Caput
nullitatis/ anulasi perkawinan
Caput
Nullitatis perkawinan
adalah alasan yuridis yang menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan gugatan anulasi perkawinan. Disebut alasan yuridis, maksudnya
alasan-alasan itu sudah diatur oleh
ketentuan norma atau fakta-fakta yang oleh hukum dinyatakan sebagai dasar tidak
sahnya sebuah perkawinan.
Ada tiga pelaku penting yang mendapat perhatian dalam
tindakan hukum proses kanonik pembatalan
perkawinan, yakni: (1). Pemohon (quis
petit); (2). Hakim (coram quo) dan (3). Responden (a quo petatur).
Hukum proses dalam perkawinan kanonik
dimulai dengan sebuah tindakan dari pemohon dengan membuat surat permohonan
pembatalan perkawinan kepada Tribunal perkawinan yang berkompeten. Tindakan
hukum dari pemohon yang mengutarakan kehendaknya untuk proses hukum pembatalan
perkawinannya di depan Tribunal Perkawinan yang berkompeten disebut libellus
(buku kecil atau tulisan kecil).
Ada dua hal pokok untuk menghantar kita
pada pemahaman tentang caput nullitatis dalam proses pernyataan batalnya
perkawinan kanonik, yakni:
1. Motivasi untuk bertindak
Setiap tindakan hukum dalam hukum proses
perkawinan kanonik selalu dimulai dengan pernyataan kehendak dari orang /
pemohon secara bebas dan sadar. Dalam pengertian seperti ini libellus dapat
dipahami sebagai tahap awal suatu tindakan hukum yang memegang peranan penting
untuk terjadinya pernyataan pembatalan perkawinan di Tribunal. “Hakim tidak
dapat memeriksa suatu perkara kecuali jika ada permintaan yang diajukan oleh orang
yang berkepentingan atau oleh promotor iustitiae seturut norma hukum.
Barangsiapa mau menggugat seseorang haruslah menyampaikan surat gugat kepada
hakim yang berwenang di mana diuraikan pokok sengketa serta dimana pelayanan
hakim” (Kan 1501-1502).
2. Elemen-elemen konstitutif dari libellus
Elemen-elemen konstitutif dari libellus yang menghantar pada pemahaman
caput nullitatis perkawinan kanonik, terdapat dalam Kan 1502 dan 1504. Pertama, elemen Subyektif terdiri dari:
pemohon, yaitu orang / persona yang meminta tindakan hukum melalui proses.
Orang / persona, bisa individu, kolektif, badan hukum gereja, dapat mengajukan
permintaan gugatan tentang persoalan apapun; dan responden. Kedua, elemen
Obyektif yang menyatakan bahwa untuk terjadinya proses peradilan perdata biasa,
perlu adanya obyek apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu ditujukan
dari seorang yang berkepentingan. Dalam elemen obyektif ini, dinyatakan secara
konkret obyek dari konkroversi / perkara itu diajukan ke pengadilan. Ketiga,
elemen Yuridis, ditunjukkan atas dasar hukum mana / alasan yuridis mana pemohon
bersandar. Dalam rujukan atas dasar
hukum mana pemohon bersandar dapat diambil argumen yuridis dari hukum universal
maupun hukum partikular yang berlaku. Tidak perlu diuraikan spesifikasi
tindakan dan teks substansial dasar hukum tetapi kaitan persengketaan itu
dengan norma hukum, entah statuta, hukum partikular / universal, yang diketahui
oleh hakim tribunal. Dengan demikian, memudahkan para hakim untuk merumuskan
persoalan / persengketaan (ad litem contestandam), dan atas dasar apa keabsahan
perkawinan itu digugat (caput nullitatis atau capita nullitatis), kemudian
menyampaikan kepada pihak yang berperkara (bdk. Kan 1677§3). Secara empiris dinyatakan bukti-bukti mana
yang membenarkan apa yang dinyatakan dalam permohonan pernyataan pembatalan
perkawinan. Keempat, elemen Postulat, sebagai unsur terakhir libellus, adalah
permintaan pemohon agar hakim mengintervensi
untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Permintaan hendaknya jelas dengan
mencantumkan tanda tangan pemohon dan atau prokurator, hari, bulan dan tahun
serta tempat tinggal pemohn (domisili / kuasi domisili).
No comments:
Post a Comment