Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Thursday, February 7, 2013

PIERRE FELIX BOURDIEU

PIERRE FELIX BOURDIEU


Riwayat Hidup Bourdieau


Tahun
Peristiwa
Karya
1 Agustus 1930
Lahir di Desa Denguin, distrik Pyreness-Antlantiques, Barat Daya Prancis putra seorang pegawai pos desa

1955
Pengajar Lycee (SMA) di Moulins, kemudian bergabung dengan ketentaraan dan dikirim ke Aljazair selama dua tahun

1958
Pengajar di Universitas Aljazair

1960
Kembali ke Paris sebagai antropolog autodidak

1952-1964
Mengajar di universitas Paris dan Universitas Lille.

1968
Direktur Centre de Sociologie Europeenne

1975

Meluncurkan jurnal Actes de la Recherche en Sciences
1981
Memegang jabatan di bidang sociologi di Colllege de France

1993
Mendapatkan anugerah penghargaan Medaille deor du Centre National de la Recherche Scientifique? (CNRS)

1962-1983
Berumah tangga dengan Marie-Claire Brizard

1990-an
Bergabung dengan sejumlah aktivitas diluar lingkaran akademis

1996

Menjadi pendiri perusahaan penerbitan Liber/Raisons d Agir
1998

Menerbitkan artikel di surat kabar Le Monde
1984

Distinction : A Social Critique of the Judgement of Taste

Karya-Karya Buku 


Ø Bourdieu, Pierre & Passeron, Jean-Claude.
1964. Les heritiers. Les etudiants et la culture, Paris: Minuit.
1970. La reproduction. Elements pour une theorie du systeme d’enseignement, Paris: Minuit
Ø Bourdieu, P. dan Wacquant, L.J.D.,
1992. Reponses. Pour une anthropologie reflexive. Paris: Seuil
Ø Bourdieu, Pierre,
1979. La distinction. Critique sociale du jugement. Paris: Minuit.
1980. Le sens pratique. Paris:Minuit
1982. Ce que parler veut dire. L’economie des echanges linguistiques. Paris: Fayard.
1993. La misere du monde, Paris: Seuil.
1994. Raisons pratiques. Sur la theorie de l’action. Paris: Seuil
1998. La domination masculine. Paris: Seuil
2000. Les structures sociales de l’economie. Paris: Seuil.

 

Latar Belakang yang mempengaruhi


Persoalan awal yang digarap oleh Bourdieu adalah bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan serta berpengaruh didalam suatu masyarakat. Bourdieu berusaha untuk menjelaskan secara komprehensif dinamika kehidupan masyarakat dengan membedakan struktur objektif dan subjektif yang berupa disposisi yang ada di dalam diri individu. Bourdieu melihat bahwa konsep oposisi agensi vs struktur tidak memadai untuk mejelaskan realitas sosial. Praktik sosial tidak begitu saja dijelaskan sebagai produk dari struktur atau agensi sebagai subjek. Penjelasan relasional yang menunjukkan dinamika hubungan antara agensi dan struktur diperlukan untuk menemukan hubungan saling mempengaruhi yang tidak linier diantara keduanya.
Sekolah diandalkan sebagai tempat efektif untuk menaikkan jenjang sosial. Melalui sekolah orang berharap akan memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi, budaya maupun posisi dalam hierarki sosial. Imajinasi republikan Perancis mengembangkan gambaran mobilitas sosial dalam tiga generasi: kakek petani, orangtua guru, anak menjadi intelektual (penulis), pemimpin perusahaan atau pejabat. Contoh yang sering dikutip ialah Georges Pompidou, Presiden Perancis, cucu seorang petani dan anak seorang guru dari desa Cantal (C.Baudelot, 2006:165).
Di benak masyarakat seakan sekolah membuka kesempatan sama bagi semua lapisan. Padahal budaya sekolah menuntut suatu syarat tertentu bila ingin mendapatkan tempat terhormat di universitas-universitas ternama. Praktek pedagogis sehari-hari para pengajar di semua jenjang pendidikan dan perilaku keluarga yang menghambat kesiapan peserta didik dari kelas bawah menentukan jenis hubungan budaya sekolah dan budaya keluarga.
Tentu dalam konteks pendidikan di Perancis pemikiran Bourdieau ini berkembang. Menurut Christian Baudelot, sejak tahun 1962 terdapat penelitian tentang sistem pendidikan, dibuat di bawah pimpinan Alain Girard dan Roger Bastide, yang memperhitungkan perjalanan jenjang sekolah (2006:166). Sumbangan penelitian itu membantu mengembangkan analisa sosiologis karena memberi data yang sangat kaya untuk mereka yang ingin mempelajari peran sekolah dalam masyarakat, terutama perannya dalam mobilitas sosial.
Dari hasil penelitian itu, peserta didik yang berasal dari kelas atas lebih sering di atas rata-rata. Semakin tinggi jenjang sekolah semakin naik kemampuan bersaing mereka sehingga semakin mengurangi dan mengalahkan peserta didik dari kelas bawah, yaitu anak petani, buruh, karyawan rendahan. Penelitian ini yang menunjukkan adanya sistem seleksi sosial sejak awal.

Tokoh-Tokoh yang berpengaruh

Dasar Marxisme modern yang diambil Bourdieu menekankan pada faktor ekonomi sebagai struktur yang membentuk manusia dan mengabaikan subjektivisme manusia sebagai agen. Dan pemikiran dasar dari fenomenologi yang diambil Bourdieu didasarkan pada pertentangannya terhadap poposisi kehendak. Fenomenologi cenderung menempatkan manusia sebagai subjek penentu dengan kesadarannya dan menganggap sepi pengaruh realitas social yang tampil sebagai struktur objektif.
Bourdieu meletakkan pemikiran Durkheim dan hasil studinya tentang fakta sosial, strukturalisme Sussure, Levi-Strauss, dan struktural Marxis kedalam penganut pandangan objektivisme. Prespektif inilah yang menjadi dasar pandangan Bourdieu karena dalam pandangan tersebut hanya menekankan pada struktur objektiv dan mengabaikan adanya proses konstruksi social melalui proses dimana aktor akan merasakan, memikirkan dan membangun struktur ini dan mulai bertindak berdasarkan yang dibangunnya itu. Teori objektivisme menurut pandangan Bourdieu mengabaikan adanya keagenan. Untuk itu Bourdieu lebih condong pada pemikiran strukturalis yang tidak mengabaikan agen.

Arena Sosial, Habitus dan Modalitas

 

Pierre Bourdieu mengajukan suatu rumusan dalam mewujudkan sebuah praktik sosial. Praktik sosial itu selalu dipengaruhi oleh “habitus, capital/modal dan arena/medan”. Habitus itu dipahami sebagai serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial untuk beraksi dan berreaksi dengan cara-cara tertentu. Kapital/modal adalah sumberdaya-sumberdaya yang terdistribusi melalui medan struktur sosial dan memiliki nilai tertentu dalam arena/medan sosial tertentu pula. Yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, selera dan pola konsumsi.
Sedangkan arena/medan sosial dapat dipahami sebagai sebagai sebuah permainan, di mana setiap permainan mempunyai norma dan logikanya sendiri. Arena sendiri akan menjadi tempat perjuangan dan persaingan. Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dalam sebuah medan atau arena, ditentukan oleh posisinya dalam arena itu. Kedudukannya ini juga yang akan menentukan besarnya kepemilikan modal.


Arena sosial: tempat persaingan dan perjuangan

Konsep “arena” atau medan menempati fungsi penting di dalam sistem penjelasan teori sosial Pierre Bourdieu. Istilah “arena” ini menghubungkan konsep habitus dan kapital. Arena atau medan sosial itu dengan mudah bisa dibayangkan sebagai sebuah permainan, di mana setiap paermainan mempunyai norma dan logikanya sendiri. Misalnya norma dan logika dan permainan sepak bola akan berbeda dengan norma dan logika dalam permainan volly. Hierarki modal pun akan terkait dengan arena medan di mana dia berada. Seorang profesor akan mendapat kapital tertinggi hanya dalam arena pendidikan dan tidak dalam arena olahraga. Nilai yang dapat diperoleh dalam kapital atau modal, akan selalu terkait dengan arena tertentu.
Medan atau arena sebenarnya adalah tempat persaingan dan perjuangan. Pelaku yang masuk dalam suatu lingkungan (polotik, seni, intelektual) harus menguasai kode-kode dan aturan-aturannya. Misalnya, ketika orang masuk dalam dunia musik, orang harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan musik. Orang biasanya tidak dengan sengaja masuk dalam suatu arena permainan tanpa ia menyadarinya. Sejak ia lahir di dunia, orang sudah masuk dalam suatu permainan.
Sekolah menjadi obyek ilmiah sosiologi karena sekolah merupakan arena perjuangan sosial tempat para pelaku sosial melakukan investasi dan mengarahkan strategi mereka untuk mengakumulasi kapital atau mempertahankan kekuasaan. Dalam sistem sekolah dipertaruhkan alokasi dan manipulasi kapital budaya dan kapital simbolik.

Habitus: sebuah struktur dinamis

Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus ini mengacu pada kemampuan yang menjadi kebiasaan yang sudah ditanamkan sejak dini oleh orang tua di rumah. Maka dapat dikatakan bahwa habitus sangat berpengaruh dalam memproduksi kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial berhadapan dengan sekolah, pertama-tama bukan masalah perbedaan pendapatan, tetapi lebih pada perbedaan kapital budaya. Jadi ada hubungan antara keberhasilan di sekolah dengan pendampingan dan pengawasan keluarga terhadap peserta didik, tingkat pendidikan orang tua, baru kemudian pengaruh kapital ekonomi.
Habitus merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturisasi. Jadi praktek-praktek dan representasi kita tidak sepenuhnya dterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan oleh habitus). Habitus mampu menggerakan, bertindak dan mengorientasikan sesuai dengan posisi yang ditempati pelaku dakam lingkup sosial, menurut logika arena pertarungan dan situasi yang melibatkannya. Dengan konsep dominasi ini pula, Bourdieu mencoba untuk memongkar mekanisme dan strategi dominasi. Dominasi tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan.
Bagi Bourdieu, habitus merupakan praktek pengungkapan perwatakan dalam ruang sosial. Ruangan ini merupakan suatu medan sosial yang di dalamnya setiap anggota membentuk suatu sistem hubungan yang didasarkan atas kekuasaan yang bermakna dan diinginkan oleh anggota ruang sosial. Habitus juga meruapakan kecenderunga yang menggerakan orang atau pelaku untuk beraksi dan berreaksi dengan cara-cara tertentu sehingga menjadi kebiasaan. Maka habitus dapat juga disamakan dengan “kebiasaan”. Kebiasaan di sini dimaksudkan sebagai suatu pengulangan di mana di dalamnya terdapat kreativitas, internalisasi dan interaksi.

Modal sebagai sarana kekuasaan

Menurut Bourdieu, Kapital/modal adalah sumberdaya-sumberdaya yang terdistribusi melalui medan struktur sosial dan memiliki nilai tertentu dalam arena/medan sosial tertentu pula. Modal atau modalitas selalu tergantung dan terikat pada arena tertentu, ia bersifat partikular. Misalnya dalam gaya hidup remaja indonesia sekarang; pengenalan akan film, musik, kemampuan berbahasa gaul dan berdandan dengan gaya tertentu. Namun hal-hal di atas tidak bisa dijadikan modal jika ia berada dalam arena pelayanan diplomatik. Bourdieu mengadakan penelitian pada arena sekolah. Ia mengatakan bahwa miskinnya informasi, rendahnya pendidikan serta kapital budaya para orang tua kelas bawah mengkondisikan rendahnya keberhasilan anak-anak mereka di dalam persaingan di sekolah. Yang termasuk dalam golongan modalitas antara lain: budaya, ekonomi, sosial dan modal simbolik[1].
Melalui kriteria besar kecilnya modal yang dimiliki, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi struktur modal. Dalam dimensi vertikal, diertentangakan antara pelaku yang memiliki modal besar dan mereka yang miskin. Sedangkan dalam dimensi struktur modal, dipertentangkan antara pelaku yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan pelaku yang memiliki modal budaya yang lebih besar.
Bourdieu mengidentifikasi modal/kapital dalam beberapa macam: modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang paling mudah berpindah dan diubah dalam bentuk lain. Modal budaya ialah ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, cara bicara, kemampuan menulis, sopan santun, cara bergaul, dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial adalah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik itu sendiri, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekerasan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik seperti, kantor yang luas di daerah yang mahal, gelar pendidikan yang dicantumkan dalam tulisan di surat kabar atau majalah.
Modalitas tersebut akan mempengaruhi kemampuan menyerap model pedagogi yang diterapkan, yang akhirnya juga menentukan kemampuan bersaing di pasar kerja. Latar belakang keluarga dari peserta didik sangat menentukan keberhasilan di sekolah. Modalitas yang datang dari orang tua kelas bawah akan sangat menentukan anak-anak mereka di bangku sekolah. Peserta didik dari kelas atas lebih diuntungkan karena kepemilikan kapital budaya. Peserta didik dari kelas atas mempunyai akses yang luas. Sedangkan untuk peserta didik yang berasal dari kelas sosial miskin, satu-satunya akses ke budaya adalah sekolah.
Modal selalu disamakan dengan budaya kapital. Pihak yang memiliki modal tentunya berada dalam golongan kapitalis, baik itu kapital budaya maupun kapitak simbolik. Kepemilikan kapital memungkinkan bisa menjamin posisi sosial di masa depan karena kapital budaya di dalam konteks hubungan kekuasaan tertentu akan bisa dikonversi ke kapital ekonomi. Konsep “kapital budaya” sendiri mengandung dimensi budaya dan simbolik, moral, psikologis dan ketubuhan. Praktik budaya mencerminkan posisi kelas ssosial dan pilihan strategi untuk mengakumulasi kapital, mendapatkan pengakuan sosial atau afirmasi kelas. Masalah praktik pedagogis para pendidik dan perilaku keluarga yang tidak sadar  menyebabkan kegagalan banyak peserta didik. Peserta didik sendiri menjadi tertekan di bawah berlangsungnya alokasi dan manipulasi kapital simbolik dan kapital budaya.
Dalam konteks komunikasi pedagogi ini, konsep kapital tidak bisa dilepaskan dari dua pemaknaan yang sarat dengan hubungan kekuasaan, yaitu: konsep kesewenang-wenangan budaya dan kekerasan simbolik. Kesewenang-wenangan sebetulnya terletak pada pilihan sekolah untuk menggunakan modalitas yang lebih sesuai dengan kapital budaya yang dimiliki oleh kelas atas. Kekerasan simbolik terjadi karena pengakuan dan ketidaktahuan korban yang didominasi. Kekerasan simbolik terjadi karena sistem komunikasi pedagogi berjalan, baik yang disadari atau tidak. Logika dominasi itu berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang mendominasi dan maupun yang didominasi. Prinsip simbolik itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri ketubuhan. Sistem ini mengikuti aturan-2 tertentu di mana pengajar dianggap berada dalam posisi yang lebih tahu dari peserta didik sehingga menentukkan metodenya, materi yang disampaikan dan bentuk evaluasinya. 

Tentang Bahasa

Bahasa adalah praktik sosial. Pendekatan Bourdieu ini merupakan pengembangan dari pendekatan yang dilakukan oleh J.L. Austin tentang tindakan bahasa dalam Teori Tindak Tutur (speech act theory). Penekanannya ada pada kenyataan bahwa ujaran-ujaran tidak hanya dipakai untuk memaparkan sesuatu, tetapi juga merupakan tindakan dan partisipasi pada sebuah ritual. Ini disebut ujaran performatif, mis: saya berjanji, dengan ini saya meresmikan...,dll
Efektivitas sebuah bahasa performatif tidak bisa dipisahkan dari adanya “ínstitusi” yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan sesuai ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Otoritas ini tidak muncul begitu saja melainkan merupakan investasi sosial yang dicapai pelaku.
Seorang pelaku sosial yang memiliki otoritas, ketika ia berbicara dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenangnya, maka ia memanifestasikan otoritasnya. Melalui ujarannya ia menggunakan satu bentuk kekuasaan atau otoritas yg merupakan bagian dari sebuah institusi sosial, dan otoritas itu tidak bisa ditemukan hanya dengan membongkar kalimat-kalimatnya secara lingustik. Mencoba memahami secara linguistik saja kekuatan dari pernyataan-pernyataan linguistik berarti melupakan otoritas yang terjadi di ‘luar’. Padahal otoritas itulah yang direpresentasikan oleh bahasa, yang dimanifestasikan dan yang disimbolkan oleh bahasa. Otoritas itulah yang menurut Boudieu merupakan kapital simbolik dan kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Jadi, bahasa erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik.
 

Bahasa Sebagai Praktik Sosial

Praktik merupakan pendekatan Bourdieu dalam teori Praktik untuk melepaskan diri dari oposisi klasik subyektivisme dan obyektivisme, di samping habitus, arena dan kapital. Teori Praktik yang ditawarkan menggugat subyektivisme yang meletakkan subyek intelektual pada peran utama pembentukan dunia tanpa memperhitungkan konteks ruang dan waktu yang melatarbelakanginya. Obyektivisme pun juga dianggap tidak memperhitungkan peran dan posisi subyek intelektual sosial dalam pembentukan struktur dan praktik sosial.
Praktik sosial adalah sebagai hasil dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan amati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari pelaku sosial. Apabila interior itu adalah pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya yang dibentuk oleh habitus, sedangkan eksterior adalah struktur obyektif yg ada di luar diri pelaku sosial, yaitu arena, maka praktik sosial ini dengan sendirinya tidak sepenuhnya otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial dan struktur sosial, produk interaksi dialektis antara habitus dan struktur.
Dunia sosial erat kaitannya dengan konsep Bourdieu, yakni medan sosial dan arena. Medan sosial mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Arena adalah “sepotong kecil” dunia sosial, sebuah jagat penuh mufakat yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri, misalnya arena politik, seni, ekonomi, agama, dll. Siapa pun yang ingin masuk ke dalamnya harus memahami “aturan main” yang berlaku di jagat mufakat ini, karena jagat ini juga merupakan sebuah arena pertarungan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antarindividu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital yang mereka miliki. Secara logis, kelas pemilik kapital yang terbesar adalah kelas yang paling dominan.
Bahasa sebagai praktik sosial merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus linguistik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Kemampuan bahasa pelaku sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya.
Habitus linguistik menggambarkan kecenderungan praktik-praktik linguistik yang tertanam dalam diri pelaku, baik yang berhubungan dengan kecenderungan perilaku fisik, maupun persepsi dan logika bahasanya (misalnya: aksen atau intonasi tertentu; hal-hal yang berhubungan dengan cara-cara tertentu dalam menggerakkan lidah.
Melalui habitus linguistik inilah pelaku sosial mendapatkan dan terus memperkaya kapital budaya linguistiknya. Oleh karena itu, Bourdieu menggunakan pula istilah kapital informasional untuk bahasa sebagai kapital budaya linguistik.
Dalam arena pasar linguistik yang menjadi komoditas utama dalam sirkulasi ‘perdagangan’ bukan lagi bahasa, tetapi diskursus atau wacana. Setiap kata yang dipilih oleh pelaku sosial ditentukan oleh kapasitas linguistik yang dimilikinya, yang ditentukan oleh habitus linguistiknya.
Dalam setiap pasar linguistik ada wacana yang bernilai tinggi dan ada wacana yang bernilai rendah. Wacana yang bernilai tinggi adalah wacana yang dominan, yaitu yang memiliki legitimitas, wacana yang diakui kebenarannya oleh khalayak. Bourdieu menyebutnya sebagai doxa.

Bahasa dan Doxa

Hubungan komunikasi antara pengirim (émetteur) dan penerima (récepteur) dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim (chiffrement) dan pembongkaran kode atau simbol bahasa oleh penerima (déchiffrement). Hubungan komunikasi seperti ini bukan hanya sekedar hubungan komunikasi murni, seperti yang diungkapkan oleh Saussure. Bourdieu berpendapat bahwa konteks sosial atau pasar linguistik juga menentukan berhasil tidaknya satu wacana dari pengirim dipahami oleh penerima.
Wacana yang dikirimkan bukanlah sekadar wacana yag diharapkan dapat dipahami oleh penerima. Sebuah wacana juga merupakan kumpulan tanda dan simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richese), atau bertujuan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Dipercaya dan dipatuhi menunjukkan otoritas yang ingin dicapai oleh pelaku sosial. Otoritas ini adalah bentuk kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik. Bahasa sebagai kapital budaya (linguistik) dengan demikian erat kaitannya dengan pertarungan dan kekuasaan simbolik.
Di setiap arena ada wacana dominan dan ada wacana marginal. Wacana dominan akan terus berusaha mempertahankan keberadaannya, sedangkan wacana marginal akan berusaha menjatuhkannya.
Pada saat satu bahasa menjadi wacana yang mendominasi pasar, ia menjadi norma yang diterima kebenarannya. Harga, nilai, bahkan makna wacana-wacana yang lain ditentukan oleh wacana dominan ini, yang disebut sebagai doxa. Doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi kebenarannya.

Heterodoxa dan Orthodoxa

Heterodoxa adalah wacana yang bertentangan dengan doxa. Orthodoxa adalah wacana-wacana yang terus mempertahankan doxa. Doxa biasanya didukung oleh kelompok sosial yang dominan dan berkuasa yang menikmati status quo. Maka, mereka biasanya akan mempertahankannya dengan segala cara, karena mereka diuntungkan oleh doxa tersebut. Namun, di sisi lain wacana-wacana marginal akan terus berusaha untuk menghancurkan tatanan doxa dan siap-siap mengambil posisinya. Ini adalah sebuah pertarungan simbolik yang tujuan utamanya adalah akumulasi kapital simbolik demi kekuasaan simbolik.
Mengapa?
Ada 4 bentuk kapital: kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Kapital ekonomi adalah kapital yang paling mudah dikonversi ke dalam bentuk kapital yang lain. Di semua medan sosial kapital ekonomi pasti sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditolak kehadirannya. Namun, konversi yang paling tinggi tingkat kekuasaannya adalah konversi dari berbagai kapital lain ke kapital simbolis. Kapital simbolis di dalam bentuk-bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat pengakuan luas dan diterima publik secara luas.
Konsep legitimasi Bourdieu berbeda dengan konsep Weber yang meletakkan legitimasi dan kekuasaan pada figur pemimpin. Bourdieu menyatakan bahwa kebudayaan dominan adalah kebudayaan dari kelas dominan yang setalah melalui proses legitimasi yang panjang, mampu menghilangkan (melupakan) sisi-sisi kesewenang-wenangan yang ada pada saat kebudayaan tersebut dibangun.
Definisi sah atau tidak, benar atau salah, diakui atau tidak, ternyata sangat penting di dalam sebuah interaksi sosial dan kekuasaan. Bahkan masalah legitimasi ini adalah dasar dan tujuan dari pertarungan kelas. Legitimasi ini sangat penting bagi semua kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena teruhannya adalah kelestarian atau perubahan struktur yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan.
Semua dominasi sosial harus mendapat pengakuan, diterima sebagai sebuah legitimitas. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat mendesak penerimaan hukum-hukum dan’ memaksakannya’ sebagai legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya. Di medan simbolik inilah pertarungan kelas terjadi.

Sekolah: Reproduksi Kesenjangan Sosial

            Pendidikan sekolah bagi banyak orang menjadi alat di mana mereka bisa menaiki jenjang sosial yang lebih tinggi. Dan bagi mereka yang datang dari kelas sosial atas pendidikan sekolah formal menegaskan kembali status sosial mereka. Latar belakang budaya pendidikan di sekolah pada tahun sembilan belas enampuluhan, cenderung masih menjadi urusan para pedagog atau psikolog. Tidak mengherankan bila upaya mengatasi masalah pendidikan selalu dicari pemecahannya di sekitar proses belajar-mengajar, tingkat keberhasilan atau kegagalan atas dasar evaluasi kemampuan menyerap materi yang diajarkan, situasi psikologi peserta didik atau pengajar, sarana pendidikan, kurikulum; hubungan antara tujuan-tujuan pendidikan dan pilihan sarana pedagogis proses belajar-mengajar.
            Semua masalah ini berdasar pada pengandaian bahwa semua peserta didik memiliki kesempatan yang sama. Keberhasilan pendidikan hanya mengarah kepada dua kriteria besar, yaitu proses belajar-mengajar dan hasilnya. Keduanya akan diukur dari kompetensi profesi. Sedangkan latar belakang sosial peserta didik sama sekali tidak diperhitungkan.
            Cita-cita pendidikan bahwa perolehan pengetahuan dan teknologi akan mendorong pemahaman diri dan lingkungan secara lebih baik, ternyata sulit diwujudkan. Bukan hanya pada tingkat perguruan tinggi, persoalan mengenai melemahnya kompetensi peserta didik sudah dirasakan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Bila dalam perolehan pengetahuan dan ketrampilan dasar (membaca, berbicara runtun, menghitung dan pemecahan masalah) sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran dasar (pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap) yang dituntut agar bisa mengembangkan kemampuannya, hidup dan bekerja yang bermartabat menjadi semakin tidak mudah[2]. Kenyataan ini seakan membenarkan kritik Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial[3].
            Kelas menengah ke atas lebih diuntungkan oleh sistem sekolah karena budaya sekolah lebih sesuai dengan habitus yang mereka miliki. Kelas sosial menengah ke atas memiliki kesempatan yang lebih besar karena mereka memiliki latar belakang budaya (cultural capital) yang lebih siap dibandingkan mereka yang datang dari kelas sosial rendahan. Ada suatu kebiasaan dalam keluarga yang menjadi titik awal persiapan mereka masuk ke dalam budaya pendidikan yang tidak dimiliki masyarakat kelas rendahan. Latar belakang budaya kelas menengah ke atas lebih siap menghadapi persaingan di sekolah. Peserta didik yang datang dari kelas menengah ke atas sudah terbiasa dengan aktivitas membaca, menuangkan gagasan dalam tulisan atau berdiskusi, bahkan mereka memiliki sarana yang lebih lengkap untuk belajar seperti komputer, buku-buku ensiklopedi, kamus, internet, dan aneka macam kegiatan mengembangkan bahasa. Situasi demikian membuat anak-anak mereka sudah lebih siap memasuki persaingan dari pada mereka yang berasal dari kalangan miskin.
            Ketegangan antara perlunya persaingan dan keprihatinan akan kesamaan kesempatan, menempatkan para pengambil kebijakan pendidikan dalam posisi dilematis. Di satu sisi persaingan dibutuhkan untuk memacu efisiensi (ciri khas logika ekonomi), sedangkan di sisi lain kesamaan kesempatan dan solidaritas adalah yang ditekankan oleh logika sosial. Ketegangan ini ingin dipecahkan melalui pendidikan agar membentuk sinergi antara persaingan yang memacu efisiensi, kerjasama yang memberi kekuatan dan solidaritas yang menyatukan[4].
            Menurut Bourdieu, kesenjangan sosial dalam pendidikan terasa sekali ketika melihat kesempatan untuk masuk perguruan tinggi. Bagi peserta didik yang berasal dari kelas atas kemungkinannya 80%, sedangkan mereka yang berasal dari petani dan buruh hanya 40%[5]. Dari prosentase ini terlihat bagaimana sekolah kemudian dianggap ikut berperan aktif dalam memproduksi dan mereproduksi kesenjangan sosial tersebut
Bourdieu ingin membangun suatu teori hubungan sosial dalam kerangka kekayaan budaya, penyampaian warisan budaya, rekayasa yang dibuat dan bagaimana apropriasi kekayaan budaya tersebut. Kesenjangan di dalam sekolah mencerminkan prinsip kesenjangan dalam budaya. Bourdieu, terutama dengan konsep habitus, memperkaya hubungan kelas-kelas sosial dengan memasukkan dimensi budaya, simbolik, moral, psikologi dan ketubuhan. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu[6].
            Kesenjangan sosial berhadapan dengan sekolah, pertama-tama bukan masalah perbedaan pendapatan, tetapi lebih pada perbedaan kapital budaya. Jadi ada hubungan antara keberhasilan di sekolah dengan pendampingan dan pengawasan keluarga terhadap peserta didik, tingkat pendidikan orang tua, baru kemudian pengaruh kapital ekonomi.
            Sekolah sejak awal diandalkan sebagai tempat efektif untuk menaiki jenjang sosial. Melalui sekolah orang berharap akan memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi, budaya maupun posisi dalam hierarki sosial. Imajinasi republikan Perancis mengembangkan gambaran mobilitas sosial dalam tiga generasi: kakek petani, orangtua guru, anak menjadi intelektual (penulis), pemimpin perusahaan atau pejabat. Contoh yang sering dikutip ialah Georges Pompidou, Presiden Perancis, cucu seorang petani dan anak seorang guru dari desa Cantal[7].
            Di benak masyarakat seakan sekolah membuka kesempatan sama bagi semua lapisan. Padahal budaya sekolah menuntut suatu syarat tertentu bila ingin mendapatkan tempat terhormat di universitas-universitas ternama. Budaya kelas sosial yang lebih siap menghadapi persaingan di sekolah ialah budaya kelas menengah ke atas. Di keluarga-keluarga kelompok sosial ini sudah ada kebiasaan membaca; mereka memiliki kamus atau ensiklopedi, ada ruang dan waktu belajar, sudah memiliki komputer, ada kebiasaan berdiskusi sehingga terampil di dalam rekayasa bahasa. Pendek kata, meski sekolah membuka kesempatan sama untuk semua, tetapi dalam kenyataan, kelas menengah ke atas sudah lebih dahulu memesan tempat-tempat terbaik karena kesiapan mereka untuk bersaing. Dengan kata lain, habitus kelas itu bisa berkembang dan dibesarkan tidak lepas dari kepemilikan kapital budaya dan kapital ekonomi.
            Sejak masih di Sekolah Dasar, peserta didik sudah dipacu untuk berprestasi agar masuk dalam ranking di kelas. Sejak dini mereka mulai berlomba untuk memperebutkan tempat di setiap jenjang proses pendidikan karena menjanjikan posisi sosial di masa depan Kesenjangan sosial semakin melebar dengan menjamurnya International Schools yang komunikasi pedagogisnya menggunakan bahasa Inggris. Tetapi akan sangat tidak masuk akal melarang lembaga-lembaga dan program-program alternatif kegiatan-kegiatan tersebut.
            Namun tujuan pendidikan yang pragmatis ini sangat wajar sebagai naluri bertahan hidup atau kecenderungan untuk perbaikan kualitas hidup, kalau tidak mau dikatakan yang utama. Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan: 1) perolehan pengetahuan dan ketrampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab permintaan pasar, 2) orientasi humanistik, 3) menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi dan masalah keadilan, 4) kemajuan ilmu-ilmu itu sendiri.
            Meski jumlahnya kecil pada awal jenjang sekolah, kemampuan dan bobot peserta didik yang berasal dari kelas atas lebih sering di atas rata-rata. Semakin tinggi jenjang sekolah semakin naik kemampuan bersaing mereka sehingga semakin mengurangi dan mengalahkan peserta didik dari kelas bawah, yaitu anak petani, buruh, karyawan rendahan [76% dari peserta didik kelas atas dinilai maju, sedangkan 64% dari kelas bawah dianggap terlambat][8]. Penelitian yang menunjukkan adanya sistem seleksi sosial sejak awal.
            Di Indonesia, menjamurnya International Schools yang mahal beayanya dan perburuan sekolah favorit memberi bukti bahwa orang telah menyetujui sistem seleksi masyarakat sejak dini. Betulkah semua peserta didik mempunyai kesempatan sama? Ideologi bakat semakin melanggengkan mitos bahwa semua mempunyai kesempatan sama. Bukankah asal-usul sosial peserta didik menjadi faktor paling menentukan dalam keberhasilan atau kegagalan di sekolah ? Menurut Bourdieu, bahkan bagi kelas atas rasa aman akan masa depan itu semakin terjamin dengan terbukanya kemungkinan untuk mengambil kuliah di beberapa bidang disiplin ilmu yang sering jauh dari disiplin ilmu pokok yang dipelajarinya[9].
            Ada hubungan antara, di satu pihak sekolah, yang dipahami sebagai lembaga reproduksi budaya yang berlaku, dan, di lain pihak, kelas-kelas sosial yang ditandai oleh kemampuan menyerap secara efektif komunikasi pedagogis[10].Ternyata pengelompokkan kelas-kelas sosial mencerminkan juga jarak kesenjangan dengan budaya sekolah. Tradisi yang  hidup dalam kelas menengah ke atas lebih dekat dengan budaya sekolah.
            Representasi seperti itu meyakinkan seakan-akan berkat bakat dan ketekunan, semua peserta didik mempunyai kesempatan sama untuk berhasil. Padahal asal-usul lingkungan sosial sangat menentukan. Peserta didik yang berasal dari keluarga miskin atau petani di desa harus berjuang keras untuk meniti tangga sekolah karena jauh dari fasilitas pendidikan dan budaya. Berbeda dengan mereka yang sejak kecil sudah tidak asing dengan buku, komputer, kunjungan ke perpustakaan, langganan majalah atau koran, diskusi di mana olah-pikiran menjadi aktivitas utama, maka menulis dan berbicara telah menjadi bagian hidup. Terbiasa dengan lingkungan di mana bahasa cerdik menjadi bahasa ibu, mereka mumpuni menggunakan kata-kata dan cara berpikir mereka lebih terasah tajam[11].
            Sistem pendidikan sekolah memang tidak peduli terhadap tingkat penerimaan permainan intelektual peserta didik. Padahal tingkat penerimaan permainan intelektual dan nilai-nilai yang diusung tidak pernah lepas dari asal-usul sosial. Kalau bagi peserta didik kelas atas, masuk sekolah bahkan sampai pada tingkat universitas merupakan kelanjutan dari kehidupan budaya rumah, sedangkan untuk kelas bawah dan sebagian kelas menengah yang dipertaruhkan adalah masa depan mereka. Perjuangan untuk bisa masuk ke dalam budaya sekolah menuntut upaya lebih seperti masuk ke dalam dunia yang tidak riil karena jauh dari budaya yang mereka hayati

Kritik Terhadap Bourdieu

  1. Konsep kesetaraan yang dikemukakan oleh Bourdieu memang baik, jelas, dan memperhatikan kepentingan mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Namun untuk mencapai kesetaraan itu merupakan hal yang sulit bahkan mendekati tidak mungkin untuk dilakukan. Meskipun mungkin, toh memerlukan biaya yang sangat besar. Yang bisa dilakukan yaitu dengan membuat suatu program penyetaraan bagi mereka yang memiliki kapital budaya kurang. Hal itu bisa dilakukan dengan pemfasilitasan di daerah yang kurang maju dan diadakan program-program semacam kursus untuk penyetaraan kapital budaya itu (mirip semacam matrikulasi).
  2. Tuntutan terhadap kurikulum pendidikan sangat tinggi karena para pembuat kebijakan pendidikan harus memperhatikan asal-usul kapital budaya masing-masing siswa.

Pustaka
  • Bourdieu, Pierre.,
1992    Language and Symbolic Power, Cambridge, Polity Press
  • Haryatmoko
2003. www.kompas.com. Reproduksi Kesenjangan Sosial Melalui Sekolah.
  • Majalah BASIS. Tahun ke-25/November-Desember/2003
  • Majalah BASIS. Tahun ke-57/Juli- Agustus/2008
  • Nur Aryani
2003.. http://www.sinarharapan.co.id Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa




[1] Modal sebenarnya adalah istilah dalam khasana ekonomi. Namun Bourdieu menghubungkananya dengan masalah kekuasaan. Modal sendiri dapat terakumulasi melalui investasi., diberikan kepada yang lain melalui warisan dan dapat memberi keuntungan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh pemilihnya untuk mengoperasikan penempatannya.
[2]J. Delors (ed.), Learning The Treasure Within. Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first Century, Paris 1998: Presses Universitaires de France, 25.
[3] Bourdieu, Pierre  Passeron, Jean-Claude, La reproduction. Elements pour une theorie du systeme d’enseignement, Paris 1970, Minuit.
[4] J. Delors (ed), Learning The Treasure Within. Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first Century, 17 – 18.
[5] Bourdieu, Pierre  Passeron, Jean-Claude, La reproduction. Elements pour une theorie du systeme d’enseignement, 12.
[6] P.Bourdieu, Raisons pratiques. Sur la theorie de l’action. Paris 1994, Seuil 9, 16-17
[7]Christian Baudelot, , L’education, un nouvel objet scientifique, un nouveau champ de lutte, dalam: Muller, H-P., & Sintomer, Y., Pierre Bourdieu, theori et pratique. Paris 2006: La Decouverte, hlm.165-189

[8] Bourdieu, Pierre & Passeron, Jean-Claude. Les heritiers. Les etudiants et la culture, Paris1964, Minuit. 13.
[9] Bourdieu, Pierre & Passeron, Jean-Claude. Les heritiers. Les etudiants et la culture, 29.
[10] Bourdieu, Pierre  Passeron, Jean-Claude, La reproduction. Elements pour une theorie du systeme d’enseignement, 128.
[11] Bourdieu, Pierre & Passeron, Jean-Claude. Les heritiers. Les etudiants et la culture.

0 comments:

Post a Comment