Hannah Arendt:Perempuan dengan Cadar Ajaib
“The new
always happens against the overwhelming odds of statistical laws and their
probability. The new therefore always appears in the guise of miracle.”(Hannah
Arendt, The Human Condition)
1. Nestapa yang tak Selalu Buram
Saat arus pemikiran Barat lebih didominasi oleh
laki-laki, seorang Hannah Arendt, perempuan kelahiran 14 Oktober 1906 di Liden,
dekat Honnover, Jerman ini justru hadir dengan orisinalitas yang mencerahkan
dunia. Ia adalah putri dari pasangan Paul dan Martin Arendt – sebuah keluarga
Yahudi yang terdidik dan liberal. Masa kecil Arendt boleh dibilang malang.
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengahnya (Gymnasium),
pada 1924 Arendt masuk Universitas Marburg mempelajari filsafat pada filsuf
terkemuka Martin Heidegger (1889-1976) dan mendalami teologi pada teolog besar
Protestan Rudolph Bultmann (1884-1976), selain juga mempelajari bahasa Yunani.
Pengaruh Heidegger pada karya Arendt bisa dilihat tidak hanya pada sikapnya
yang memuja hal-hal ‘berbau’ Yunani, tetapi juga dalam metode etimologis yang
sering dipakainya dalam menentukan makna konsep kunci, seperti “kerja”
Hubungan Arendt dengan guru filsafatnya yang satu ini
sempat melampaui hubungan antara guru dan murid, namun kelak justru renggang
menyusul dukungan Heidegger pada rezim Nazi.
•
Di tahun
1925 Arendt melanjutkan studinya pada Edmund Husserl (1859-1938) di Freiburg,
Jerman. Tetapi promosinya, atas usul Heidegger, dilakukan oleh Karl Jaspers
(1883-1969) di Heidelberg. Disertasinya yang ditulis di bawah judul The
Concept of Love in Augustine (1929) merupakan antipoda bagi konsep Sein-zum-Tode
Heidegger. Uniknya, Arendt menuliskannya dalam prosa yang Heideggerian, salah
satu bukti pengaruh besar mantan guru dan kekasihnya itu.
•
Pada 1929
Arendt hijrah ke Berlin dan menikahi Gunther Stern, seorang filsuf muda Yahudi
Setelah memutuskan hubungannya dengan Heidegger pada tahun 1925, Di kota Berlin
ini ia mulai menulis seputar hidup Rahel Varnhagen, seorang wanita Yahudi
terkenal yang hidup pada abad ke-19, dengan judul “The Life of Jewess” yang
diterbitkan pada 1958. Selama kekuasaan Nazi, sang suami, Stern, lari ke
Perancis, sementara Arendt tetap bertahan di Jerman sambil terus melawan rezim
itu lewat organisasi zionisme. Akan tetapi tak lama kemudian ia pun terpaksa
hengkang dari Jerman.
•
Ia lalu
berpindah ke Praha, Jenewa, dan Paris. Di Paris ia masuk suatu organisasi
zionisme untuk menolong para pengungsi Yahudi. Kota ini mempertemukannya dengan
Walter Benjamin dan Raymond Aaron.
•
1937 adalah
tahun perceraian Arendt dari Stern, setelah setahun sebelumnya ia menjalin
hubungan erat dengan Heinrich Blücher, seorang aktivis kiri politik Jerman.
Setelah Prancis jatuh pada tahun 1940, Arendt kemudian berpindah lagi ke
Amerika Serikat dan menetap di New York. Di New York, Arendt mengajar di salah
satu perguruan tinggi (lebih sering di New School for Social Research ) sambil
bekerja sebagai jurnalis.
Karya-karyanya...
•
Karya
Arendt, The Origin of Totalitarianism, yang terbit pada 1951 membuat
namanya mulai bersinar dan dikenal luas, dan pada 1967 ia mulai mengajar di New
School for Social Research, AS. Setahun kemudian ia menerbitkan Men in
Dark Times (1968), dan esai-esai politiknya yang ia tulis dalam kurun tahun
60-an ia terbitkan dalam Crisis of Republic (1972). The Life of Mind (1978)
adalah buku terakhirnya yang belum sempat rampung ditulis yang diterbitkan tiga
tahun setelah wafatnya. Di AS ia menulis karya-karya terpentingnya yang lain: The
Human Condition (1958) dan On Revolution (1963). Kedua karya
tersebut, juga esai-esainya yang terkumpul dalam Between Past and Future
(1961), menegaskan kepiawaiannya sebagai pemikir politik, dan menjadi bagian
dari warisan yang sangat berharga dalam kancah teori politik.
•
Karya-karya
Arendt yang lain (tersebar sebagai paper di jurnal atau bahan seminar) di
antaranya “Thinking and Moral Considerations” (1971), “Civil Disobedience”
(1970), “Reflections on Violence” (1969), “Reflections on Little Rock” (1959),
“Philosophy and Politics” (1954), “The Concern With Politics in Recent European
Philosophy” (1954), “Karl Marx and the Great Tradition” (1953), “Totalitarian
Elements in Marxism” (1952, karya yang tidak selesai), “Ideology and Terror”
(1951), ”What is Existenz Philosophy” (1946)
•
Pada 4
Desember 1975, Arendt yang perokok itu menghembuskan nafas terakhirnya akibat
serangan jantung di flatnya di New York, saat ia tengah menghibur
kolega-koleganya. Bahkan pada akhir hidupnya, ia seolah hendak menunjukkan
bahwa deretan nestapa yang ia alami sepanjang hidupnya: masa kecil penuh
tekanan, konflik dalam percintaan, hingga pengusiran dan kengerian
perang-perang dunia, tak harus selalu menjadi buram. Setidaknya, sumbangan
pemikiran Arendt yang tajam-mengena itu telah membuktikannya.
2. Pemikiran Arendt: Pengaruh dan Konteksnya
Hannah Arendt adalah seorang filsuf yang jangkauannya
sangat luas atas peristiwa – peristiwa sejarah besar di zamannya. Ia juga
termasuk dalam salah satu pemikir yang meletakkan batu pertama metode
fenomenologi ke dalam diskursus sosial politik. Maka tidak mengherankan jika ia
dikenal sebagai seorang pemikir politik yang cukup orisinil dan berpengaruh. Ia
sangat tertarik untuk menganalisis sifat politik dan masyarakat “zaman modern”
dalam peristiwa – peristiwa penting “dunia modern”, misalnya dunia penerbangan,
teori ketidakpastian, dunia kamp konsentrasi Holocaust dan kaum Stalinis.
Dari Heidegger – sang guru pertamanya – Arendt belajar
betapa pentingnya akar-akar Yunani dalam pengolahan filsafat, dan betapa kita
harus pandai mengawinkan puisi, bahasa dan filsafat. Dari Heidegger pula ia kemudian belajar
membedakan dengan tajam antara berpikir sebagai aktivitas murni dan mengetahui
sebagai kegiatan ilmiah untuk suatu kepentingan. Mereka berdua sama-sama menyimpan kecurigaan besar
terhadap ‘tradisi metafisik’ yang diklaim telah menjauhkan manusia dari
pengertian dan keterlibatannya dalam dunia yang riil dan bergegas.
3. Percakapan tentang Modernitas
“Masyarakat massa modern berarti:
Sebuah
masyarakat yang, tanpa dunia bersama yang sesekali menghubungkan dan memisahkan
mereka, hidup dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan bersama
menjadi massa. Karena masyarakat-massa tak lain jenis dengan
kehidupan formal yang secara otomatis menegakkan dirinya di antara umat manusia
yang masih terkait satu sama lain [dikarenakan menjadi anggota spesies manusia] tetapi telah kehilangan dunia yang pernah dimiliki
bersama” (Hannah
Arendt, The Concept of History)
3.1.
Modernitas dan Kegilaan
Modernitas dalam mata Arendt
digambarkan sebagai sebuah zaman masyarakat massa, zaman munculnya ‘ruang
sosial’ di luar pembedaan sebelumnya antara ‘ruang publik’ dan ‘ruang privat’,
dan sebuah zaman kemenangan animal laborans atas homo faber serta
konsepsi manusia sebagai zoon politikon. Ia adalah sebuah zaman
administrasi birokratis dan kerja anonim, bukannya zaman politik dan tindakan.
Modernitas juga adalah zaman
munculnya bentuk-bentuk pemerintahan totalitarian yang didasarkan pada pelembagaan
teror dan kekerasan. Ia adalah masa di mana sejarah sebagai proses alami
menggantikan sejarah sebagai jalinan pelbagai tindakan dan peristiwa, di mana
homogenitas dan konformitas menggantikan pluralitas dan kebebasan, serta
kesendirian yang diorganisasi menggantikan seluruh bentuk kehidupan bersama
umat manusia yang spontan. Modernitas adalah masa di mana masa lalu tidak lagi
membawa kepastian apapun tentang evaluasi, di mana individu, yang tidak lagi
menjadi ukuran segala hal, harus mencari landasan baru bagi komunitas manusia
sebagaimana adanya. Mungkin kekacauan macam inilah yang dapat menggambarkan
modernitas sebagai - meminjam istilah Roos Poole – sebuah kegilaan.
3.2.
Modernitas dan ‘Tindakan yang menjadi jongos’
Arendt menilai bahwa maslah
paling besar yang dihadapi modernitas berakar pada tradisi filsafat Barat yang
telah mendevaluasi dunia tindakan manusia (vita activa) yang sungguh
kelihatan dan men-subordinasikan-nya di bawah hidup kontempalsi (vita
contemplativa) yang berkaitan melulu dengan yang esensial dan ilahiah.
‘Pendosa’ terbesar yang dapat kita temukan
adalah Plato – yang relah membuat alegori ‘Gua’ dalam karyanya The Rrepublic
– yang mendeskripsikan bahwa urusan fisik manusiawi adalah hanya bayangan saja
dan menginstruksikan siapa saja yang hendak mencari kebenaran utuk menoleh dan
berpaling pada ‘langit cerah dari ide-ide abadi’. Hal ini tampak nyarta betapa theoria diletakkan lebih tinggi daripada praxis dan epistemé
lebih luhur dari doxa.
Bidang-bidang tindakan yang kasat mata (termasuk politik)
menjadi ‘jongos’ dan instrumen belaka untuk mencapai tujuan akhir Ide-ide. Hanya dengan mengubah
kesalahan inilah, Arendt berani berharap untuk membangun kembali tata publik
dan tindakan politik yang terarah pada kebaikan dan tujuan hidup manusia.
Arendt melontarkan pembagian tripartite atas aktivitas
manusia yang telah lama menjadi ‘jongos’ itu, yaitu: labor, work, and action. Lebih lanjut ia menyusun ketiga aktivitas ini dalam
sebuah hirarki kepentingan yang menanjak dan mengindentifikasi jungkir-baliknya
hirarki ini sebagai pusat dari gerhana kebebasan politik dan tanggung jawab
yang menjadi ciri era modern.
3.3. Kerja: Kemanusiaan sebagai Animal
Laborans
Labor adalah
aktivitas yang berkaitan dengan proses biologis dan kebutuhan eksistensi
manusia, praktik yang dibutuhkan bagi pemeliharaan hidup itu sendiri.
Karenanya, labor dibedakan oleh karakternya yang tak pernah berakhir,
tidak permanen. Karena hasil usahanaya akan segera tergunakan, maka ia harus
secara abadi diperbarui juga sebagaimana kehidupan yang disokongnya. Kerja inilah ciri
kemanusiaan yang paling dekat dengan sifat kebinatangan, dan demikianlah Arendt
kemudian menciptakan terma animal laborans untuk menunjukkan bahwa sejak
dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariahlah yang menggerakkan maka
tiadalah kebebasan dalam diri kemanusiaan yang satu ini – yang juga menyandang
gelar ‘budak’ dan ‘hamba’. Manusia disebut sebagai animal laborans yang
mengkonsentrasikan diri pada eksistensinya, yaitu pada tubuh dan kodrat
biologisnya.
Karya: Kemanusiaan sebagai Homo Faber
Work atau karya
merujuk pada aktivitas yang di dalamnya manusia mengendalikan alam menampakkan
dunia manusiawinya yang tahan uji dan terbedakan dengan alam sekitarnya. Bila menjadi buruh atau pegawai (labor) merupakan
aktivitas manusia yang bersifat alami untuk memenuhi tuntutan kehidupan laiknya
binatang atau hewan, maka homo faber kini digambarkan sebagai orang yang
mampu mengonsentrasikan objek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri
dari keterbatasan. Manusia lalu dapat menciptakan objek yang berguna untuk
lebih memudahkan kerja dan memulti-gunakan kapasitasnya. Kini, misalnya,
diciptakan komputer untuk membantu pekerjaan seseorang. Bagi para petani,
dibuatkanlah traktor untuk mengolah sawah. Bagi para nelayan, diciptakanlah
perahu untuk homo faber mengarungi lautan guna mengail tangkapan
Jadi, karya yang mengungkapkan baik téchne dan
poésis ini berkaitan dengan penciptaan dunia artifisial, sebuah dunia yang
berlainan dengan dunia hewani yang semata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
biologis semata. Karya ini secara inheren bersifat publik dan berbeda dengan labor
yang hanya berurusan dengan kebutuhan masing-masing individu saja. Mengapa?
Karena dalam karya-lah seseorang menciptakan beragam objek yang ada di antara
manusia-manusia lain dan sekaligus mempersatukannya. Hal inilah yang kemudian
akan menjadi pra-syarat bagi terbentuknya komunitas politis.
Ancaman modernitas...
Ancaman modernitas justru terletak ketika terjadi
‘kebangkitan massa’ – the rise of the social yang berpusat pada
aktivitas kerja dan konsumsi hasil-hasilnya bahkan sampai ruang publik. Dalam
dunia industri modern, misalnya, karakter animal laborans yang permanen,
stabil dan tahan lama itu merasuk dalam ruang publik – karena masifnya
orang-orang yang terlibat di dalamnya hingga butuh pengaturan politik – dan
mengorbankan nilai-nilai kehidupan, produktivitas hidup dan kepenuhannya. Namun
Arendt tetap bersikukuh bahwa semua karakter animal laborans itu tak
akan mampu menghalangi manusia mencapai akhir yang lebih tinggi dalam dunianya. Pada akhirnya memang harus dikatakan bahwa kebangkitan animal
laborans ini dapat mengancam homo faber dan selanjutnya juga menghalangi
kondisi-kondisi duniawi yang memungkinkan terbentukanya kolektivitas dan hidup
publik dalam komunitas. Inilah yang disebut Arendt sebagai ‘alienasi dunia’.
4. Kisah Tindakan (Me) Manusia (kan)
4.1. Tindakan: Kemanusiaan
sebagai Zoon Politikon
Sampai titik ini kita sudah memiliki dua
tingkatan yang berbeda dari dunia kasat mata manusia. Pertama adalah animal
laborans yang menyuguhkan kelangsungan hidup biologis. Kedua, homo faber yang
menciptakan dunia publik dan umum yang mampu bertahan bagi eksistensi kolektif
kita.
Tentu
saja homo faber menempati kursi hirarki yang lebih tinggi daripada animal
laborans. Namun demikian, ternyata homo faber pun tidak memberikan ciri yang
khusus menjadi previlese manusia, karena homo fabere sekalipun tetap memiliki
karakter instrumental dan karenanya tak mampu menyuarakan kebebasan yang utuh
dan penuh dari manusia. Karya dapat dipandang sebagai sebuah sarana untuk
meraih sesuatu yang lain, dan karenanya karya masih memiliki tujuan yang ada di
luar dirinya sendiri.
4.2. Tindakan dan Buah Kebebasan
Pada akhirnya, Arendt menelurkan pemikirannya mengenai
‘tindakan’ yang menjadi tingkatan tertinggi karena hanya dalam tindakan-lah
kita dapat menemukan kebebasan yang tak dapat terhapuskan, statusnya sebagai
akhir dari dirinya sendiri dan tak disub-ordinasikan pada hal-hal di luar
dirinya. Arendt menetang pemikiran bahwa kebebasan ditemukan dalam fenomena
batin yang kontempaltif atau pribadi sifatnya, karena kebebasan itu selalu
bersifat aktif, duniawi, dan publik. Bukankah kita menyadari kebebasan kita
dari persentuhan kita dengan orang lain, bukan dengan diri sendiri?!
Manusialah yang bertindak dan berinisiatif membangun
konstruksi dinding fisik dan kultural, dan dengan demikian menampakkan
kebebasannya. Bagi Arendt, definisi kebebasan harus lekat dengan tindakan dan
begitu pula sebaliknya. Manusia
menjadi bebas sejauh ia mampu ber-tindak; bukan sebelumnya dan bukan pula
sesudahnya. Bandingkan pula pemikiran Arendt ini dengan pemikiran politik
St. Agustinus yang melontarkan gagasan bahwa aksi manusia adalah sebuah ‘awal’
(yang berasal dari kata Yunani archein yang bernuansa ‘memimpin’ dan
‘menguasai’). Manusia bebas karena ia adalah awal.
4.3. Ke-tak-teramal-an dan Ketak-terulang-an: Inti Tindakan
Tindakan adalah suatu hal yang sungguh tidak bisa
diramalkan. Ia merupakan manifestasi kebebasan, kapastitas berinovasi untuk
mengubah situasi dengan masuk ke dalamnya. Namun, karena ia lebih banyak
terjadi dalam jaringan hubungan manusia, dalam konteks yang didefinisikan oleh
pluralitas, sehingga tidak ada pelaku yang bisa mengontrol hasil akhirnya. Dengan bertindak, kita bebas untuk memulai proses dan
menjadikan peristiwa baru, namun tidak ada pelaku yang bisa mengontrol akibat
perbuatannya, dan lagipula pelbagai akibat yang ditimbulkannya tak jua memiliki
batas.
Hal lain yang juga berkaitan erat dengan sifat tindakan
manusia adalah ke-tak-terulang-an (irreversibility). Setiap tindakan
menjalankan proses yang tak dapat dibatalkan atau disesali dengan cara,
katakanlah, seperti kita dapat membatalkan kesalahan suatu produk kita.
Tindakan selalu terjadi dalam jejaring hubungan manusia yang sudah ada, di mana
setiap tindakan menjadi reaksi, perbuatan yang menjadi sumber perbuatan di masa
depan.
4.4. Berpegang pada Maaf dan Janji
Janji adalah satu-satunya kepastian yang boleh dipegang
manakala manusia menghadapi masa depan yang tidak pasti. Janji inilah yeng
membuat manusia berani mengarungi masa depannya, semata-mata hanya karena
manusia pernah saling berjanji untuk menatap dan mengatsi masa depannya
bersama-sama. Janji inilah yang menjadi satu-satunya kemampuan yang tak mungkin
hilang dari manusia, ketika semuanya sudah tidak memberi harapan apa-apa. Maaf
sendiri sesungguhnya tak berkaitan dengan perbuatan, melainkan dengan pribadi
yang bersangkutan. Apa yang jahat dan tidak adil tetap tinggal sebagai kenytaan
yang tak tak dapat diubah dan tak dapat diampuni. Namun pribadi yang
melakukannya selalu dapat diampuni.
Di sisi lain, “tanpa terikat untuk memenuhi janji, kita
tidak akan pernah bisa menjaga identitas kita” karena kita masing-masing tak lagi mempunyai kepercayaan
atau pengakuan timbal balik. Kemampuan untuk memaafkan dan berjanji tergantung
pada pluralitas, pada keberadaan dan tindakan orang lain sementara pada saat
yang sama sekaligus menjadi ekspresi kebebasan manusia. Namun demikian, hanya
dengan pemaksaan janji mutual maka kebebasan dapat dipertahankan di dunia di
mana tak seorangpun dapat menguasai akibat tindakannya.
4.5. Tindakan, Pluralitas dan Ucapan
sebagai Penyingkapan
Bagi Arendt, tindakan adalah sebuah kategori publik,
sebuah praktik duniawi yang dialami dalam perjumpaan kita dengan liyan. Arendt kemudian menghubungkan hal ini dengan ‘ucapan
sebagai penyingkapan’. Hanya melalui ‘ucapan’ itulah, tindakan dapat
menyingkapkan identitas kita yang berbeda. Tindakan memerlukan ucapan karena
dengan memakai bahasa kita dapat mengartikulasikan makna tindakan kita guna
menyelaraskan pluralitas tindakan kita. Ucapan juga membutuhkan tindakan,
terutama karena tindakan seringkali diartikan untuk mengecek ketulusan
pembicara.
4.6. Tindakan, Kekuasaan dan Ruang
Penampakan
Polis model Athena
kuno-lah yang dapat dengan tepat menggambarkan sebuah ruang bagi tindakan
ucapan yang terbuka dan komunikatif. Tindakan tersebut bagi Arendt adalah
sinonim dari ‘politik’; poltik adalah sebuah aktivitas warganegara yang
berlangsung bersamaan demi melatih kemampuan mereka sebagai agen, untuk
memimpin hidup mereka bersama melalui ucapan yang bebas dan persuasi. Dalam
pengertian ini, kata polis tidak lagi terbatas sebagai institusi politik
negara kota Yunani yang terbatas ruang dan waktunya, melainkan hendak merujuk
pada semua contoh sejarah di amna ruang tindakan dan ucapan publik telah
terbangun di antara komunitas warga yang bebas dan sama. Suatu ruang
penampakan selalu bisa terjadi ketika individu itu berkumpul bersama secara
politis, yaitu “di manapun manusia secara bersama melakukan tindakan dan
ucapan”. Bagi Arendt, politik dan latihan kebebasan-sebagai-tindakan adalah
sama.
4.7. Konsep Kewarganegaraan dalam Zona
Politik
Ada tiga instrumen penting untuk dapat mengerti konsep
kewarganegaraan dalam benak Arendt, yaitu: sifat artifisial kehidupan
publik, sifat spasialnya, dan perbedaan antara kepentingan publik dan
kepentingan pribadi.
Pertama, politik adalah selalu menjadi kreasi artifisial
manusia, hasil tindakan dan ucapan, bukan akibat watak alam atau ciri bawaan.
Maka dari itu, prinsip persamman hak politik antar warganegara bukan bersandar
pada teori hak-hak natural. Ia adalah atribut artifisial yang diperoleh
seseorang ketika ia memasuki ruang publik dan kemudian dijamin oleh institusi
politik demokratik. Ia juga menyatakan bahwa etnik, agama dan identitas rasial
seseorang tidak relevan dengan identitasnya sebagai warganegara.
Kualitas spasial ruang publik harus juga dilihat sebagai
sebuah jalan untuk saling melihat antar individu dalam ruang penampakan
masing-masing dan bertemu serta membicarakannya secara publik sehingga
perbeddan dan kesamaan bisa muncul dan menjadi subyek perdebatan demokratis.
Konsekuensinya, yang menyatukan perbedaan dalam ruang publik itu adalah dunia
yang mereka bangun bersama sebagai warga negara; bukan seperangkat nilai
bersama. Terlibat dalam politik berarti harus masuk dalam ruang publik di mana
tiap individu turut ber-partisipasi secara langsung dalam politik.
Pada bagian ketiga, Arendt juga menunjukkan bahwa
kepentingan publik kita sebgai warga seringkali berbeda dengan kepentingan kita
sebagai individu. Kepentingan publik tidak bisa secara otomatis berasal dari
kepentingan pribadi kita atau akumulasinya. Kepentingan dunia bukanlah
kepentingan individu; ia adalah kepentingan ruang publik yang kita miliki
sebagai warga dan yang hanya bisa diperoleh dengan berbuat melebihi kepntingan
diri kita. Pertentangan yang ada antar keduanya perlulah diuji dalam
argumentasi politik dan deliberasi kolektif, di mana ada ruang untuk
ketidaksepakatan mengenai kepentingan komunitas yang sebenarnya. Dengan
demikian, yang menyatukan warga adalah dunia bersama dan keinginan mereka untuk
menciptakan ruang politik dimana perbedaan mereka bisa diartikulasikan,
ditunjukkan dan diputuskan dengan penuh harapan dan dengan cara yang
demokratis.
4.8. Bangkitnya Ruang Sosial: Leburnya
Ruang-ruang dalam Modernitas
Telah kita lihat secara sepintas mengenai ruang privat
dan ruang publik pada bagian pertama modernitas. Arendt menyatakan bahwa ruang
privat adalah wilayh yang diatur oleh kebutuhan (biologis) sementara ruang
publik merupakan wilayah kebebasan, sebuah wilayah penyingkapan perihal ‘siapa’
dalam wicara dan tindakan dalam komunitas yang sederajat. Oleh karenanya,
setiap aktivitas manusia sebenarnya memiliki ruangnya masing-masing, lokasi
operasi tertentu. Namun ketika salah satu aktivitas secra sistematis melewati
ruang lainnya dan menegakkan nilai di atasnya, seperti yang dilakukan animal
laborans atas homo faber, maka ia menghilagkan otonomi masing-masing
ruang dan ruang publik kini menjadi “ruang rumah tangga nasional”, ia menjadi
suatu ‘ruang sosial’ yang membahayakan ruang privat.
Timbulnya masyarakat massa akan mengancam baik ruang
privat maupun ruang publik: dalam kasus pertama berarti penghancuran ruang
privat yang merupakan tempat untuk bersembunyi dan tempat mencari kenyamanan
serta beristirahat setelah melakuakan berbagai aktivitas, karya dan tindakan.
Hal ini berarti hilangnya inisiatif yang muncul dari kebutuhan dan pengaburan
perbedaan antara kebebasan dan kebutuhan. Dalam kasus kedua berarti sebgai
eliminasi ruang penampakan publik, di mana identitas kita dungkap, perbuatan
kita diingat dan pelbagai tradisi kita diperbaharui san sejarah kita dipelihara
dan hal ini berarti juga hilangnya objektivitas, stabilitas dan permanensi,
serta penghancuran kebebasan dan pluralitas
Pada saat sekarang terpampang sedemikian banyak fakta bahwa individu hanya disatukan oleh
keanggotaan sesama mereka dalam spesies manusia, yaitu oleh kebutuhan biologis
bersama demi kelangsungan hidup mereka. Dalam masyarakat modern saat ini, orang
diharap untuk berkompromi, berbagai kepentingan yang sama (pendefinisi adalah
kepentingan ekonomi), dan berperilaku yang dapat diprediksi, alih-alih
bertindak dengan cara yang orisinal dan khas. Arendt menegaskan bahwa
bentuk-bentuk kehidupam macam ini memungkiankan munculnya bentuk kekuasaan
despotik yang beragam, sedari kekuasaan monarki absolut hingga totalitarianisme
yang mengerikan
5. Telaah atas Totalitarianisme
The Origin of
Totalitarianism (1951) merupakan karya pertama Hannah Arendt.
Bukunya yang pertama ini diilhami oleh aliran yang mempunyai pengaruh yang
sangat kuat dan menghancurkan pada waktu itu, yaitu kebangkitan Nazi di Jerman
dibawah pimpinan Adolf Hitler dan juga kebangkitan aliran Stalin di Soviet.
Bagian pertama buku ini menganalisis bangkitnya Nazisme dan Stalinisme.
5.1.
Kengerian yang Dibubuhi Rasionalitas Strategis
Bila dibandingkan dengan tirani
yang lebih tua, dimana teror diguankan sebagai instrumen untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaan, maka tiran totalitarian menunjukkan sedikit
rasionalitas strategis dalam penggunaan teror mereka. Akibatnya, dalam rejim
totaliter, teror tidak lagi menjadi sebuah alat bagi tujuan politiknya, tetapi
justru teror menjadi tujuan akhir politik pemerintahan itu.
Di
sini Arendt menunjukan satu ciri pokok totalitarisme: suatu upaya menghilangkan
identitas korban baik secara sipil maupun psikologis. Arendt menegaskan bahwa
manusia perlu diselamatkan agar tidak begitu tersingkir dalam hukum serta
penggunaan kekuasaan secara semena-mena. Hilangnya hak asasi manusia sebagai seorang
yang tidak memiliki kewarganegaraan berarti hilangnya status legalitas terhadap
semua hak. Bagi Arendt konsekuensi lain dari hilangnya hak sipil lebih banyak
merupakan hilangnya hak untuk bertindak dan mengeluarkan pendapat daripada
hilangnya kebebasan dan hak untuk berpikir.
5.2.
Gerakan Totaliter yang Menghapus Kelas-kelas Masyarakat
Gerakan-gerakan totaliter
terbentuk dari kondisi-kondisi khusus massa yang teratomisasi dan menjadi
individualistis. Massa tumbuh dan berkembang dari kepingan-kepingan masyarakat
yang telah teratomisasi karena isolasi dan kurangnya relasi sosial yang normal.
Mereka berasal dari masyarakat dengan banyak kelas dari Negara-bangsa yang
keretakannya hanya dapat direkat oleh perasaan nasionalis. Maka massa dalam
ketidakberdayaannya menghadapi pengalaman baru ini cenderung kearah
nasionalisme keras dalam mana para pemimpin massa menyerah kalah karena atas
nama demagogi kendati hal itu bertentangan dengan naluri serta
maksud-maksudnya.
Gerakan
totaliter menghapus adanya kepluralan manusia. Manusia dibentuk menjadi
seragam. Refleksi menjadi hal yang langka, apalagi dengan sikap kritis dan
mempertanyakan kembali tindakan kita atau hal apapun di sekitar kita. Segala
tindakan terjadi atau dilakukan begitu saja tanpa dipikirkan kembali. Segala
tindakan menjadi rutin, tugas sehari-hari yang harus dipenuhi dan dipatuhi.
Segalanya dianggap “kebenaran” kosong yang sudah menjadi biasa dan yang terjadi
tindakan memasukan orang Yahudi dalam kamar gas merupakan kerutinan yang benar.
Dari situlah, Hannah Arent melahirkan konsep tentang ‘banalitas
kejahatan’.
6.
Banalitas Kejahatan
Telah dikatakan bahwa Eichmann
hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh rezim. Fakta perintah atasan
bagi Arendt bukanlah alasan untuk terlibat dalam kejahatan, sebab pada umumnya
perintah tidaklah bersifat kriminal. Walaupun hal ini benar-benar melanggar
hukum namun dari pihak pelaku kejahatan akan mengatakan bahwa mereka bertugas
untuk melaksanakan perintah oleh atasan sebagai bentuk ketaatan (Obedience),
sebagaimana ketaatan kepada hukum negeri.
Dalam
Eichmann karena tidak ada rasa bersalah, seakan-akan semua pembunuhan itu
hanyalah tugas birokrasi. Di dalamnya ada proses impersonalisiasi, pembunuhan
pribadi, moral dan psikologis sehingga menjadi kematian anonim saja (nomor LP,
executor). Hal penting yang ditekankan oleh Arendt dalam investigasinya adalah:
Mengapa membunuh? Arendt akhirnya mengambil simpulan: kejahatan timbul
pada saat kita mengundurkan diri dari pengambilan keputusan, tidak berani
bertanggung jawab, tidak mau mengambil resiko dan hanya mencari rasa aman. Inilah
persis apa yang dikatakan sebagai banalitas kejahatan.
Pengambilan putusan mengandaikan adanya suara
hati. Suara hati tak lain tak bukan adalah sebuah dialog antara aku dan diriku.
Dalam rangka hubungan dengan orang lain, suara hati adalah kemampuan orang
berpikir untuk menempatkan diri pada posisi orang lain (memberi tempat pada
etika dan hal ini mengandaikan kemapauan untuk berimajinasi). Kemampuan untuk
berpikir pada posisi orang lain berhubungan dengan dialog dengan diri sendiri.
Logika sebaliknya adalah internalisasi. Sedangkan logika lurusnya: dialog
antara aku dan diriku sama dengan menyatakan ada orang lain (alteritas, liyan, the
other) dalam diriku.
7.
Kontekstualisasi bagi Indonesia: Sebuah Usaha Coba-coba
Pandangan Arendt tentang tindakan
politik dapat kita gunakan juga untuk melihat di mana kedudukan politik bangsa
Indonesia saat ini. Menurut Arendt, tindakan politik yang baik harus dijiwai oleh
mentalitas politik, bukan mentalitas karya apalagi kerja. Sebab apabila politik
ditangani dengan mentalitas karya, akan timbul kecendrungan bahwa politik
dipakai sebagai instrumen. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya dipakai
untuk tempat berpolitik, direduksi menjadi masalah manajemen dan pasar. Yang
lebih parah lagi, apabila kasi politik dijiwai dengan mentalitas kerja dan
inilah yangterjadi di negara kita saat ini. Politik di negara kita sangat
dikuasai mentalitas kerja. Kerja yang tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia terbawa dalam ruang publik atau tindakan politik. Sehingga politik
menjadi tempat mata pencaharian utama. Sebagai akibatnya muncullah
kekerasan dalam usaha memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok, kebohongan
dan KKN.
8.
Sejumput Kritik bagi Arendt
Meskipun pemikiran Arendt
memberikan sumbangan bagi dunia politik, namun ada bebreapa hal yang menjadi
titik kelemahan pemikirannya. Menurut Habermas titik kelemahan pemikirannya
adalah bahwa ia terlalu mendasarkan pada konstelasi historis dan pemikiran
Aristoteles. Dia secara bulat-bulat menerapkan model plis Yunani kuno pada
zaman modern ini. Dia menilai teori Arendt sebagai outmodel yang
ketinggalan zaman. Maka konsep pemikiran Arendt menjadi kontra-faktual,
mengandung banyak anomali, terutama ketika secara lamgsung dibandingkan dengan
situasi masyarakat modern, dimana elemen-elemen tindakan strategis, yang
menurut Arendt apolis itu, telah menjadi bagian yang tidak terpisah-pisahkan
dari situasi politik dan ketatanegaraan modern. Artinya tindakan politik
menjadi bagian dari tindakan politik. Habermas menilai, pandangan Arendt yang
terikat pada filsafat Yunani menghilangkan masalah-masalah ekonomi dari ruang
publik, padahal masalah ekonomi (yang menurut Arendt masuk dalam ruang privat)
merupakan persoalan publik yang paling pokok untuk masyarakat saat ini.
Akhirnya
selama politik belum menjadi politik dan kekuasaan dalam arti yang
sesungguhnya, selama itu pula pemikiran Arendt tetap merupakan warisan berharga
zaman ini. Politik yang mengeksekusi rakyat dari tindakan politik dari diursus atau deliberasi politik adalah
antipolitik dan anti kekuasaan.
9.
Perempuan dengan Cadar
Ajaib: Sebuah Epilog
•
Hannah Arendt memang akan selalu menjadi sosok
yang menarik untuk digali dalam segala kebaruan pemikirannya. Banyak sisi
pemikirannya telah dikupas dan terus dikembangkan bersama putaran zaman yang
agaknya makin mengukuhkan ragam teorinya. Dan dalam semua itu, Hannah Arendt
seolah telah menjadi perempuan dengan cadar ajaib. Cadar pengetahuan dan
pengalaman yang begitu luas hingga kebaruannya tampak seperti melawan
hukum-hukum tradisional. Pada saat itulah, kita dapat bayangkan dengan kagum
betapa cadar yang ia sulam dan kenakan itu selalu tampak menyamar sebagai
sebuah keajaiban!
0 comments:
Post a Comment