Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Thursday, February 7, 2013

Hannah Arendt: Perempuan dengan Cadar Ajaib

Hannah Arendt:Perempuan dengan Cadar Ajaib
“The new always happens against the overwhelming odds of statistical laws and their probability. The new therefore always appears in the guise of miracle.”(Hannah Arendt, The Human Condition)

1. Nestapa yang tak Selalu Buram
          Saat arus pemikiran Barat lebih didominasi oleh laki-laki, seorang Hannah Arendt, perempuan kelahiran 14 Oktober 1906 di Liden, dekat Honnover, Jerman ini justru hadir dengan orisinalitas yang mencerahkan dunia. Ia adalah putri dari pasangan Paul dan Martin Arendt – sebuah keluarga Yahudi yang terdidik dan liberal. Masa kecil Arendt boleh dibilang malang.
          Setelah menyelesaikan Sekolah Menengahnya (Gymnasium), pada 1924 Arendt masuk Universitas Marburg mempelajari filsafat pada filsuf terkemuka Martin Heidegger (1889-1976) dan mendalami teologi pada teolog besar Protestan Rudolph Bultmann (1884-1976), selain juga mempelajari bahasa Yunani. Pengaruh Heidegger pada karya Arendt bisa dilihat tidak hanya pada sikapnya yang memuja hal-hal ‘berbau’ Yunani, tetapi juga dalam metode etimologis yang sering dipakainya dalam menentukan makna konsep kunci, seperti “kerja”
          Hubungan Arendt dengan guru filsafatnya yang satu ini sempat melampaui hubungan antara guru dan murid, namun kelak justru renggang menyusul dukungan Heidegger pada rezim Nazi.
         Di tahun 1925 Arendt melanjutkan studinya pada Edmund Husserl (1859-1938) di Freiburg, Jerman. Tetapi promosinya, atas usul Heidegger, dilakukan oleh Karl Jaspers (1883-1969) di Heidelberg. Disertasinya yang ditulis di bawah judul The Concept of Love in Augustine (1929) merupakan antipoda bagi konsep Sein-zum-Tode Heidegger. Uniknya, Arendt menuliskannya dalam prosa yang Heideggerian, salah satu bukti pengaruh besar mantan guru dan kekasihnya itu.
         Pada 1929 Arendt hijrah ke Berlin dan menikahi Gunther Stern, seorang filsuf muda Yahudi Setelah memutuskan hubungannya dengan Heidegger pada tahun 1925, Di kota Berlin ini ia mulai menulis seputar hidup Rahel Varnhagen, seorang wanita Yahudi terkenal yang hidup pada abad ke-19, dengan judul “The Life of Jewess” yang diterbitkan pada 1958. Selama kekuasaan Nazi, sang suami, Stern, lari ke Perancis, sementara Arendt tetap bertahan di Jerman sambil terus melawan rezim itu lewat organisasi zionisme. Akan tetapi tak lama kemudian ia pun terpaksa hengkang dari Jerman.
         Ia lalu berpindah ke Praha, Jenewa, dan Paris. Di Paris ia masuk suatu organisasi zionisme untuk menolong para pengungsi Yahudi. Kota ini mempertemukannya dengan Walter Benjamin dan Raymond Aaron.
         1937 adalah tahun perceraian Arendt dari Stern, setelah setahun sebelumnya ia menjalin hubungan erat dengan Heinrich Blücher, seorang aktivis kiri politik Jerman. Setelah Prancis jatuh pada tahun 1940, Arendt kemudian berpindah lagi ke Amerika Serikat dan menetap di New York. Di New York, Arendt mengajar di salah satu perguruan tinggi (lebih sering di New School for Social Research ) sambil bekerja sebagai jurnalis.

Karya-karyanya...
         Karya Arendt, The Origin of Totalitarianism, yang terbit pada 1951 membuat namanya mulai bersinar dan dikenal luas, dan pada 1967 ia mulai mengajar di New School for Social Research, AS. Setahun kemudian ia menerbitkan Men in Dark Times (1968), dan esai-esai politiknya yang ia tulis dalam kurun tahun 60-an ia terbitkan dalam Crisis of Republic (1972). The Life of Mind (1978) adalah buku terakhirnya yang belum sempat rampung ditulis yang diterbitkan tiga tahun setelah wafatnya. Di AS ia menulis karya-karya terpentingnya yang lain: The Human Condition (1958) dan On Revolution (1963). Kedua karya tersebut, juga esai-esainya yang terkumpul dalam Between Past and Future (1961), menegaskan kepiawaiannya sebagai pemikir politik, dan menjadi bagian dari warisan yang sangat berharga dalam kancah teori politik.

         Karya-karya Arendt yang lain (tersebar sebagai paper di jurnal atau bahan seminar) di antaranya “Thinking and Moral Considerations” (1971), “Civil Disobedience” (1970), “Reflections on Violence” (1969), “Reflections on Little Rock” (1959), “Philosophy and Politics” (1954), “The Concern With Politics in Recent European Philosophy” (1954), “Karl Marx and the Great Tradition” (1953), “Totalitarian Elements in Marxism” (1952, karya yang tidak selesai), “Ideology and Terror” (1951), ”What is Existenz Philosophy” (1946)

         Pada 4 Desember 1975, Arendt yang perokok itu menghembuskan nafas terakhirnya akibat serangan jantung di flatnya di New York, saat ia tengah menghibur kolega-koleganya. Bahkan pada akhir hidupnya, ia seolah hendak menunjukkan bahwa deretan nestapa yang ia alami sepanjang hidupnya: masa kecil penuh tekanan, konflik dalam percintaan, hingga pengusiran dan kengerian perang-perang dunia, tak harus selalu menjadi buram. Setidaknya, sumbangan pemikiran Arendt yang tajam-mengena itu telah membuktikannya.

2. Pemikiran Arendt: Pengaruh dan Konteksnya
          Hannah Arendt adalah seorang filsuf yang jangkauannya sangat luas atas peristiwa – peristiwa sejarah besar di zamannya. Ia juga termasuk dalam salah satu pemikir yang meletakkan batu pertama metode fenomenologi ke dalam diskursus sosial politik. Maka tidak mengherankan jika ia dikenal sebagai seorang pemikir politik yang cukup orisinil dan berpengaruh. Ia sangat tertarik untuk menganalisis sifat politik dan masyarakat “zaman modern” dalam peristiwa – peristiwa penting “dunia modern”, misalnya dunia penerbangan, teori ketidakpastian, dunia kamp konsentrasi Holocaust dan kaum Stalinis.
          Dari Heidegger – sang guru pertamanya – Arendt belajar betapa pentingnya akar-akar Yunani dalam pengolahan filsafat, dan betapa kita harus pandai mengawinkan puisi, bahasa dan filsafat.  Dari Heidegger pula ia kemudian belajar membedakan dengan tajam antara berpikir sebagai aktivitas murni dan mengetahui sebagai kegiatan ilmiah untuk suatu kepentingan. Mereka berdua sama-sama menyimpan kecurigaan besar terhadap ‘tradisi metafisik’ yang diklaim telah menjauhkan manusia dari pengertian dan keterlibatannya dalam dunia yang riil dan bergegas.

3. Percakapan tentang Modernitas
          “Masyarakat massa modern berarti:
Sebuah masyarakat yang, tanpa dunia bersama yang sesekali menghubungkan dan memisahkan mereka, hidup dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan bersama menjadi massa.  Karena masyarakat-massa tak lain jenis dengan kehidupan formal yang secara otomatis menegakkan dirinya di antara umat manusia yang masih terkait satu sama lain [dikarenakan menjadi anggota spesies manusia] tetapi telah kehilangan dunia yang pernah dimiliki bersama” (Hannah Arendt, The Concept of History)

3.1. Modernitas dan Kegilaan
       Modernitas dalam mata Arendt digambarkan sebagai sebuah zaman masyarakat massa, zaman munculnya ‘ruang sosial’ di luar pembedaan sebelumnya antara ‘ruang publik’ dan ‘ruang privat’, dan sebuah zaman kemenangan animal laborans atas homo faber serta konsepsi manusia sebagai zoon politikon. Ia adalah sebuah zaman administrasi birokratis dan kerja anonim, bukannya zaman politik dan tindakan.
       Modernitas juga adalah zaman munculnya bentuk-bentuk pemerintahan totalitarian yang didasarkan pada pelembagaan teror dan kekerasan. Ia adalah masa di mana sejarah sebagai proses alami menggantikan sejarah sebagai jalinan pelbagai tindakan dan peristiwa, di mana homogenitas dan konformitas menggantikan pluralitas dan kebebasan, serta kesendirian yang diorganisasi menggantikan seluruh bentuk kehidupan bersama umat manusia yang spontan. Modernitas adalah masa di mana masa lalu tidak lagi membawa kepastian apapun tentang evaluasi, di mana individu, yang tidak lagi menjadi ukuran segala hal, harus mencari landasan baru bagi komunitas manusia sebagaimana adanya. Mungkin kekacauan macam inilah yang dapat menggambarkan modernitas sebagai - meminjam istilah Roos Poole – sebuah kegilaan.

3.2. Modernitas dan ‘Tindakan yang menjadi jongos
       Arendt menilai bahwa maslah paling besar yang dihadapi modernitas berakar pada tradisi filsafat Barat yang telah mendevaluasi dunia tindakan manusia (vita activa) yang sungguh kelihatan dan men-subordinasikan-nya di bawah hidup kontempalsi (vita contemplativa) yang berkaitan melulu dengan yang esensial dan ilahiah.
           ‘Pendosa’ terbesar yang dapat kita temukan adalah Plato – yang relah membuat alegori ‘Gua’ dalam karyanya The Rrepublic – yang mendeskripsikan bahwa urusan fisik manusiawi adalah hanya bayangan saja dan menginstruksikan siapa saja yang hendak mencari kebenaran utuk menoleh dan berpaling pada ‘langit cerah dari ide-ide abadi’. Hal ini tampak nyarta betapa theoria diletakkan lebih tinggi daripada praxis dan epistemé lebih luhur dari doxa.
          Bidang-bidang tindakan yang kasat mata (termasuk politik) menjadi ‘jongos’ dan instrumen belaka untuk mencapai tujuan  akhir Ide-ide. Hanya dengan mengubah kesalahan inilah, Arendt berani berharap untuk membangun kembali tata publik dan tindakan politik yang terarah pada kebaikan dan tujuan hidup manusia.
          Arendt melontarkan pembagian tripartite atas aktivitas manusia yang telah lama menjadi ‘jongos’ itu, yaitu: labor, work, and action. Lebih lanjut ia menyusun ketiga aktivitas ini dalam sebuah hirarki kepentingan yang menanjak dan mengindentifikasi jungkir-baliknya hirarki ini sebagai pusat dari gerhana kebebasan politik dan tanggung jawab yang menjadi ciri era modern.

3.3. Kerja: Kemanusiaan sebagai Animal Laborans
       Labor adalah aktivitas yang berkaitan dengan proses biologis dan kebutuhan eksistensi manusia, praktik yang dibutuhkan bagi pemeliharaan hidup itu sendiri. Karenanya, labor dibedakan oleh karakternya yang tak pernah berakhir, tidak permanen. Karena hasil usahanaya akan segera tergunakan, maka ia harus secara abadi diperbarui juga sebagaimana kehidupan yang disokongnya. Kerja inilah ciri kemanusiaan yang paling dekat dengan sifat kebinatangan, dan demikianlah Arendt kemudian menciptakan terma animal laborans untuk menunjukkan bahwa sejak dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariahlah yang menggerakkan maka tiadalah kebebasan dalam diri kemanusiaan yang satu ini – yang juga menyandang gelar ‘budak’ dan ‘hamba’. Manusia disebut sebagai animal laborans yang mengkonsentrasikan diri pada eksistensinya, yaitu pada tubuh dan kodrat biologisnya.

Karya: Kemanusiaan sebagai Homo Faber
       Work atau karya merujuk pada aktivitas yang di dalamnya manusia mengendalikan alam menampakkan dunia manusiawinya yang tahan uji dan terbedakan dengan alam sekitarnya. Bila menjadi buruh atau pegawai (labor) merupakan aktivitas manusia yang bersifat alami untuk memenuhi tuntutan kehidupan laiknya binatang atau hewan, maka homo faber kini digambarkan sebagai orang yang mampu mengonsentrasikan objek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari keterbatasan.    Manusia lalu dapat menciptakan objek yang berguna untuk lebih memudahkan kerja dan memulti-gunakan kapasitasnya. Kini, misalnya, diciptakan komputer untuk membantu pekerjaan seseorang. Bagi para petani, dibuatkanlah traktor untuk mengolah sawah. Bagi para nelayan, diciptakanlah perahu untuk homo faber mengarungi lautan guna mengail tangkapan
          Jadi, karya yang mengungkapkan baik téchne dan poésis ini berkaitan dengan penciptaan dunia artifisial, sebuah dunia yang berlainan dengan dunia hewani yang semata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Karya ini secara inheren bersifat publik dan berbeda dengan labor yang hanya berurusan dengan kebutuhan masing-masing individu saja. Mengapa? Karena dalam karya-lah seseorang menciptakan beragam objek yang ada di antara manusia-manusia lain dan sekaligus mempersatukannya. Hal inilah yang kemudian akan menjadi pra-syarat bagi terbentuknya komunitas politis.

Ancaman modernitas...
       Ancaman modernitas justru terletak ketika terjadi ‘kebangkitan massa’ – the rise of the social yang berpusat pada aktivitas kerja dan konsumsi hasil-hasilnya bahkan sampai ruang publik. Dalam dunia industri modern, misalnya, karakter animal laborans yang permanen, stabil dan tahan lama itu merasuk dalam ruang publik – karena masifnya orang-orang yang terlibat di dalamnya hingga butuh pengaturan politik – dan mengorbankan nilai-nilai kehidupan, produktivitas hidup dan kepenuhannya. Namun Arendt tetap bersikukuh bahwa semua karakter animal laborans itu tak akan mampu menghalangi manusia mencapai akhir yang lebih tinggi dalam dunianya. Pada akhirnya memang harus dikatakan bahwa kebangkitan animal laborans ini dapat mengancam homo faber  dan selanjutnya juga menghalangi kondisi-kondisi duniawi yang memungkinkan terbentukanya kolektivitas dan hidup publik dalam komunitas. Inilah yang disebut Arendt sebagai ‘alienasi dunia’.

4. Kisah Tindakan (Me) Manusia (kan)

4.1. Tindakan: Kemanusiaan sebagai Zoon Politikon
       Sampai titik ini kita sudah memiliki dua tingkatan yang berbeda dari dunia kasat mata manusia. Pertama adalah animal laborans yang menyuguhkan kelangsungan hidup biologis. Kedua, homo faber yang menciptakan dunia publik dan umum yang mampu bertahan bagi eksistensi kolektif kita.
          Tentu saja homo faber menempati kursi hirarki yang lebih tinggi daripada animal laborans. Namun demikian, ternyata homo faber pun tidak memberikan ciri yang khusus menjadi previlese manusia, karena homo fabere sekalipun tetap memiliki karakter instrumental dan karenanya tak mampu menyuarakan kebebasan yang utuh dan penuh dari manusia. Karya dapat dipandang sebagai sebuah sarana untuk meraih sesuatu yang lain, dan karenanya karya masih memiliki tujuan yang ada di luar dirinya sendiri.

4.2. Tindakan dan Buah Kebebasan
       Pada akhirnya, Arendt menelurkan pemikirannya mengenai ‘tindakan’ yang menjadi tingkatan tertinggi karena hanya dalam tindakan-lah kita dapat menemukan kebebasan yang tak dapat terhapuskan, statusnya sebagai akhir dari dirinya sendiri dan tak disub-ordinasikan pada hal-hal di luar dirinya. Arendt menetang pemikiran bahwa kebebasan ditemukan dalam fenomena batin yang kontempaltif atau pribadi sifatnya, karena kebebasan itu selalu bersifat aktif, duniawi, dan publik. Bukankah kita menyadari kebebasan kita dari persentuhan kita dengan orang lain, bukan dengan diri sendiri?!
          Manusialah yang bertindak dan berinisiatif membangun konstruksi dinding fisik dan kultural, dan dengan demikian menampakkan kebebasannya. Bagi Arendt, definisi kebebasan harus lekat dengan tindakan dan begitu pula sebaliknya. Manusia menjadi bebas sejauh ia mampu ber-tindak; bukan sebelumnya dan bukan pula sesudahnya. Bandingkan pula pemikiran Arendt ini dengan pemikiran politik St. Agustinus yang melontarkan gagasan bahwa aksi manusia adalah sebuah ‘awal’ (yang berasal dari kata Yunani archein yang bernuansa ‘memimpin’ dan ‘menguasai’). Manusia bebas karena ia adalah awal.

4.3. Ke-tak-teramal-an dan Ketak-terulang-an: Inti Tindakan
       Tindakan adalah suatu hal yang sungguh tidak bisa diramalkan. Ia merupakan manifestasi kebebasan, kapastitas berinovasi untuk mengubah situasi dengan masuk ke dalamnya. Namun, karena ia lebih banyak terjadi dalam jaringan hubungan manusia, dalam konteks yang didefinisikan oleh pluralitas, sehingga tidak ada pelaku yang bisa mengontrol hasil akhirnya. Dengan bertindak, kita bebas untuk memulai proses dan menjadikan peristiwa baru, namun tidak ada pelaku yang bisa mengontrol akibat perbuatannya, dan lagipula pelbagai akibat yang ditimbulkannya tak jua memiliki batas.
          Hal lain yang juga berkaitan erat dengan sifat tindakan manusia adalah ke-tak-terulang-an (irreversibility). Setiap tindakan menjalankan proses yang tak dapat dibatalkan atau disesali dengan cara, katakanlah, seperti kita dapat membatalkan kesalahan suatu produk kita. Tindakan selalu terjadi dalam jejaring hubungan manusia yang sudah ada, di mana setiap tindakan menjadi reaksi, perbuatan yang menjadi sumber perbuatan di masa depan.

4.4. Berpegang pada Maaf dan Janji
       Janji adalah satu-satunya kepastian yang boleh dipegang manakala manusia menghadapi masa depan yang tidak pasti. Janji inilah yeng membuat manusia berani mengarungi masa depannya, semata-mata hanya karena manusia pernah saling berjanji untuk menatap dan mengatsi masa depannya bersama-sama. Janji inilah yang menjadi satu-satunya kemampuan yang tak mungkin hilang dari manusia, ketika semuanya sudah tidak memberi harapan apa-apa. Maaf sendiri sesungguhnya tak berkaitan dengan perbuatan, melainkan dengan pribadi yang bersangkutan. Apa yang jahat dan tidak adil tetap tinggal sebagai kenytaan yang tak tak dapat diubah dan tak dapat diampuni. Namun pribadi yang melakukannya selalu dapat diampuni.
          Di sisi lain, “tanpa terikat untuk memenuhi janji, kita tidak akan pernah bisa menjaga identitas kita” karena kita masing-masing tak lagi mempunyai kepercayaan atau pengakuan timbal balik. Kemampuan untuk memaafkan dan berjanji tergantung pada pluralitas, pada keberadaan dan tindakan orang lain sementara pada saat yang sama sekaligus menjadi ekspresi kebebasan manusia. Namun demikian, hanya dengan pemaksaan janji mutual maka kebebasan dapat dipertahankan di dunia di mana tak seorangpun dapat menguasai akibat tindakannya.
4.5. Tindakan, Pluralitas dan Ucapan sebagai Penyingkapan
       Bagi Arendt, tindakan adalah sebuah kategori publik, sebuah praktik duniawi yang dialami dalam perjumpaan kita dengan liyan. Arendt kemudian menghubungkan hal ini dengan ‘ucapan sebagai penyingkapan’. Hanya melalui ‘ucapan’ itulah, tindakan dapat menyingkapkan identitas kita yang berbeda. Tindakan memerlukan ucapan karena dengan memakai bahasa kita dapat mengartikulasikan makna tindakan kita guna menyelaraskan pluralitas tindakan kita. Ucapan juga membutuhkan tindakan, terutama karena tindakan seringkali diartikan untuk mengecek ketulusan pembicara.

4.6. Tindakan, Kekuasaan dan Ruang Penampakan
       Polis model Athena kuno-lah yang dapat dengan tepat menggambarkan sebuah ruang bagi tindakan ucapan yang terbuka dan komunikatif. Tindakan tersebut bagi Arendt adalah sinonim dari ‘politik’; poltik adalah sebuah aktivitas warganegara yang berlangsung bersamaan demi melatih kemampuan mereka sebagai agen, untuk memimpin hidup mereka bersama melalui ucapan yang bebas dan persuasi. Dalam pengertian ini, kata polis tidak lagi terbatas sebagai institusi politik negara kota Yunani yang terbatas ruang dan waktunya, melainkan hendak merujuk pada semua contoh sejarah di amna ruang tindakan dan ucapan publik telah terbangun di antara komunitas warga yang bebas dan sama.     Suatu ruang penampakan selalu bisa terjadi ketika individu itu berkumpul bersama secara politis, yaitu “di manapun manusia secara bersama melakukan tindakan dan ucapan”. Bagi Arendt, politik dan latihan kebebasan-sebagai-tindakan adalah sama.

4.7. Konsep Kewarganegaraan dalam Zona Politik
          Ada tiga instrumen penting untuk dapat mengerti konsep kewarganegaraan dalam benak Arendt, yaitu: sifat artifisial kehidupan publik, sifat spasialnya, dan perbedaan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
          Pertama, politik adalah selalu menjadi kreasi artifisial manusia, hasil tindakan dan ucapan, bukan akibat watak alam atau ciri bawaan. Maka dari itu, prinsip persamman hak politik antar warganegara bukan bersandar pada teori hak-hak natural. Ia adalah atribut artifisial yang diperoleh seseorang ketika ia memasuki ruang publik dan kemudian dijamin oleh institusi politik demokratik. Ia juga menyatakan bahwa etnik, agama dan identitas rasial seseorang tidak relevan dengan identitasnya sebagai warganegara.
          Kualitas spasial ruang publik harus juga dilihat sebagai sebuah jalan untuk saling melihat antar individu dalam ruang penampakan masing-masing dan bertemu serta membicarakannya secara publik sehingga perbeddan dan kesamaan bisa muncul dan menjadi subyek perdebatan demokratis. Konsekuensinya, yang menyatukan perbedaan dalam ruang publik itu adalah dunia yang mereka bangun bersama sebagai warga negara; bukan seperangkat nilai bersama. Terlibat dalam politik berarti harus masuk dalam ruang publik di mana tiap individu turut ber-partisipasi secara langsung dalam politik.
          Pada bagian ketiga, Arendt juga menunjukkan bahwa kepentingan publik kita sebgai warga seringkali berbeda dengan kepentingan kita sebagai individu. Kepentingan publik tidak bisa secara otomatis berasal dari kepentingan pribadi kita atau akumulasinya. Kepentingan dunia bukanlah kepentingan individu; ia adalah kepentingan ruang publik yang kita miliki sebagai warga dan yang hanya bisa diperoleh dengan berbuat melebihi kepntingan diri kita. Pertentangan yang ada antar keduanya perlulah diuji dalam argumentasi politik dan deliberasi kolektif, di mana ada ruang untuk ketidaksepakatan mengenai kepentingan komunitas yang sebenarnya. Dengan demikian, yang menyatukan warga adalah dunia bersama dan keinginan mereka untuk menciptakan ruang politik dimana perbedaan mereka bisa diartikulasikan, ditunjukkan dan diputuskan dengan penuh harapan dan dengan cara yang demokratis.

4.8. Bangkitnya Ruang Sosial: Leburnya Ruang-ruang dalam Modernitas
       Telah kita lihat secara sepintas mengenai ruang privat dan ruang publik pada bagian pertama modernitas. Arendt menyatakan bahwa ruang privat adalah wilayh yang diatur oleh kebutuhan (biologis) sementara ruang publik merupakan wilayah kebebasan, sebuah wilayah penyingkapan perihal ‘siapa’ dalam wicara dan tindakan dalam komunitas yang sederajat. Oleh karenanya, setiap aktivitas manusia sebenarnya memiliki ruangnya masing-masing, lokasi operasi tertentu. Namun ketika salah satu aktivitas secra sistematis melewati ruang lainnya dan menegakkan nilai di atasnya, seperti yang dilakukan animal laborans atas homo faber, maka ia menghilagkan otonomi masing-masing ruang dan ruang publik kini menjadi “ruang rumah tangga nasional”, ia menjadi suatu ‘ruang sosial’ yang membahayakan ruang privat.
          Timbulnya masyarakat massa akan mengancam baik ruang privat maupun ruang publik: dalam kasus pertama berarti penghancuran ruang privat yang merupakan tempat untuk bersembunyi dan tempat mencari kenyamanan serta beristirahat setelah melakuakan berbagai aktivitas, karya dan tindakan. Hal ini berarti hilangnya inisiatif yang muncul dari kebutuhan dan pengaburan perbedaan antara kebebasan dan kebutuhan. Dalam kasus kedua berarti sebgai eliminasi ruang penampakan publik, di mana identitas kita dungkap, perbuatan kita diingat dan pelbagai tradisi kita diperbaharui san sejarah kita dipelihara dan hal ini berarti juga hilangnya objektivitas, stabilitas dan permanensi, serta penghancuran kebebasan dan pluralitas
          Pada saat sekarang terpampang sedemikian banyak fakta bahwa individu hanya disatukan oleh keanggotaan sesama mereka dalam spesies manusia, yaitu oleh kebutuhan biologis bersama demi kelangsungan hidup mereka. Dalam masyarakat modern saat ini, orang diharap untuk berkompromi, berbagai kepentingan yang sama (pendefinisi adalah kepentingan ekonomi), dan berperilaku yang dapat diprediksi, alih-alih bertindak dengan cara yang orisinal dan khas. Arendt menegaskan bahwa bentuk-bentuk kehidupam macam ini memungkiankan munculnya bentuk kekuasaan despotik yang beragam, sedari kekuasaan monarki absolut hingga totalitarianisme yang mengerikan

5. Telaah atas Totalitarianisme
       The Origin of Totalitarianism (1951) merupakan karya pertama Hannah Arendt. Bukunya yang pertama ini diilhami oleh aliran yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat dan menghancurkan pada waktu itu, yaitu kebangkitan Nazi di Jerman dibawah pimpinan Adolf Hitler dan juga kebangkitan aliran Stalin di Soviet. Bagian pertama buku ini menganalisis bangkitnya Nazisme dan Stalinisme.

5.1. Kengerian yang Dibubuhi Rasionalitas Strategis
       Bila dibandingkan dengan tirani yang lebih tua, dimana teror diguankan sebagai instrumen untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, maka tiran totalitarian menunjukkan sedikit rasionalitas strategis dalam penggunaan teror mereka. Akibatnya, dalam rejim totaliter, teror tidak lagi menjadi sebuah alat bagi tujuan politiknya, tetapi justru teror menjadi tujuan akhir politik pemerintahan itu.
          Di sini Arendt menunjukan satu ciri pokok totalitarisme: suatu upaya menghilangkan identitas korban baik secara sipil maupun psikologis. Arendt menegaskan bahwa manusia perlu diselamatkan agar tidak begitu tersingkir dalam hukum serta penggunaan kekuasaan secara semena-mena. Hilangnya hak asasi manusia sebagai seorang yang tidak memiliki kewarganegaraan berarti hilangnya status legalitas terhadap semua hak. Bagi Arendt konsekuensi lain dari hilangnya hak sipil lebih banyak merupakan hilangnya hak untuk bertindak dan mengeluarkan pendapat daripada hilangnya kebebasan dan hak untuk berpikir.

5.2. Gerakan Totaliter yang Menghapus Kelas-kelas Masyarakat 
       Gerakan-gerakan totaliter terbentuk dari kondisi-kondisi khusus massa yang teratomisasi dan menjadi individualistis. Massa tumbuh dan berkembang dari kepingan-kepingan masyarakat yang telah teratomisasi karena isolasi dan kurangnya relasi sosial yang normal. Mereka berasal dari masyarakat dengan banyak kelas dari Negara-bangsa yang keretakannya hanya dapat direkat oleh perasaan nasionalis. Maka massa dalam ketidakberdayaannya menghadapi pengalaman baru ini cenderung kearah nasionalisme keras dalam mana para pemimpin massa menyerah kalah karena atas nama demagogi kendati hal itu bertentangan dengan naluri serta maksud-maksudnya. 
          Gerakan totaliter menghapus adanya kepluralan manusia. Manusia dibentuk menjadi seragam. Refleksi menjadi hal yang langka, apalagi dengan sikap kritis dan mempertanyakan kembali tindakan kita atau hal apapun di sekitar kita. Segala tindakan terjadi atau dilakukan begitu saja tanpa dipikirkan kembali. Segala tindakan menjadi rutin, tugas sehari-hari yang harus dipenuhi dan dipatuhi. Segalanya dianggap “kebenaran” kosong yang sudah menjadi biasa dan yang terjadi tindakan memasukan orang Yahudi dalam kamar gas merupakan kerutinan yang benar. Dari situlah, Hannah Arent melahirkan konsep tentang ‘banalitas kejahatan’. 

6. Banalitas Kejahatan 
       Telah dikatakan bahwa Eichmann hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh rezim. Fakta perintah atasan bagi Arendt bukanlah alasan untuk terlibat dalam kejahatan, sebab pada umumnya perintah tidaklah bersifat kriminal. Walaupun hal ini benar-benar melanggar hukum namun dari pihak pelaku kejahatan akan mengatakan bahwa mereka bertugas untuk melaksanakan perintah oleh atasan sebagai bentuk ketaatan (Obedience), sebagaimana ketaatan kepada hukum negeri.
          Dalam Eichmann karena tidak ada rasa bersalah, seakan-akan semua pembunuhan itu hanyalah tugas birokrasi. Di dalamnya ada proses impersonalisiasi, pembunuhan pribadi, moral dan psikologis sehingga menjadi kematian anonim saja (nomor LP, executor). Hal penting yang ditekankan oleh Arendt dalam investigasinya adalah: Mengapa membunuh? Arendt akhirnya mengambil simpulan:  kejahatan timbul pada saat kita mengundurkan diri dari pengambilan keputusan, tidak berani bertanggung jawab, tidak mau mengambil resiko dan hanya mencari rasa aman.  Inilah persis apa yang dikatakan sebagai banalitas kejahatan.
           Pengambilan putusan mengandaikan adanya suara hati. Suara hati tak lain tak bukan adalah sebuah dialog antara aku dan diriku. Dalam rangka hubungan dengan orang lain, suara hati adalah kemampuan orang berpikir untuk menempatkan diri pada posisi orang lain (memberi tempat pada etika dan hal ini mengandaikan kemapauan untuk berimajinasi). Kemampuan untuk berpikir pada posisi orang lain berhubungan dengan dialog dengan diri sendiri. Logika sebaliknya adalah internalisasi. Sedangkan logika lurusnya: dialog antara aku dan diriku sama dengan menyatakan ada orang lain (alteritas, liyan, the other) dalam diriku.

7. Kontekstualisasi bagi Indonesia: Sebuah Usaha Coba-coba
       Pandangan Arendt tentang tindakan politik dapat kita gunakan juga untuk melihat di mana kedudukan politik bangsa Indonesia saat ini. Menurut Arendt, tindakan politik yang baik harus dijiwai oleh mentalitas politik, bukan mentalitas karya apalagi kerja. Sebab apabila politik ditangani dengan mentalitas karya, akan timbul kecendrungan bahwa politik dipakai sebagai instrumen. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya dipakai untuk tempat berpolitik, direduksi menjadi masalah manajemen dan pasar. Yang lebih parah lagi, apabila kasi politik dijiwai dengan mentalitas kerja dan inilah yangterjadi di negara kita saat ini. Politik di negara kita sangat dikuasai mentalitas kerja. Kerja yang tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terbawa dalam ruang publik atau tindakan politik. Sehingga politik menjadi  tempat mata pencaharian utama. Sebagai akibatnya muncullah kekerasan dalam usaha memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok, kebohongan dan KKN.

8. Sejumput Kritik bagi Arendt
       Meskipun pemikiran Arendt memberikan sumbangan bagi dunia politik, namun ada bebreapa hal yang menjadi titik kelemahan pemikirannya. Menurut Habermas titik kelemahan pemikirannya adalah bahwa ia terlalu mendasarkan pada konstelasi historis dan pemikiran Aristoteles. Dia secara bulat-bulat menerapkan model plis Yunani kuno pada zaman modern ini. Dia menilai teori Arendt sebagai outmodel  yang ketinggalan zaman. Maka konsep pemikiran Arendt menjadi kontra-faktual, mengandung banyak anomali, terutama ketika secara lamgsung dibandingkan dengan situasi masyarakat modern, dimana elemen-elemen tindakan strategis, yang menurut Arendt apolis itu, telah menjadi bagian yang tidak terpisah-pisahkan dari situasi politik dan ketatanegaraan modern. Artinya tindakan politik menjadi bagian dari tindakan politik. Habermas menilai, pandangan Arendt yang terikat pada filsafat Yunani menghilangkan masalah-masalah ekonomi dari ruang publik, padahal masalah ekonomi (yang menurut Arendt masuk dalam ruang privat) merupakan persoalan publik yang paling pokok untuk masyarakat saat ini.
          Akhirnya selama politik belum menjadi politik dan kekuasaan dalam arti yang sesungguhnya, selama itu pula pemikiran Arendt tetap merupakan warisan berharga zaman ini. Politik yang mengeksekusi rakyat dari tindakan politik dari diursus atau deliberasi politik adalah antipolitik dan anti kekuasaan.

9. Perempuan dengan Cadar Ajaib: Sebuah Epilog
         Hannah Arendt memang akan selalu menjadi sosok yang menarik untuk digali dalam segala kebaruan pemikirannya. Banyak sisi pemikirannya telah dikupas dan terus dikembangkan bersama putaran zaman yang agaknya makin mengukuhkan ragam teorinya. Dan dalam semua itu, Hannah Arendt seolah telah menjadi perempuan dengan cadar ajaib. Cadar pengetahuan dan pengalaman yang begitu luas hingga kebaruannya tampak seperti melawan hukum-hukum tradisional. Pada saat itulah, kita dapat bayangkan dengan kagum betapa cadar yang ia sulam dan kenakan itu selalu tampak menyamar sebagai sebuah keajaiban!


0 comments:

Post a Comment