PEMIKIRAN
FILOSOFIS PAUL RICOEUR
Filsafat Kehendak
Konon
sebagai mahasiswa muda dan sebelum berkenalan dengan pemikiran Husserl, Ricoeur
sudah mempunyai cita-cita akan menjadi orang pertama di tanah air Descartes dan
tempat lahir intelektualisme, yang menciptakan suatu filsafat kehendak. Di atas
sudah kita lihat bahwa jilid pertama diajukan sebagai tesis untuk memperoleh
doktorat negara. Menurut rencana Ricoeur, seluruh proyek akan meliputi tiga
jilid: jilid pertama terbit tahun 1950, jilid kedua (dalam dua bagian) terbit
tepat sepuluh tahun kemudian dan jilid ketiga tidak terbit lagi, meskipun ada
beberapa artikel yang dapat dianggap sebagai studi persiapan.
Jilid
pertarna dari Filsafat kehendak
diberi judul khusus Yang dikehendaki dan
yang tidak dikehendaki. Dalam jilid ini Ricoeur ingin menyajikan suatu
deskripsi murni tentang kehendak dan aktus-aktusnya[1]. Konkret
itu berarti suatu usaha untuk melukiskan struktur-struktur fundamental dari apa
yang dikehendaki manusia dan unsur-unsur dalam eksisensinya yang tidak
bergantung pada kehendaknya, sebab kehendak selalu beraksi dalam suatu
Iingkungan yang tidak dikehendaki. Manusia selalu terbentur pada oposisi antara
kebebasan dan keniscayaan; selalu ada hubungan timbal balik antara yang
dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dan yang tidak dikehendaki itu harus
dimengerti dengan bertitik tolak dan subyek, sebab unsur yang pertama ialah
bahwa saya mengerti diri saya sebagai “saya berkehendak” (volo, sejajar dengan cogito
Descartes). Untuk melaksanakan proyek ini Ricocur menggunakan metode
fenomenologi Husserl. Atau lebih tepat lagi dapat dikatakan, ia menggunakan
bagian metode Husserl yang mencari eidos
atau hakikat sesuatu. Ia ingin memberikan
suatu “eidetika” tentang kehendak, Suatu pelukisan tentang eidos kehendak. Untuk itu perlu diadakan dua abstraksi, yang
kiranya mengingatkan kita pada “reduksi” dalam filsafat Husserl, namun tidak
boleh disamakan begitu saja dengan berfungsinya reduksi dalam pikiran pendiri
fenomenologi itu. Karena ia ingin memberikan suatu deskripsi murni tentang
kehendak lebih dahulu harus ditempatkan dalam tanda kurung masalah kesalahan
etis (faute) yang bersifat absurd dan masalah Transendensi yang penuh misteri.
Supaya dapat melukiskan kehendak menurut struktur-struktur yang dapat
dimengerti, untuk sementara kita harus mengurung kesalahan etis yang irasional
dan Transendensi Ilahi yang metarasional. Dalam hal ini ia mengkritik di satu
pihak Kierkegaard, Jaspers, dan Heidegger yang “mengontologisasikan”kebersalahan
(culpabilite; Inggris: culpability) manusia, artinya dan di lain pihak
filsuf-filsuf seperti Blondel yang terlalu cepat beralih dari perbuatan
(action) ke Transendensi.
Dalam perwujudan konkret kehendak
Ricoeur membedakan tiga tahap: memutuskan (decider), melakukan (agir) dan
menyetujui (cousentir). Tiga wilayah penelitian ini merupakan tiga bagian
besar buku Ricoeur. “Memutuskan” meliputi
proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Di sini tentu “deskripsi murni”
menurut metode fenomenologi dapat dilaksanakan. Tetapi jika beralih ke
faktor-faktor yang tidak dikehendaki yang berkaitan dengan bidang ini seperti
kebutuhan-kebutuhan, kesenangan dan ketidaksenangan, metode fenomenologis sudah
tidak memadai karena metode itu membatasi diri pada ”kesadaran murni”,
sedangkan faktor-faktor tersebut menyangkut pengalaman tubuh dan sejarah
pribadi seseorang. Karena itu di sini ia harus memperluas metodenya dengan
suatu “partisipasi eksistensial” di mana ia mengambil pikiran
Gabriel Marcel (dan analisanya
tentang “tubuhku”) sebagai sumber inspirasi.
Tahap
“melakukan” dalam bentuk yang paling fundamental adalah “saya menggerakkan
tubuh saya”. Suatu “deskripsi murni” dapat menjelaskan apa yang oleh Ricoeur
disebut “pragma” atau “apa yang dilakukan”. Tetapi karena tubuh sebagai alat perbuatan di sini timbul
kesulitan-kesulitan besar sebab melalui tubuhnya subyek terlibat dalam dunia
material. Dapat diperkirakan bahwa Ricoeur dalam konteks ini dengan
tegas menolak setiap konsepsi yang memandang manusia sebagai keduaan yang
terdiri atas tubuh dan jiwa tanpa menghiraukan kesatuannya. Lagi pula, pada
tahap ini kehendak tercampur dengan banyak aspek yang tidak dikehendaki;
seperti insting, emosi dan kebiasaan-kebiasaan. Fenomena “percobaan” (effort)
menurut Ricoeur di sini sebagian dapat menjembatani kesenjangan antara yang
dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.
Tahap
terakhir meliputi aktus “menyetujui” yang oleh Ricoeur dimengerti sebagai
“menerima”, “membuat menjadi miliknya sendiri”. “Menyetujui” itu menyangkut
faktor yang tidak dikehendaki yang dapat disebut keniscayaan. Bukan keniscayaan
yang dalam ilmu pengetahuan (seperti hukum-hukum alam yang tak terelakkan)
melainkan necessité vécue, kata
Ricoeur, keniscayaan yang dihayati; artinya bukan keniscayaan yang berhadapan
dengan manusia secara obyektif, melainkan keniscayaan yang melekat pada
subyektivitasnya. Keniscayaan yang dihayati ini mencakup watak, ketidaksadaran
dan apa yang dengan suatu istilah umum dapat disebut “kehidupan” (misalnya
fase-fase pertumbuhan kelahiran --SaIah satu tema original dalam pernikiran
Ricoeur—dan usia).
Seluruh
analisa ini berakhir dengan suatu evaluasi filosofis terhadap kebebasan. Ricoeur menganggap
kebebasan sebagai percampuran antara ketergantungan dan ketaktergantungan dan
sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang dikehendaki dan unsur-unsur yang
tidak dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan
absolut. “Suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi”, kata
Ricoeur. Biarpun nama Sartre tidak disebut eksplisit, dapat saja diandaikan
bahwa Ricoeur dengan itu menolak pandangan ekstrem tentang kebebasan dan tokoh
eksistensialisme yang begitu ramai dibicarakan dalam kalangan filosofis Prancis
pada waktu itu.
Jilid
kedua Filsafat Kehendak mempunyai judul umum Keberhinggaan dan kebersalahan. Di
sini Ricoeur menghapus abstraksi pertama yang dilakukan dalam jilidnya yang
pertama, yaitu kesalahan etis dan kebersalahan. Seperti sudah kita lihat, jilid kedua ini terdiri atas
dua buku tersendiri. Anak judul untuk bagian pertama adalah Manusia yang Dapat Salah. Bahwa manusia
bisa salah merupakan suatu prasayarat bagi terjadinya kejahatan. Bagaimana
falibilitas (fallibility) itu mungkin? Di sini Ricoeur mengaitkan metode
fenomenologi dengan metode transendental Kant. Sesudah suatu penelitian panjang
dan teliti, Ricoeur sampai pada kesimpulan bahwa dasar untuk falibilitas itu
terletak dalam usaha manusia untuk memperdamaikan keberhinggaan dan
ketakherhinggaan; usaha yang tak pernah herhasil. Usaha itu dipraktekkan manusia di bidang pengenalan,
perbuatan, dan teruama perasaan. Di semua bidang itu ia terbentur pada adanya
disproporsi antara keberhinggaan dan ketakherhinggaan yang tidak mungkin
diatasi. Kerapuhan manusia, biang keladi kemungkinan untuk dapat salah,
terletak dalam non-coincidence of man
with himself suatu disproporsi yang membelah eksistensi manusla sendiri. Di
bidang pengenalan disproporsi itu tampak dalam ketegangan antara watak manusia
(perspektif terbatas bagi seluruh kesanggupannya) dan kebahagiaan horizon tak
terbatas yang meliputi semua nilai. Teristimewa disproporsi dalam eksistensi
manusia itu tampak dalam hati sanubari manusia yang tak pernah puas, selalu
gelisah, selalu mencari obyek yang lebih baik dan lebih memuaskan. Terutama dalam
hati manusia itu, kita menyaksikan terjadinya konflik antara kutub berhingga
dan kutub tak berhingga. Terutama hati yang tak stabil itu dikemukan Ricoeur
sebagai the weak point, dimana yang
jahat memasuki manusia.
Tetapi
dengan menjelaskan kemungkinan terjadinya kejahatan belum disinggung kejahatan
sendiri sebagai fakta. Dalam bagian kedua dan Keberhinggaan dan Kebersalahan
yang berjudul simbol-simbol tentang
kejahatan Ricoeur mempelajari
kejahatan konkret dalam eksistensi manusia. Untuk dapat menyelidiki
kejahatan sebagai kenyataan Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan
teori-teori tentang kejahatan, ia ingin memperlihatkan bagaimana manusia—dan
konkret itu berarti manusia beragama—mengalami kejahatan atau— lebih tepat
lagi—bagaimana manusia itu “mengakui” kejahatan. Bahasa yang dipakai manusia
untuk mengakui pengalamannya tentang kejahatan bersifat simbolis. Maka dari itu
langkah pertama dalam refleksi Ricoeur tentang kejahatan ini ialah mempelajari
tiga simbol pokok yang dipakai manusia untuk mengungkapkan pengalamannya itu:
noda, dosa, dan kebersalahan (guilt).
Yang
menandai simbol pertama—noda--—-adalah bahwa di situ kejahatan dihayati
sebagai sesuatu “pada dirinya” (in itself). Kejahatan dilihat sebagai sesuatu
yang merugikan yang datang dari luar dan dengan cara magis menimpa serta
mencemarkan manusia. Kejahatan di sini masih merupakan suatu kejadian obyektif;
misalnya, orang yang dengan tidak sengaja menjadi najis, terkena juga. Berbuat
jahat berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus
dipertahankan seperti apa adanya dan karena itu—kalau pernah dikacaukan—perlu
dipulihkan kembali. Orang yang dinajiskan masih mengalami kejahatan setengah
fisis dan setengah etis. Sifat obyektif dan serentak subyektif itu tampak dalam
ritus pentahiran (mencuci tubuh atau bagian tubuh) yang tidak pernah dihayati
sebagai pencucian yang semata-mata material. Mungkin karena alasan itu noda
sebagai dimensi simbolis tidak pernah akan hilang seluruhnya dan penghayatan
mengenai kejahatan, biarpun bagi orang modern dimensi ini kurang penting
dibandingkan dengan manusia dan masyarakat tradisional (yang tampak misalnya
dalam penghayatan orang modern terhadap seksualitas).
Menurut simbol kedua—dosa-—manusia melakukan
kejahatan “di hadapan Tuhan”. Simbol mi untuk pertama kali tampil ke muka dalam
kesadaran religius bangsa Israel pada zaman nabi-nabi. Berbuat jahat tidak lagi
berarti melanggar suatu tata susunan yang magis dan anonim, melainkan
ketidaktaatan terhadap Allah yang telah mengadakan suatu Perjanjian dengan
bangsa-Nya. Dosa merupakan ketidaksetiaan bangsa Israel terhadap Allah yang
setia. Dan reaksi terhadap dosa bukanlah suatu balasan buta dan suatu tata
susunan anonim, melainkan murka Allah. Tetapi di sini juga tata susunan
Perjanjian dapat dan harus dipulihkan. Melalui pengasingan di tempat jauh dan
hukuman-hukuman lainnya Israel dibebaskan dari dosanya.
Simbol “dosa” itu diungkapkan dalam
banyak simbol lain lagi. Pertama-tama terdapat suatu kelompok simbol-simbol
yang menggarisbawahi sifat negatit dan dosa sebagai terputusnya huhungan
dialogal dengan Allah. Dosa adalah “menempuh jalan sesatan”,”pemberontakan”
terhadap kekuasaan Allah atau “zinah” (Nabi Hosea). Mengganti kemuliaan Allah
dengan berhala adalah “udara”, “kesia-siaan”,”asap”, dan”dusta”. Pendeknya,
dosa adalah, “ketiadaan”. Memilih antara baik dan jahat tidak sama dengan
memilih antara dua kenyataan; pilihan itu antara Allah dan ketiadaan.
Sekelompok simbol-simbol lain melukiskan dosa sebagai sesuatu yang lebih
positif sifatnya, sebagai sesuatu yang real di luar manusia. Dosa misalnya
dilambangkan sebagai “perbudakan”, “pengasingan”, “hati yang membatu”:
pendeknya, suatu kuasa dari luar yang menimpa manusia. Di sini simbolisme lebih
dekat dengan kenajisan dan noda. Sifat positif dosa itu antara lain tampak dari
kenyataan bahwa dosa diampuni atau dihapus, malah dosa-dosa yang sudab
dilupakan atau tidak disadari. Tetapi juga dalam konteks ini realitas dosa
(termasuk besar kecilnya tidak ditentukan oleh pandangan Allah yang mengetahui
segala sesuatu.
Simbol ketiga adalah kebersalahan
(guilt). Cara penghayatan tentang kejahatan ini berkembang
di Israel sesudah pengasingan di Babilonia selesai. Pada waktu itu kejahatan
ditemukan sebagai kebersalahan pribadi. Simbol-simbol yang digunakan untuk
mengungkapkan kebersalahan ini adalah terutama “beban” dan “kesusahan” yang
menekan dan memberatkan hati nurani saya. Dan dosa yang menyangkut bangsa
seluruhnya, kebersalahan menjadi sesuatu yang menyangkut saya pribadi. Dari
sesuatu yang terdapat di luar saya, kebersalahan telah menjadi sesuatu di dalam
diri saya. Telah berlangsung suatu
proses internalisasi dan personalisasi dalam cara manusia menghayati kejahatan.
Kejahatan
merupakan perbuatan saya yang bebas; bukan lagi suatu kuasa dari luar yang
menyergap saya. Saya bersalah, karena saya bertanggung jawab. Dalam konteks
kebersalahan, berbuat jahat dihayati sebagai suatu pengkhianatan terhadap
hakikat saya yang sehenarnya, bukan —seperti dosa—sebagai suatu pemberontakan
terhadap Tuhan. Kesempurnaan manusia tercapai
dengan memenuhi peraturan-peraturan dan perintah-perintah Tuhan secara seksama
(aliran Farisi). Tetapi dengan melanggar peraturan-peraturan dan
perintah-perintah itu saya tidak bersalah terhadap Tuhan, melainkan terhadap
diri saya sendiri. Orang yang bersalah menjadi terisolasi: ia sendiri adalah
hakim dan terdakwa sekaligus. Ia terkurung dalam dirinya. Nah, seluruh situasi
ini menghadapi suatu jalan buntu. Justru pemenuhan peraturan-peraturan (Hukum
Taurat) dan pelaksanaan kesempurnaan yang saya sendiri wujudkan adalah dosa,
karena saya sebagai “orang saleh” meninggikan diri terhadap Allah yang hanya
dapat memberikan kesempurnaan sebagai anugerah (Rasul Paulus, khususnya dalam
surat kepada umat di Roma). Pembebasan hanya mungkin, kalau ketertutupan
manusia dibuka dan ia dibenarkan oleh kebaikan Tuhan dengan tidak
memperhitungkan kebersalahannya.
Setelah menguraikan simbol-simbol
dasar yang mengungkapkan penghayatan manusia terhadap kejahatan, dalam langkah
kedua Ricoeur mempelajari mitos-mitos yang menceritakan dari mana asalnya
kejahatan (dalam arti segala hal yang kurang beres di dunia ini: dosa,
kematian, kesusahan) dan bagaimana kesudahannya atau bagaimana kejahatan itu
dapat diatasi. Mitos-mitos boleh disebut “simbol-simbol sekunder”, karena
membeberkan dalam bentuk cerita simbol-simbol dasar yang dipelajari tadi, yang
merupakan simbol-simbol primer. Mitos-mitos tentang kejahatan menurut Ricoeur
mempunyai tiga fungsi. Pertama, mitos-mitos itu menyediakan suatu universalitas
konkret bagi pengalaman manusia tentang kejahatan. Pahlawan, leluhur atau
manusia pertama dan mitos merupakan ‘model” bagi umat manusia seluruhnya.
Kedua, dengan cerita tentang awal mula dan kesudahan kejahatan itu mitos
membawa suatu orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia: pengalaman
manusia dikaitkan dengan suatu “sejarah” yang menyangkut kebinasaan dan
keselamatan. Ketiga, yang paling penting ialah bahwa dalam bentuk cerita mitos
menjelaskan peralihan dan keadaan manusia tak herdosa yang sah ke
keadaannyasekarang yang penuh noda, dosa, dan kebersalahan. Mitos mempunyai
suatu aspek ontologis: memandang hubungan antara keadaan manusia yang sah
dengan keadaan historisnya sekarang yang ditandai alienasi. Tetapi, dan semula
perlu disadari bahwa mitos tidak sama dengan alegori. Simbol-simbol yang
digunakan dalam mitos tidak mungkin diterjemahkan dengan konsep-konsep; bahasa
mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan hahasa rasional.
Orang yang ingin mempelajari
mitos-mitos tentang kejahatan harus mulai dengan mengadakan suatu klasifikasi.
Ia harus berusaha membedakan beberapa tipe mitos. Ricoeur membedakan empat
macam mitos yang menyangkut awal mula dan kesudahan kejahatan: mitos kosmis,
mitos tragis, mitos tentang Adam, dan Mitos Orfis.
Mitos Babilonia yang bernama Enuma Elish dapat dianggap sebagai salah
satu contoh khas tentang mitos kosmis. Dalam mitos itu kejahatan disamakan
dengan “khaos” (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula. Dan
sebaliknya, keselamatan atau pembebasan dan kejahatan disamakan dengan
penciptaan dunia. Dunia diciptakan dengan kemenangan dewa Marduk atas naga laut
Tiamat. Jadi, dunia diciptakan sebagai akibat suatu perkelahian antara
dewa-dewa, di mana Tiamat melambangkan keadaan kacau balau. Dengan kemenangan
Marduk, “khaos” diatasi dan segera lahirlah “kosmos” (dunia yang teratur, yang
dibentuk dan bagian-bagian mayat Tiamat. Manusia diciptakan sebagai akibat
suatu perkelahian lain lagi, ketika dewa Ea—atas nasihat Marduk-—membentuk
manusia dan darah seorang dewa lain yang telah dikalahkannya. Dengan demikian
penciptaan manusia adalah kemenangan definitif atas khaos dan serentak juga
saat definitif didirikannya dunia yang teratur. Dalam pandangan mitis ini
penciptaan dan keselamatan dianggap identik. Bisa terjadi, kadangkala khaos dan
awal mula itu tampil ke muka lagi; kalau begitu, dengan ritus-ritus kemenangan
Marduk yang pertama sekali lagi harus diulangi.
Mitos tragis menurut bentuknya yang
paling jelas dijumpai dalam tragedi-tragedi Yunani, khususnya tragedi-tragedi
yang ditulis Aiskhylos. Menurut pandangan tragis tentang manusia, dewa
merupakan asal-usul kejahatan; dewa yang tidak ber— wujud persona, yang disebut
Moira (suratan nasib, takdir), theos (tanpa kata sandang: ketuhanan), kakos daimôn (roh jahat). Dewa
mengakibatkan pahlawan (artinya manusia) menjadi bersalah dan terkutuk karena
bersalah. Kejahatan adalah “takdir” yang menimpa seseorang karena ketidaktahuan
atau kebutaan. Orang yang melakukan kejahatan lebih mirip dengan korban
daripada dengan penjahat. Oidipus
tidak mengetahui dan tidak menghendaki apa yang telah dilakukannya, ketika ia
membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Kenajisan yang menimpa dirinya karena
perbuatan itu tak lain tak bukan adalah kutuk yang telah ditakdirkan menjadi
nasibnya. Tragik memuncak lagi bila sang pahlawan menentang nasib yang telah
ditakdirkan dan diramalkan tentang dia. Justru dengan menentang dan berusaha
melarikan diri, ia mewujudkan nasib yang menimpa dirinya dengan tidak mengenal
ampun. Drama tragedi yang menggambarkan kehidupan manusla itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani
yang terancam dan terkutuk, tetapi juga eleos
(kasihan) dengan eksistensi manusia yang karena takdir ilahi itu jahat dan
penuh kesusahan. Dalam tragedi Yunani perasaan2 dibahasakan dan dinyanyikan
oleh paduan suara yang bertindak sebagai penonton maupun komentator. Tetapi di
sini juga terbuka kemungkinan untuk semacam keselamatan, bukan dalam arti ia
dibebaskan dan penderitaan melainkan dalam arti ia diperdamaikan dengan
nasibnya. Dengan menyaksikan petualangan2 sang pahlawan di pentas dan turut
menghayati apa yang dinyanyikan oleh paduan suara, si penontonmencapai katharsis, pembersihan hati, karena ia
mengerti bahwa manusia harus menyerah kepada takdir yang tak terhindarkan.
Pathei mathos —kata Askhylos_manU5ia rus menderita untuk dapat mengerti.
Kehehasan di sini sama dengan menerima apa yang mutlak hanus terjadi.
Dalam mitos tentang Adam yang
diceritakan dalam Kitab Kejadian kitab pertama dan Kitab Suci Yahudi, manusia
sendirilah ditunjukkan sebagai asal-usul kejahatan. Semua hal yang tidak beres
masuk dunia karena manusia (Adam berarti “manusia”). Di sini kita menjumpai
suatu mitos antropologis tentang kejahatan. Cerita tentang Adam itu
mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenal asal mula
kejahatan yang sudah kita pelajari dalam simbol dosa. Karena monoteismenya yang
mempunyai pandangan etis yang luhur, Israel menolak setiap mitos yang
mengasalkan kejahatan dan Allah. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia;
kejahatan disebabkan karena manusia tidak setia, karena Ia “jatuh”. Penciptaan
Tuhan itu sendiri baik dan sempurna, hanya manusia bertanggung jawab atas
segala ketidakberesan dalam dunia.
Menurut Ricoeur, mitos Hibrani ini
mempunyai dua segi dan akibatnya dapat dibaca dengan dua cara. Menurut suatu
skema pertama peralihan dan keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung karena
satu orang, satu perbuatan dan pada satu saat. Satu orang, yaitu Adam, mewakili
seluruh umat manusia; bersama dengan diri Adam setiap manusia jatuh dalam dosa.
Kejadian itu berlangsung dengan satu perbuatan, yaitu memakan buah yang
terlarang dan dengan demikian pada satu saat keadaan tak berdosa berubah
menjadi keadaan terkutuk. Dengan mendadak terjadilah keretakan dalam ciptaan
Tuhan yang selaras dan sempurna itu; dunia yang diciptakan begitu bagus telah
menjadi busuk. Di samping itu terdapat suatu skema kedua di mana terjatuhnya
manusia digambarkan sebagai suatu drama yang mengikutsertakan beberapa tokoh
dan beberapa fase. Selain Adam memainkan peranan juga Hawa dan ular. Ular
mengingatkan kita pada naga-naga dan mitologi Babilonia, tetapi menurut mitos
Hibrani ular itu bukanlah dewa melainkan ciptaan: “Adapun ular ialah yang
paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh’ Tuhan Allah”
(Kej.3:l1). Ular menggodai Hawa, yang kiranya melambangkan kerapuhan dan
kelemahan manusia. Dan Hawa lalu menggodai Adam. Dalam peristiwa penggodaan ini
menjadi jelas bahwa dosa tidak berasal dan manusia saja. Pendosa telah digodai.
Kejahatan yang dilakukannya sudah ada sebelum ia jatuh. Kejahatan mendahului
manusia. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, seperti
halnya dengan simbol “noda”. Manusia tidak berbuat lain daripada melanjutkan
kejahatan yang sudah terdapat sebelumnya. Dosa tidak pernah merupakan sesuatu
yang baru, tetapi hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang
mendahului manusia—Dalam pandangan ini keselamatan tidak lagi bertepatan dengan
penciptaan, seperti halnva dalam mitos kosmis. Keselamatan menjadi eskatologis
(menyangkut akhir zaman). Keselamatan dinantikan dan seorang penebus—Adam yang
kedua—yang pada akhir zaman akan merampungkan penebusan yang sudah dimulai,
dengan menciptakan “bumi yang baru” dan menggenapkan sejarah umat manusia.
Masih terdapat mitos tipe lain yang
mempunyai kedudukan agak terisolasi tetapi pengaruhnya besar sekali dalam
kebudayaan Barat. Oleh Ricoeur mitos ini disebut “mitos tentang jiwa yang
diasingkan” atau juga “mitos Orfis”, karena berasal dan tradisi keagamaan
Yunani yang dikenal sehagai Orfisme.
Suatu
aliran keagamaan yang menjalankan pengaruh mendalam atas perkembangan filsafat
Yunani, khususnya dan Neoplatonisme. Mitos ini memecahkan manusia ke dalamjiwa
dan tubuh. Jiwa datang dari tempat lain dan mempunyai status ilahi tetapi
sekarang terkurung dalam tubuh. Jadi, manusia telah “jatuh” karena jiwanya
dikaitkan dengan tubuh dan dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan
semakin bertambah pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui
jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan bahwa tubuh itu hanya hawa nafsu dan
bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali lagi dapat mencapai” taraf ilahi.
Sebagai filsuf kita tidak boleh
membatasi diri pada suatu analisa tentang simbol—simbol dan mitos-mitos sang
mengungkapkan pengalaman manusia terhadap kejahatan. Fiisuf harus berusaha juga
untuk menggali dan memahami kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu.
Ricoeur berpendapat bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan (le pari; kata yang tentu saja
mengingatkan kita pada Pascal). Ia bertaruh bahwa suatu refleksi filosofis
mengenai kejahatan harus berpusatkan mitos tentang Adam. Dari situ semua mitos
lain akan dapat dimengerti dan sebagian dibenarkan sebagian dikritik.
Pilihannya berakar dalam kenyataan bahwa mitos Yahudi itu memberi tempat kepada
kebebasan dan tanggungjawab manusia. Namun demikian, mitos tentang Adam itu
menjelaskan kejahatan tidak semata-mata etis; manusia bukan saja bersalah
karena ia melakukan kejahatan dengan cara bebas, secara tak terelakkan ia juga
menjadi korban kejahatan karena ia menyerah kepada kejahatan yang sudah
merajalela. Yang terakhir itu adalah kebenaran dan mitos tragis, sebagaimana
juga mitos-mitos lain memuat unsur-unsur kebenaran. Bila kita membaca mitos-mitos
lain dalam perspektif mitos tentang Adam itu, tampaklah dimensi supra-etis dan
kejahatan dan serentak juga batas-batas suatu pandangan eksklusif etis tentang
kejahatan. Mitos Hibrani ini membutuhkan mitos-mitos yang lain, supaya
teologinya tidak menjadi suatu monoteisme etis yang terlalu simplistis (Allah
sebagai Legislator dan Hakim sepenuh-penuhnya berhadapan dengan suhyek etis
yang selalu dan seluruhnya bebas). Dengan demikian, Allah pada akhirnya tetap Deus Abscontlitus (Allah yang
tersemhunyi) dan manusia tidak saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu mysterium iniquitatis (misteri
kejahatan), karena hal-hal yang tidak heres di dunia ini tidak pernah merupakan
semata-mata hukuman saja.
2. Menuju Filsafat Bahasa
Jilid ketiga dari Filsafat Kehendak di mana abstraksi yang kedua, yaitu Transendensi,
akan diatasi, kemudian tidak terbit lagi. Sementara itu perhatian Ricoeur telah
ditarik ke masalah-masalah yang menyangkut bahasa. Tema ini juga sudah dijumpai
Ricoeur dalam filsafatnya tentang kehendak ketika Ãa berefleksi tentang
kejahatan. Ternyata masalah kejahatan tidak mungkin didekati melalui suatu
pembahasan langsung seperti telah dilaksanakan sebelumnya tentang tema-tema
“maksud”“motif”, dan lain-lain dalam bagian pertama. Karena itu metode fenomenologis
tidak mungkin diterapkan di situ dan Ricoeur terpaksa menempuh suatu jalan
putar dengan menggunakan metode hermeneutis mengenai simbol-simbol yang
mengungkapkan pengalaman tentang kejahatan dalam kebudayaan-kebudayaan besar
dulu: baik simbol-simbol primer (noda, dosa, dan kebersalahan) maupun
simbol-simbol sekunder (mitosmitos yang menceritakan tentang asal-usul serta
cara mengatasi kejahatan). Dengan mempraktekan hermeneutika Ricocur sendiri
berusaha bukan saja mencari makna tersembunyi dari simbol-sirnbol melainkan
juga memperluas perspektifnya belajar dari simbol-simbol memperkaya
pengetahuannya. Ia mempraktekan apa yang disebutnya a hermeneutics of recollection[2].
Tetapi di samping itu terdapat suatu hermeneutika yang “curiga” terhadap apa yang
tampak secara langsung dan berusaha mengasalkannya kepada sesuatu yang lain,
suatu hermeneutika yang “mereduksi”. Nah, justru itulah hermeneutika yang
dipraktekkan dalam psikoanalisa Freud terhadap masalah kebersalahan. Oleh Freud
kebersalahan sebagian diasalkan dari kelainan neurotis dan sebagian dan
pengaruh represif yang dijalan[3]kan oleh norma-norma
kultural dan sosial. Ini menjadi alasan bagi Ricoeur untuk mendalami
psikoanalisa. Dan tentu ada juga alasan bahwa simbol-simbol seperti gejala
neurotis, mimpi-mimpi, dan lain-lain) diberi tempat penting dalam penelitian
psikoanalitis. Mula-mula ia bermaksud mempelajari tema kebersalahan saja pada
Freud, tetapi lama-kelamaan menjadi jelas bahwa ia harus menyoroti teori
psikoanalitis sebagai keseluruhan. Antara lain karena dengan penemuannya
tentang ketidaksadaran psikoanalisa mempersoalkan secara amat radikal konsep
“subyektivitas” sebagaimana digunakan sepanjang sejarah filsafat Barat,
termasuk filsafat Ricoeur sendiri. Semua itu diselidiki dan
direnungkan Ricoeur dalam karyanya yang besar Perihal Interpretasi. Esai
tentang Freud.
Sementara
itu terjadilah perubahan besar dalam situasi filosofis di Prancis. Perhatian
untuk fenomenologi dan eksistensialisme telah tergeser dengan timbulnya
strukturalisme. Ricoeur, yang selalu peka terhadap aktualitas dalam pemikiran
filosofis, harus menentukan posisinya dalam debat sekitar strukturalisme itu.
Sebagaimana sudah kita ketahui, strukturalisme mengambil ilmu bahasa-—dan
khususnya fonologi—sebagai model untuk menjelaskan semua macam penggunaan tanda
dalam kehidupan manusia. Dan menurut pikiran mereka bahasa harus dimengerti
sebagai sistem, sebelum dapat dipandang sebagai proses kreatif. Sistem mi tidak disadari oleb Si pemakai bahasa, tetapi
menentukan dia pada taraf tak sadar. Pengikut-pengikut strukturalisme menarik
konsekuensi-konsekuensi radikal dan konsepsi ini, antara lain mereka menolak
prioritas subyek yang begitu ditekankan dalam eksistensialisme dan
fenomenologi. Mereka mengakibatkan juga kesulitan besar bagi hermeneutika,
sehab menurut mereka bahasa tidak menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya.
Bahasa merupakan suatu sistem tertutup di mana setiap unsur menunjuk ke semua
unsur lain; sia-sia saja kita mencari suatu makna yang menunjuk ke luar, yaitu
ke “dunia”, sebagaimana selalu diandaikan oleh hermeneutika. Bagi
strukturalisme, bahasa tidak menunjuk ke suatu dunia luar; bahasa membentuk
suatu dunia tersendiri. Juga hubungan dengan penutur atau pengarang yang
memaksudkan suatu makna dan dengan pendengar atau pembaca yang menafsirkan
makna itu ditolak oleh mereka sebagai subjektivisme yang tidak dapat diterima.
Timbulnya strukturalisme itu (bersama beberapa aspek-. Dari psikoanalisa yang
memperlihatkan tendensi yang sejenis) oleh Ricoeur dialami sebagai tantangan.
Di satu pihak ia berusaha belajar dari strukturalisme. Pendekatan struktural
dimasukannya ke dalam pendekatan hermeneutis. Ia mengakui sifat
“bahasawi” (the lingual charaq(er) dan simbol-simbol; simbol-simbol itu memang
tercantum suatu sistern bahasawi. Di lain pihak ia mencoba mengkritik
strukturalisrne sebagai suatu pandangan yang terlalu berat sebelah tentang
bahasa. Untuk melaksanakan kedua
usaha itu Ricoeur memusatkan penelitian hermeneutisnya pada teks. Di antara
unsur-unsur bahasa lainnya sebuah teks (jadi, suatu diskursus tertulis yang
menurut Ricoeur tidak dapat diasalkan begitu saja kepada diskursus lisan)
mempunyai ciri-ciri khusus. Sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri:
tidak bergantung pada maksud pengarang, pada situasi historis karya atau buku
dimana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Kalau hermeneutika
diterapkan pada teks, sfat heimcnieun;ka sendiri heruhah. Hermeneutika tidak
lagi mencari makna tersembun i di balik teks (seperti dilakukan Ricoeur dalam
hermeneutika tentang simbol-simbol dulu), tetapi mengarah perhatiannya kepada
makna obyektif sebuah teks, terlepas dan maksud subyektif pengarang atau orang
lain. Menginterpretasikan sebuah
teks bukannya mengadakan suatu relasi intersubyektif antara subyektivitas pengarang
dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus: diskursus
teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi selesai, bila “dunia
teks” dan “dunia interpretator” bercampur baur menjadi satu.
Dengan
mendekati teks-teks secara obyektif—terlepas dan relasi-relasi
intersubyektifnya, Riouer belajar banyak dari strukturalisme. Tetapi ia tidak
mau berhenti di situ. Bila suatu teks telah dilepaskan dari situasi
dialogal—situasi yang menandai diskursus lisan, tetapi kita tidak boleh memperlakukan
teks atau diskursus tertulis sebagai diskursus lisan; teks itu otonom—maka
masih mungkin dua sikap yang berbeda. Di satu pihak kita dapat menyingkirkan
setiap referensi teks kepada sesuatu yang lain; kita dapat memandang teks
sebagai sesuatu yang tertutup dalam dirinya dengan hanya memperhatikan
rela-relasi internnya. Itulah sikap yang diambil strukturalisme dan cara
memandang ini membuka perspektif-perspektif yang menarik. Namun demikian, masih
mungkin suatu sikap lain dan sebenarnya sikap kedua ini diandaikan oleh sikap
pertama, tetapi rupanya strukturalisme tidak mengakui atau sekurang-kurangnya
tidak mementingkan kenyataan itu. Teks juga berbicara tentang sesuatu. Tetapi
dengan itu teks tidak lagi merupakan suatu relasi tertutup, karena di sini tampak
referensi kepada suatu dunia, bukan sebagai sesuatu yang dicari di belakang
teks melainkan sebagai sesuatu yang berada di depan teks, kalau boleh dikatakan
demikian.
Penelitian
tentang hahasa itu dijalankan dengan menyakinkan dalam suatu karya besar yang
berjudul La métaphore vive (1975)
(Metafora Hidup). Buku ini merupakan studi mendalam tentang metafora dengan
mengikutsertakan hasil penelitian linguistik, retorika lama serta baru,
semiotika, dan filsafat bahasa. Sebenarnya lebih tepat bila dikatakan hahwa
buku mi terdiri atas delapan studi, yang masing-masing berdini sendiri dan bisa
dibaca sebagai suatu keseluruhan tersendiri. Metafora dipelajari pada tahap
kata, kalimat, dan diskursus. Buku mi sekarang sudah dianggap sebagai sebuah
studi kiasik tentang metafora dan diterjermahkan dalam beberapa bahasa asing,
antara lain bahasa Jepang. Pentingnya tidak terbatas pada filsafat tetapi
menyangkut juga linguistik dan ilmu sastra.
Trilogi
buku yang dianggap oleh Ricoeur sendiri sebagai karya kembar dengan Metafora Hidup berjudul Temps et récit (Waktu dan Cerita). Karya
yang terdiri atas tiga jilid ini mempelajari bahasa dan sudut pandang narasi
atau cerita. Dan memang ada hubungan erat antara metafora dan cerita. Kita bisa
menyebut seorang pemain sepak bola “singa di lapangan hijau” (==metafora) atau
kita bisa menceritakan bagaimana penampilannya dalam pertandingan sepak bola,
hingga mengingatkan kita akan kejayaan seekor singa. Metafora sebetulnya
merupakan semacam cerita singkat. Baik metafora maupun cerita menyampaikan
makna pada kita, tetapi makna itu tidak mempunyai isi semantis sendiri,
melainkan menunjukkan sesuatu yang lain. Kita
menyebutnya “kiasan”. Cara penyampaian makna dalam cerita tidak selalu sama.
Ada cara bercerita yang mengklaim kebenaran dan ketepatan (seperti dalam ilmu
sejarah, biografi, dan otobiografi) dan ada cara hercenita yang kita sehut
fiksi (novel, cerita pendek, dan sehagainya.). Tesis Ricoeur adalab bahwa
faktor yang mempersatukan semua bentuk dan jenis naratif ialah waktu. Ciri khas
yang menandai semua macam cerita adalah sifat temporalnya. Kata Ricoeur “Semuanya yang diceritakan berlangsung dalam
waktu, memakan waktu, berjalan secara temporal; dan apa saja Yang mengenal
perkembangan dalam waktu, bisa diceritakan. Barang kali dapat dikatakan bahwa
tiap-tiap proses temporal baru dikenal sebagai temporal, sejauh dengan salah
satu cara bisa diceritakan”. Dengan
demikian timbul hubungan erat antara waktu dan cerita, yang menjadi tema pokok
untuk penelitian Ricoeur ini.
Seperti sudah dikatakan tadi, karya besar ini terdiri
atas tiga jilid. Buku pertama berjudul Temps
et récit I (1983) dan tidak diberi anak judul. Baru dalam edisi 1991
ditambahkan anak judul: L’intrigue et le
récit historique (Plot dan Cerita Sejarah). Dalam bagian pertama dibahas
hubungan timbal balik antara narativitas (suasana khas cerita) dan
temporalitas. Untuk itu dianalisa dulu uraian termashyur Augustinus tentang
waktu yang diberikan dalam bukunya Confessiones.
Kemudian
dipelajari dengan sangat teliti pandangan Aristoteles tentang mythos (menurut interpretasinya mirip
dengan pengertian modern “plot”) dan mimesis (tiruan) dalam bukunya Poetica. Dalam bagian kedua disoroti
narativitas yang menandai ilmu sejarah. Buku kedua berjudul Temps et récit II. La configuration dans le
récit defiction (1984) (Waktu dan Cerita II. Konfigurasi dalam Cerita Fiksi) menyoroti narativitas
dalam fiksi, artinya dalam kesusastraan. Secara konkret Ricoeur
mengilustrasikan analisanya dengan menunjuk kepada novel dan pengarang seperti
Thomas Mann, Marcel Proust, dan Virginia WooIf di mana faktor waktu memegang
peranan penting. Dalam arti tertentu para sastrawan menguasai waktu, karena
dalam karya sastranya mereka sendiri membentuk waktu. Buku kedua mi bisa
dilihat sebagai suatu uraian tersendiri dan dapat dibaca terlepas dan buku
pertama. Buku ketiga diberi judul Temps
et. récit III Le temps raconté (1985) (Waktu yang Cerita 111: Waktu yang
Diceritakan). Pertanyaan yang terutama dibahas di sini adalah: bagaimana
pengalaman waktu sehari-hari dimodifikasi melalui pengaruh cerita. Hal itu
dibeberkan pada tahap cerita historis maupun fiktif. Dalam mencari jawaban Ricoeur berdialog
dengan hampir seluruh sejarah filsafat dan ilmu-ilmu bahasa. Khususnya ia membuka
diskusi dengan tiga mitra dialog: fenomenologi, historiografi, dan kritik
sastra.
Isi kedua karya monumental
terakhir tadi sebagian besar pernah dibawakan sebagai ceramah di salah satu
universitas di Eropa atau Amerika, sebelum diterbitkan dalam bentuk buku. Pada
tahun 1986 Paul Ricoeur mendapat kehormatan untuk membawakan The Gifford Lectures yang sangat
prestisius di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dengan judul On self. hood: the question of personal
identity. Menurut tradisi yang sudah lama, Gifford Lectures ini menyediakan kesempatan kepada seorang sarjana
besar untuk mengadakan sintesa seluruh pemikirannya. Setelah ditambah dengan
ceramah-ceramah lain yang diberikan di Universitas München, Jerman, Universitas
Roma, Italia dan tempat lain, ceramah-ceramah di Edinburgh itu menghasilkan
karya besar lain lagi berjudul Soiméine
comme un autre (1990) (Dirinya Seperti Orang Lain). Buku yang terdiri atas
sepuluh studi besar ini dinilai sebagai suatu puncak terakhir dalam karier
Ricoeur di bidang filsafat. Yang
disajikan di sini adalah suatu penelitian tentang jati atau identitas pribadi
manusia. Kita bisa mengatakan juga bahwa dalam buku ini Ricoeur mengusahakan
suatu hermeneutika tentang “kedirian” (selfhood) manusia. Untuk itu Ricoeur
memanfaatkan seluruh pengetahuannya yang ensiklopedik tentang sejarah filsafat,
ditambah dengan kepiawaiannya dalam berbagai cabang ilmu bahasa. Hermeneutika
tentang kedirian ini dijalankan dengan menyelidiki empat pertanyaan: Siapa yang
berbicara? Siapa yang bertindak? Siapa yang menceritakan sesuatu? Siapa merupakan
subyek moral dan tanggung jawab? Semuanya ini bukannya pertanyaan abstrak,
melainkan cara konkret manusia menanyakan tentang dirinya sendiri, sehingga
pertanyaan-pertanyaan ini bisa dilihat sebagai sebagian dan cerita yang
dikisahkan manusia kepada dirinya sendiri dan orang lain. Identitas manusia
dilukiskan Ricoeur antara lain dalam perspektif narativitas. Buku ini memuat
juga apa yang Ricoeur sendiri sebut “etika kecil”-nya. Studi yang ketujuh,
kedelapan dan kesembilan berturut-turut membahas “kedirian dan sudut pandang
etis”, “kedirian dan norma moral”, dan “kedirian dan kebijaksanaan praktis”.
[1]
Deskripsi murni dalam arti fenomenologis yaitu deskripsi dari sudut pandang
subyek bagi siapa sesuatu ampak, dengan menaruh dalam kurung semua faktor yang
lain.
[2]
Ricoeur sendiri melukiskan perkembangannya sesudah buku-buku dan tahun 1960
dalam From existentialism to the philosophy of language, Phylosophy today 17,
1973, hal 88-89 dan hermeneutics and the
humman science (edited and translated by Jhon B. Thomson), Cambridge 1981,
a response by Paul Ricoeur hal 32-40
[3]
Hermeneitucs and the human science, hal 34 (suatu hermeneutika yang bermenung
0 comments:
Post a Comment