktik sosial. Praktik sosial
itu selalu dipengaruhi oleh “habitus,
capital/modal dan arena/medan”. Habitus itu dipahami sebagai serangkaian
kecenderungan yang mendorong pelaku sosial untuk beraksi dan berreaksi dengan
cara-cara tertentu. Kapital/modal
adalah sumberdaya-sumberdaya yang terdistribusi melalui medan struktur sosial
dan memiliki nilai tertentu dalam arena/medan sosial tertentu pula. Yang
disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai
nilai simbolis), prestise, status, otoritas, selera dan pola konsumsi.
Sedangkan arena/medan sosial dapat dipahami
sebagai sebagai sebuah permainan, di mana setiap permainan mempunyai norma dan
logikanya sendiri. Arena sendiri akan menjadi tempat perjuangan dan persaingan.
Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dalam sebuah medan atau arena,
ditentukan oleh posisinya dalam arena itu. Kedudukannya ini juga yang akan
menentukan besarnya kepemilikan modal.
Arena sosial: tempat persaingan dan perjuangan
Konsep
“arena” atau medan menempati fungsi penting di dalam sistem penjelasan teori
sosial Pierre Bourdieu. Istilah “arena” ini menghubungkan konsep habitus dan kapital. Arena atau medan sosial itu dengan mudah bisa dibayangkan
sebagai sebuah permainan, di mana setiap paermainan mempunyai norma dan
logikanya sendiri. Misalnya norma dan logika dan permainan sepak bola akan
berbeda dengan norma dan logika dalam permainan volly. Hierarki modal pun akan
terkait dengan arena medan di mana dia berada. Seorang profesor akan mendapat
kapital tertinggi hanya dalam arena pendidikan dan tidak dalam arena olahraga.
Nilai yang dapat diperoleh dalam kapital atau modal, akan selalu terkait dengan
arena tertentu.
Medan
atau arena sebenarnya adalah tempat persaingan dan perjuangan. Pelaku yang
masuk dalam suatu lingkungan (polotik, seni, intelektual) harus menguasai
kode-kode dan aturan-aturannya. Misalnya, ketika orang masuk dalam dunia musik,
orang harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan musik. Orang biasanya
tidak dengan sengaja masuk dalam suatu arena permainan tanpa ia menyadarinya.
Sejak ia lahir di dunia, orang sudah masuk dalam suatu permainan.
Sekolah
menjadi obyek ilmiah sosiologi karena sekolah merupakan arena perjuangan sosial
tempat para pelaku sosial melakukan investasi dan mengarahkan strategi mereka
untuk mengakumulasi kapital atau mempertahankan kekuasaan. Dalam sistem sekolah
dipertaruhkan alokasi dan manipulasi kapital budaya dan kapital simbolik.
Habitus: sebuah struktur dinamis
Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan
menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam
lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus
ini mengacu pada kemampuan yang menjadi kebiasaan yang sudah ditanamkan sejak
dini oleh orang tua di rumah. Maka dapat dikatakan bahwa habitus sangat
berpengaruh dalam memproduksi kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial berhadapan
dengan sekolah, pertama-tama bukan masalah perbedaan pendapatan, tetapi lebih
pada perbedaan kapital budaya. Jadi ada hubungan antara keberhasilan di sekolah
dengan pendampingan dan pengawasan keluarga terhadap peserta didik, tingkat
pendidikan orang tua, baru kemudian pengaruh kapital ekonomi.
Habitus
merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturisasi. Jadi
praktek-praktek dan representasi kita tidak sepenuhnya dterministik (pelaku
bisa memilih), namun juga tidak sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan oleh
habitus). Habitus mampu menggerakan, bertindak dan mengorientasikan sesuai
dengan posisi yang ditempati pelaku dakam lingkup sosial, menurut logika arena
pertarungan dan situasi yang melibatkannya. Dengan konsep dominasi ini pula,
Bourdieu mencoba untuk memongkar mekanisme dan strategi dominasi. Dominasi
tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang
dibatinkan.
Bagi
Bourdieu, habitus merupakan praktek pengungkapan perwatakan dalam ruang sosial.
Ruangan ini merupakan suatu medan sosial yang di dalamnya setiap anggota
membentuk suatu sistem hubungan yang didasarkan atas kekuasaan yang bermakna
dan diinginkan oleh anggota ruang sosial. Habitus juga meruapakan kecenderunga
yang menggerakan orang atau pelaku untuk beraksi dan berreaksi dengan cara-cara
tertentu sehingga menjadi kebiasaan. Maka habitus dapat juga disamakan dengan
“kebiasaan”. Kebiasaan di sini dimaksudkan sebagai suatu pengulangan di mana di
dalamnya terdapat kreativitas, internalisasi dan interaksi.
Modal sebagai sarana kekuasaan
Menurut Bourdieu,
Kapital/modal adalah
sumberdaya-sumberdaya yang terdistribusi melalui medan struktur sosial dan
memiliki nilai tertentu dalam arena/medan sosial tertentu pula. Modal atau modalitas selalu tergantung dan terikat pada arena tertentu, ia
bersifat partikular. Misalnya dalam gaya hidup remaja indonesia sekarang;
pengenalan akan film, musik, kemampuan berbahasa gaul dan berdandan dengan gaya
tertentu. Namun hal-hal di atas tidak bisa dijadikan modal jika ia berada dalam
arena pelayanan diplomatik. Bourdieu mengadakan penelitian pada arena sekolah.
Ia mengatakan bahwa miskinnya informasi, rendahnya pendidikan serta kapital
budaya para orang tua kelas bawah mengkondisikan rendahnya keberhasilan
anak-anak mereka di dalam persaingan di sekolah. Yang termasuk dalam golongan
modalitas antara lain: budaya, ekonomi, sosial dan modal simbolik[1].
Melalui kriteria
besar kecilnya modal yang dimiliki, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua
dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi struktur modal. Dalam dimensi
vertikal, diertentangakan antara pelaku yang memiliki modal besar dan mereka
yang miskin. Sedangkan dalam dimensi struktur modal, dipertentangkan antara
pelaku yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan pelaku yang memiliki modal
budaya yang lebih besar.
Bourdieu
mengidentifikasi modal/kapital dalam beberapa macam: modal ekonomi, modal
budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang
paling mudah berpindah dan diubah dalam bentuk lain. Modal budaya ialah ijazah,
pengetahuan yang sudah diperoleh, cara bicara, kemampuan menulis, sopan santun,
cara bergaul, dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial adalah
hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya
yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.
Sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik itu sendiri,
yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang
diperoleh melalui kekerasan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu
mobilisasi. Modal simbolik seperti, kantor yang luas di daerah yang mahal,
gelar pendidikan yang dicantumkan dalam tulisan di surat kabar atau majalah.
Modalitas
tersebut akan mempengaruhi kemampuan menyerap model pedagogi yang diterapkan,
yang akhirnya juga menentukan kemampuan bersaing di pasar kerja. Latar belakang
keluarga dari peserta didik sangat menentukan keberhasilan di sekolah.
Modalitas yang datang dari orang tua kelas bawah akan sangat menentukan
anak-anak mereka di bangku sekolah. Peserta didik dari kelas atas lebih diuntungkan
karena kepemilikan kapital budaya. Peserta didik dari kelas atas mempunyai
akses yang luas. Sedangkan untuk peserta didik yang berasal dari kelas sosial
miskin, satu-satunya akses ke budaya adalah sekolah.
Modal selalu
disamakan dengan budaya kapital. Pihak yang memiliki modal tentunya berada
dalam golongan kapitalis, baik itu kapital budaya maupun kapitak simbolik. Kepemilikan kapital memungkinkan bisa
menjamin posisi sosial di masa depan karena kapital budaya di dalam konteks
hubungan kekuasaan tertentu akan bisa dikonversi ke kapital ekonomi. Konsep
“kapital budaya” sendiri mengandung dimensi budaya dan simbolik, moral,
psikologis dan ketubuhan. Praktik budaya mencerminkan posisi kelas ssosial dan
pilihan strategi untuk mengakumulasi kapital, mendapatkan pengakuan sosial atau
afirmasi kelas. Masalah praktik pedagogis para pendidik dan perilaku keluarga
yang tidak sadar menyebabkan kegagalan
banyak peserta didik. Peserta didik sendiri menjadi tertekan di bawah berlangsungnya
alokasi dan manipulasi kapital simbolik dan kapital budaya.
Dalam
konteks komunikasi pedagogi ini, konsep kapital tidak bisa dilepaskan dari dua
pemaknaan yang sarat dengan hubungan kekuasaan, yaitu: konsep
kesewenang-wenangan budaya dan kekerasan simbolik. Kesewenang-wenangan sebetulnya
terletak pada pilihan sekolah untuk menggunakan modalitas yang lebih sesuai
dengan kapital budaya yang dimiliki oleh kelas atas. Kekerasan simbolik terjadi
karena pengakuan dan ketidaktahuan korban yang didominasi. Kekerasan simbolik
terjadi karena sistem komunikasi pedagogi berjalan, baik yang disadari atau
tidak. Logika dominasi itu berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan
diterima baik oleh yang mendominasi dan maupun yang didominasi. Prinsip
simbolik itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan
kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri ketubuhan. Sistem
ini mengikuti aturan-2 tertentu di mana pengajar dianggap berada dalam posisi
yang lebih tahu dari peserta didik sehingga menentukkan metodenya, materi yang
disampaikan dan bentuk evaluasinya.
Tentang Bahasa
Bahasa adalah praktik sosial. Pendekatan
Bourdieu ini merupakan pengembangan dari pendekatan yang dilakukan oleh J.L.
Austin tentang tindakan bahasa dalam Teori Tindak Tutur (speech act theory).
Penekanannya ada pada kenyataan bahwa ujaran-ujaran tidak hanya dipakai untuk
memaparkan sesuatu, tetapi juga merupakan tindakan dan partisipasi pada sebuah
ritual. Ini disebut ujaran performatif, mis: saya berjanji, dengan ini saya
meresmikan...,dll
Efektivitas sebuah bahasa performatif
tidak bisa dipisahkan dari adanya “ínstitusi” yang memberikan otoritas kepada
penutur untuk melakukan tindakan sesuai ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran
performatif. Otoritas ini tidak muncul begitu saja melainkan merupakan
investasi sosial yang dicapai pelaku.
Seorang pelaku sosial yang memiliki
otoritas, ketika ia berbicara dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan
wewenangnya, maka ia memanifestasikan otoritasnya. Melalui ujarannya ia
menggunakan satu bentuk kekuasaan atau otoritas yg merupakan bagian dari sebuah
institusi sosial, dan otoritas itu tidak bisa ditemukan hanya dengan membongkar
kalimat-kalimatnya secara lingustik. Mencoba memahami secara linguistik saja
kekuatan dari pernyataan-pernyataan linguistik berarti melupakan otoritas yang
terjadi di ‘luar’. Padahal otoritas itulah yang direpresentasikan oleh bahasa,
yang dimanifestasikan dan yang disimbolkan oleh bahasa. Otoritas itulah yang
menurut Boudieu merupakan kapital simbolik dan kekuasaan simbolik yang dimiliki
oleh pelaku sosial. Jadi, bahasa erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik.
Bahasa Sebagai Praktik Sosial
Praktik merupakan pendekatan Bourdieu
dalam teori Praktik untuk melepaskan diri dari oposisi klasik subyektivisme dan
obyektivisme, di samping habitus, arena dan kapital. Teori
Praktik yang ditawarkan menggugat subyektivisme yang meletakkan subyek
intelektual pada peran utama pembentukan dunia tanpa memperhitungkan konteks
ruang dan waktu yang melatarbelakanginya. Obyektivisme pun juga dianggap tidak
memperhitungkan peran dan posisi subyek intelektual sosial dalam pembentukan
struktur dan praktik sosial.
Praktik sosial adalah sebagai hasil
dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan amati dari luar
diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah
terinternalisasi dan menjadi bagian dari pelaku sosial. Apabila interior itu
adalah pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya yang dibentuk oleh habitus,
sedangkan eksterior adalah struktur obyektif yg ada di luar diri pelaku sosial,
yaitu arena, maka praktik sosial ini dengan sendirinya tidak sepenuhnya otonom
karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial dan struktur sosial,
produk interaksi dialektis antara habitus dan struktur.
Dunia sosial erat kaitannya dengan konsep
Bourdieu, yakni medan sosial dan arena. Medan sosial mengacu pada keseluruhan
konsepsi tentang dunia sosial. Arena adalah “sepotong kecil” dunia sosial,
sebuah jagat penuh mufakat yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya
sendiri, misalnya arena politik, seni, ekonomi, agama, dll. Siapa pun yang
ingin masuk ke dalamnya harus memahami “aturan main” yang berlaku di jagat
mufakat ini, karena jagat ini juga merupakan sebuah arena pertarungan, arena
adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antarindividu, antarkelompok
demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital
yang mereka miliki. Secara logis, kelas pemilik kapital yang terbesar adalah
kelas yang paling dominan.
Bahasa sebagai praktik sosial merupakan
hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus
linguistik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Kemampuan bahasa pelaku sosial
ditentukan oleh habitus linguistiknya.
Habitus linguistik menggambarkan
kecenderungan praktik-praktik linguistik yang tertanam dalam diri pelaku, baik
yang berhubungan dengan kecenderungan perilaku fisik, maupun persepsi dan
logika bahasanya (misalnya: aksen atau intonasi tertentu; hal-hal yang
berhubungan dengan cara-cara tertentu dalam menggerakkan lidah.
Melalui habitus linguistik inilah pelaku
sosial mendapatkan dan terus memperkaya kapital budaya linguistiknya. Oleh
karena itu, Bourdieu menggunakan pula istilah kapital informasional untuk
bahasa sebagai kapital budaya linguistik.
Dalam arena pasar linguistik yang menjadi
komoditas utama dalam sirkulasi ‘perdagangan’ bukan lagi bahasa, tetapi
diskursus atau wacana. Setiap kata yang dipilih oleh pelaku sosial ditentukan
oleh kapasitas linguistik yang dimilikinya, yang ditentukan oleh habitus
linguistiknya.
Dalam setiap pasar linguistik ada wacana
yang bernilai tinggi dan ada wacana yang bernilai rendah. Wacana yang bernilai
tinggi adalah wacana yang dominan, yaitu yang memiliki legitimitas, wacana yang
diakui kebenarannya oleh khalayak. Bourdieu menyebutnya sebagai doxa.
Bahasa dan Doxa
Hubungan komunikasi antara pengirim (émetteur)
dan penerima (récepteur) dibangun berdasarkan penyusunan kode atau
simbol bahasa oleh pengirim (chiffrement) dan pembongkaran kode atau
simbol bahasa oleh penerima (déchiffrement). Hubungan komunikasi seperti
ini bukan hanya sekedar hubungan komunikasi murni, seperti yang diungkapkan
oleh Saussure. Bourdieu berpendapat bahwa konteks sosial atau pasar linguistik
juga menentukan berhasil tidaknya satu wacana dari pengirim dipahami oleh
penerima.
Wacana yang dikirimkan bukanlah sekadar
wacana yag diharapkan dapat dipahami oleh penerima. Sebuah wacana juga
merupakan kumpulan tanda dan simbol yang bertujuan untuk dinilai dan
diapresiasi (signes des richese), atau bertujuan untuk dipercaya dan
dipatuhi (signes d’autorité). Dipercaya dan dipatuhi menunjukkan
otoritas yang ingin dicapai oleh pelaku sosial. Otoritas ini adalah bentuk
kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik. Bahasa sebagai kapital
budaya (linguistik) dengan demikian erat kaitannya dengan pertarungan dan
kekuasaan simbolik.
Di setiap arena ada wacana dominan dan
ada wacana marginal. Wacana dominan akan terus berusaha mempertahankan
keberadaannya, sedangkan wacana marginal akan berusaha menjatuhkannya.
Pada saat satu bahasa menjadi wacana yang
mendominasi pasar, ia menjadi norma yang diterima kebenarannya. Harga, nilai,
bahkan makna wacana-wacana yang lain ditentukan oleh wacana dominan ini, yang
disebut sebagai doxa. Doxa adalah wacana yang kita terima begitu
saja sebagai kebenaran dan tidak dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi
kebenarannya.
Heterodoxa dan Orthodoxa
Heterodoxa adalah wacana
yang bertentangan dengan doxa. Orthodoxa adalah wacana-wacana
yang terus mempertahankan doxa. Doxa biasanya didukung oleh kelompok sosial yang dominan
dan berkuasa yang menikmati status quo. Maka, mereka biasanya akan
mempertahankannya dengan segala cara, karena mereka diuntungkan oleh doxa
tersebut. Namun, di sisi lain wacana-wacana marginal akan terus berusaha untuk
menghancurkan tatanan doxa dan siap-siap mengambil posisinya. Ini adalah
sebuah pertarungan simbolik yang tujuan utamanya adalah akumulasi kapital
simbolik demi kekuasaan simbolik.
Mengapa?
Ada 4 bentuk kapital: kapital ekonomi,
budaya, sosial dan simbolik. Kapital ekonomi adalah kapital yang paling mudah
dikonversi ke dalam bentuk kapital yang lain. Di semua medan sosial kapital
ekonomi pasti sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditolak kehadirannya. Namun,
konversi yang paling tinggi tingkat kekuasaannya adalah konversi dari berbagai
kapital lain ke kapital simbolis. Kapital simbolis di dalam
bentuk-bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate,
yang memiliki legitimasi, mendapat pengakuan luas dan diterima publik secara
luas.
Konsep legitimasi Bourdieu berbeda dengan
konsep Weber yang meletakkan legitimasi dan kekuasaan pada figur pemimpin.
Bourdieu menyatakan bahwa kebudayaan dominan adalah kebudayaan dari kelas
dominan yang setalah melalui proses legitimasi yang panjang, mampu menghilangkan
(melupakan) sisi-sisi kesewenang-wenangan yang ada pada saat kebudayaan
tersebut dibangun.
Definisi sah atau tidak, benar atau
salah, diakui atau tidak, ternyata sangat penting di dalam sebuah interaksi
sosial dan kekuasaan. Bahkan masalah legitimasi ini adalah dasar dan tujuan
dari pertarungan kelas. Legitimasi ini sangat penting bagi semua kelompok
sosial, bagi semua pelaku sosial, karena teruhannya adalah kelestarian atau
perubahan struktur yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubungan-hubungan
kekuasaan.
Semua dominasi sosial harus mendapat
pengakuan, diterima sebagai sebuah legitimitas. Untuk itulah diperlukan
kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat mendesak penerimaan hukum-hukum dan’
memaksakannya’ sebagai legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang
mendasari kekuasaannya. Di medan simbolik inilah pertarungan kelas terjadi.
Sekolah: Reproduksi Kesenjangan Sosial
Pendidikan sekolah bagi banyak orang
menjadi alat di mana mereka bisa menaiki jenjang sosial yang lebih tinggi. Dan bagi
mereka yang datang dari kelas sosial atas pendidikan sekolah formal menegaskan
kembali status sosial mereka. Latar belakang budaya pendidikan di sekolah pada
tahun sembilan belas enampuluhan, cenderung masih menjadi urusan para pedagog
atau psikolog. Tidak
mengherankan bila upaya mengatasi masalah pendidikan selalu dicari pemecahannya
di sekitar proses belajar-mengajar, tingkat keberhasilan atau kegagalan atas
dasar evaluasi kemampuan menyerap materi yang diajarkan, situasi psikologi
peserta didik atau pengajar, sarana pendidikan, kurikulum; hubungan antara
tujuan-tujuan pendidikan dan pilihan sarana pedagogis proses belajar-mengajar.
Semua masalah ini berdasar pada
pengandaian bahwa semua peserta didik memiliki kesempatan yang sama.
Keberhasilan pendidikan hanya mengarah kepada dua kriteria besar, yaitu proses
belajar-mengajar dan hasilnya. Keduanya akan diukur dari kompetensi profesi.
Sedangkan latar belakang sosial peserta didik sama sekali tidak diperhitungkan.
Cita-cita pendidikan bahwa perolehan
pengetahuan dan teknologi akan mendorong pemahaman diri dan lingkungan secara
lebih baik, ternyata sulit diwujudkan. Bukan hanya pada tingkat perguruan
tinggi, persoalan mengenai melemahnya kompetensi peserta didik sudah dirasakan
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Bila dalam perolehan pengetahuan
dan ketrampilan dasar (membaca, berbicara runtun, menghitung dan pemecahan
masalah) sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran dasar
(pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap) yang dituntut agar bisa
mengembangkan kemampuannya, hidup dan bekerja yang bermartabat menjadi semakin
tidak mudah[2].
Kenyataan ini seakan membenarkan kritik Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa
sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial[3].
Kelas menengah ke atas lebih
diuntungkan oleh sistem sekolah karena budaya sekolah lebih sesuai dengan habitus yang mereka miliki. Kelas sosial
menengah ke atas memiliki kesempatan yang lebih besar karena mereka memiliki
latar belakang budaya (cultural capital) yang lebih siap dibandingkan mereka
yang datang dari kelas sosial rendahan. Ada
suatu kebiasaan dalam keluarga yang menjadi titik awal persiapan mereka masuk
ke dalam budaya pendidikan yang tidak dimiliki masyarakat kelas rendahan. Latar
belakang budaya kelas menengah ke atas lebih siap menghadapi persaingan di
sekolah. Peserta didik yang datang dari kelas menengah ke atas sudah terbiasa dengan
aktivitas membaca, menuangkan gagasan dalam tulisan atau berdiskusi, bahkan
mereka memiliki sarana yang lebih lengkap untuk belajar seperti komputer,
buku-buku ensiklopedi, kamus, internet, dan aneka macam kegiatan mengembangkan
bahasa. Situasi demikian membuat anak-anak mereka sudah lebih siap memasuki
persaingan dari pada mereka yang berasal dari kalangan miskin.
Ketegangan antara perlunya
persaingan dan keprihatinan akan kesamaan kesempatan, menempatkan para
pengambil kebijakan pendidikan dalam posisi dilematis. Di satu sisi persaingan
dibutuhkan untuk memacu efisiensi (ciri khas logika ekonomi), sedangkan di sisi
lain kesamaan kesempatan dan solidaritas adalah yang ditekankan oleh logika
sosial. Ketegangan ini ingin dipecahkan melalui pendidikan agar membentuk
sinergi antara persaingan yang memacu efisiensi, kerjasama yang memberi
kekuatan dan solidaritas yang menyatukan[4].
Menurut Bourdieu, kesenjangan sosial
dalam pendidikan terasa sekali ketika melihat kesempatan untuk masuk perguruan
tinggi. Bagi peserta didik yang berasal dari kelas atas kemungkinannya 80%,
sedangkan mereka yang berasal dari petani dan buruh hanya 40%[5]. Dari
prosentase ini terlihat bagaimana sekolah kemudian dianggap ikut berperan aktif
dalam memproduksi dan mereproduksi kesenjangan sosial tersebut
Bourdieu
ingin membangun suatu teori hubungan sosial dalam kerangka kekayaan budaya,
penyampaian warisan budaya, rekayasa yang dibuat dan bagaimana apropriasi
kekayaan budaya tersebut. Kesenjangan di dalam sekolah mencerminkan prinsip
kesenjangan dalam budaya. Bourdieu, terutama dengan konsep habitus, memperkaya hubungan kelas-kelas sosial dengan memasukkan
dimensi budaya, simbolik, moral, psikologi dan ketubuhan. Habitus merupakan
hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari)
yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah
dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu[6].
Kesenjangan sosial berhadapan dengan
sekolah, pertama-tama bukan masalah perbedaan pendapatan, tetapi lebih pada
perbedaan kapital budaya. Jadi ada hubungan antara keberhasilan di sekolah
dengan pendampingan dan pengawasan keluarga terhadap peserta didik, tingkat
pendidikan orang tua, baru kemudian pengaruh kapital ekonomi.
Sekolah sejak awal diandalkan
sebagai tempat efektif untuk menaiki jenjang sosial. Melalui sekolah orang
berharap akan memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi, budaya maupun
posisi dalam hierarki sosial. Imajinasi republikan Perancis mengembangkan
gambaran mobilitas sosial dalam tiga generasi: kakek petani, orangtua guru,
anak menjadi intelektual (penulis), pemimpin perusahaan atau pejabat. Contoh yang
sering dikutip ialah Georges Pompidou, Presiden Perancis, cucu seorang petani
dan anak seorang guru dari desa Cantal[7].
Di benak masyarakat
seakan sekolah membuka kesempatan sama bagi semua lapisan. Padahal budaya sekolah menuntut suatu
syarat tertentu bila ingin mendapatkan tempat terhormat di
universitas-universitas ternama. Budaya kelas sosial yang lebih siap menghadapi
persaingan di sekolah ialah budaya kelas menengah ke atas. Di keluarga-keluarga
kelompok sosial ini sudah ada kebiasaan membaca; mereka memiliki kamus atau
ensiklopedi, ada ruang dan waktu belajar, sudah memiliki komputer, ada
kebiasaan berdiskusi sehingga terampil di dalam rekayasa bahasa. Pendek kata,
meski sekolah membuka kesempatan sama untuk semua, tetapi dalam kenyataan,
kelas menengah ke atas sudah lebih dahulu memesan tempat-tempat terbaik karena
kesiapan mereka untuk bersaing. Dengan kata lain, habitus kelas itu bisa berkembang dan dibesarkan tidak lepas dari
kepemilikan kapital budaya dan kapital ekonomi.
Sejak masih di Sekolah Dasar,
peserta didik sudah dipacu untuk berprestasi agar masuk dalam ranking di kelas.
Sejak dini mereka mulai berlomba untuk memperebutkan tempat di setiap jenjang
proses pendidikan karena menjanjikan posisi sosial di masa depan Kesenjangan
sosial semakin melebar dengan menjamurnya International
Schools yang komunikasi pedagogisnya menggunakan bahasa Inggris. Tetapi
akan sangat tidak masuk akal melarang lembaga-lembaga dan program-program
alternatif kegiatan-kegiatan tersebut.
Namun tujuan pendidikan yang
pragmatis ini sangat wajar sebagai naluri bertahan hidup atau kecenderungan
untuk perbaikan kualitas hidup, kalau tidak mau dikatakan yang utama. Setidaknya
ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan: 1) perolehan pengetahuan
dan ketrampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab permintaan pasar, 2)
orientasi humanistik, 3) menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi dan
masalah keadilan, 4) kemajuan ilmu-ilmu itu sendiri.
Meski jumlahnya kecil pada awal
jenjang sekolah, kemampuan dan bobot peserta didik yang berasal dari kelas atas
lebih sering di atas rata-rata. Semakin tinggi jenjang sekolah semakin naik
kemampuan bersaing mereka sehingga semakin mengurangi dan mengalahkan peserta
didik dari kelas bawah, yaitu anak petani, buruh, karyawan rendahan [76% dari
peserta didik kelas atas dinilai maju, sedangkan 64% dari kelas bawah dianggap
terlambat][8].
Penelitian yang menunjukkan adanya sistem seleksi sosial sejak awal.
Di Indonesia, menjamurnya International Schools yang mahal
beayanya dan perburuan sekolah favorit memberi bukti bahwa orang telah
menyetujui sistem seleksi masyarakat sejak dini. Betulkah semua peserta didik
mempunyai kesempatan sama? Ideologi bakat semakin melanggengkan mitos bahwa
semua mempunyai kesempatan sama. Bukankah asal-usul sosial peserta didik
menjadi faktor paling menentukan dalam keberhasilan atau kegagalan di sekolah ?
Menurut Bourdieu, bahkan bagi kelas atas rasa aman akan masa depan itu semakin
terjamin dengan terbukanya kemungkinan untuk mengambil kuliah di beberapa
bidang disiplin ilmu yang sering jauh dari disiplin ilmu pokok yang
dipelajarinya[9].
Ada hubungan antara, di satu pihak sekolah,
yang dipahami sebagai lembaga reproduksi budaya yang berlaku, dan, di lain
pihak, kelas-kelas sosial yang ditandai oleh kemampuan menyerap secara efektif
komunikasi pedagogis[10].Ternyata
pengelompokkan kelas-kelas sosial mencerminkan juga jarak kesenjangan dengan
budaya sekolah. Tradisi yang hidup dalam
kelas menengah ke atas lebih dekat dengan budaya sekolah.
Representasi seperti itu meyakinkan
seakan-akan berkat bakat dan ketekunan, semua peserta didik mempunyai
kesempatan sama untuk berhasil. Padahal asal-usul lingkungan sosial sangat
menentukan. Peserta didik yang berasal dari keluarga miskin atau petani di desa
harus berjuang keras untuk meniti tangga sekolah karena jauh dari fasilitas
pendidikan dan budaya. Berbeda dengan mereka yang sejak kecil sudah tidak asing
dengan buku, komputer, kunjungan ke perpustakaan, langganan majalah atau koran,
diskusi di mana olah-pikiran menjadi aktivitas utama, maka menulis dan
berbicara telah menjadi bagian hidup. Terbiasa dengan lingkungan di mana bahasa
cerdik menjadi bahasa ibu, mereka mumpuni menggunakan kata-kata dan cara
berpikir mereka lebih terasah tajam[11].
Sistem pendidikan
sekolah memang tidak peduli terhadap tingkat penerimaan permainan intelektual
peserta didik. Padahal tingkat
penerimaan permainan intelektual dan nilai-nilai yang diusung tidak pernah
lepas dari asal-usul sosial. Kalau bagi peserta didik kelas atas, masuk sekolah
bahkan sampai pada tingkat universitas merupakan kelanjutan dari kehidupan
budaya rumah, sedangkan untuk kelas bawah dan sebagian kelas menengah yang
dipertaruhkan adalah masa depan mereka. Perjuangan untuk bisa masuk ke dalam
budaya sekolah menuntut upaya lebih seperti masuk ke dalam dunia yang tidak
riil karena jauh dari budaya yang mereka hayati
Kritik Terhadap Bourdieu
- Konsep kesetaraan yang dikemukakan oleh Bourdieu memang baik, jelas, dan memperhatikan kepentingan mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Namun untuk mencapai kesetaraan itu merupakan hal yang sulit bahkan mendekati tidak mungkin untuk dilakukan. Meskipun mungkin, toh memerlukan biaya yang sangat besar. Yang bisa dilakukan yaitu dengan membuat suatu program penyetaraan bagi mereka yang memiliki kapital budaya kurang. Hal itu bisa dilakukan dengan pemfasilitasan di daerah yang kurang maju dan diadakan program-program semacam kursus untuk penyetaraan kapital budaya itu (mirip semacam matrikulasi).
- Tuntutan terhadap kurikulum pendidikan sangat tinggi karena para pembuat kebijakan pendidikan harus memperhatikan asal-usul kapital budaya masing-masing siswa.
Pustaka
- 2008. http://www.berpolitik.com. Pierre Felix Bourdieu
- Arif Wibowo
- Bourdieu, Pierre.,
1992 Language
and Symbolic Power, Cambridge, Polity Press
- Haryatmoko
2003.
www.kompas.com. Reproduksi Kesenjangan Sosial Melalui Sekolah.
- Majalah BASIS. Tahun ke-25/November-Desember/2003
- Majalah BASIS. Tahun ke-57/Juli- Agustus/2008
- Nur Aryani
[1]
Modal sebenarnya adalah istilah dalam khasana ekonomi. Namun Bourdieu
menghubungkananya dengan masalah kekuasaan. Modal sendiri dapat terakumulasi
melalui investasi., diberikan kepada yang lain melalui warisan dan dapat
memberi keuntungan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh pemilihnya untuk
mengoperasikan penempatannya.
[2]J. Delors (ed.), Learning The Treasure Within. Report to UNESCO of the International
Commission on Education for the Twenty-first Century, Paris 1998: Presses Universitaires de France,
25.
[3] Bourdieu, Pierre Passeron, Jean-Claude, La reproduction. Elements
pour une theorie du systeme d’enseignement, Paris 1970, Minuit.
[4] J.
Delors (ed), Learning The Treasure Within. Report to UNESCO of the
International Commission on Education for the Twenty-first Century, 17 – 18.
[5] Bourdieu, Pierre Passeron, Jean-Claude, La reproduction. Elements
pour une theorie du systeme d’enseignement, 12.
[6] P.Bourdieu,
Raisons pratiques. Sur la theorie de
l’action. Paris 1994, Seuil 9, 16-17
[7]Christian Baudelot, , L’education, un nouvel objet scientifique, un nouveau champ de lutte,
dalam: Muller, H-P., & Sintomer, Y., Pierre Bourdieu, theori et pratique.
Paris 2006: La Decouverte, hlm.165-189
[8] Bourdieu, Pierre &
Passeron, Jean-Claude. Les heritiers. Les
etudiants et la culture, Paris1964, Minuit. 13.
[10] Bourdieu, Pierre Passeron, Jean-Claude, La reproduction. Elements
pour une theorie du systeme d’enseignement, 128.
[11] Bourdieu, Pierre & Passeron,
Jean-Claude. Les heritiers. Les etudiants
et la culture.
No comments:
Post a Comment