Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Saturday, February 16, 2013

PEMIKIRAN FILOSOFIS PAUL RICOEUR


PEMIKIRAN FILOSOFIS PAUL RICOEUR

Filsafat Kehendak
          Konon sebagai mahasiswa muda dan sebelum berkenalan dengan pemikiran Husserl, Ricoeur sudah mempunyai cita-cita akan menjadi orang pertama di tanah air Descartes dan tempat lahir intelektualisme, yang menciptakan suatu filsafat kehendak. Di atas sudah kita lihat bahwa jilid pertama diajukan sebagai tesis untuk memperoleh doktorat negara. Menurut rencana Ricoeur, seluruh proyek akan meliputi tiga jilid: jilid pertama terbit tahun 1950, jilid kedua (dalam dua bagian) terbit tepat sepuluh tahun kemudian dan jilid ketiga tidak terbit lagi, meskipun ada beberapa artikel yang dapat dianggap sebagai studi persiapan.
          Jilid pertarna dari Filsafat kehendak diberi judul khusus Yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dalam jilid ini Ricoeur ingin menyajikan suatu deskripsi murni tentang kehendak dan aktus-aktusnya[1]. Konkret itu berarti suatu usaha untuk melukiskan struktur-struktur fundamental dari apa yang dikehendaki manusia dan unsur-unsur dalam eksisensinya yang tidak bergantung pada kehendaknya, sebab kehendak selalu beraksi dalam suatu Iingkungan yang tidak dikehendaki. Manusia selalu terbentur pada oposisi antara kebebasan dan keniscayaan; selalu ada hubungan timbal balik antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dan yang tidak dikehendaki itu harus dimengerti dengan bertitik tolak dan subyek, sebab unsur yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai “saya berkehendak” (volo, sejajar dengan cogito Descartes). Untuk melaksanakan proyek ini Ricocur menggunakan metode fenomenologi Husserl. Atau lebih tepat lagi dapat dikatakan, ia menggunakan bagian metode Husserl yang mencari eidos atau hakikat sesuatu. Ia ingin memberikan suatu “eidetika” tentang kehendak, Suatu pelukisan tentang eidos kehendak. Untuk itu perlu diadakan dua abstraksi, yang kiranya mengingatkan kita pada “reduksi” dalam filsafat Husserl, namun tidak boleh disamakan begitu saja dengan berfungsinya reduksi dalam pikiran pendiri fenomenologi itu. Karena ia ingin memberikan suatu deskripsi murni tentang kehendak lebih dahulu harus ditempatkan dalam tanda kurung masalah kesalahan etis (faute) yang bersifat absurd dan masalah Transendensi yang penuh misteri. Supaya dapat melukiskan kehendak menurut struktur-struktur yang dapat dimengerti, untuk sementara kita harus mengurung kesalahan etis yang irasional dan Transendensi Ilahi yang metarasional. Dalam hal ini ia mengkritik di satu pihak Kierkegaard, Jaspers, dan Heidegger yang “mengontologisasikan”kebersalahan (culpabilite; Inggris: culpability) manusia, artinya dan di lain pihak filsuf-filsuf seperti Blondel yang terlalu cepat beralih dari perbuatan (action) ke Transendensi.
          Dalam perwujudan konkret kehendak Ricoeur membedakan tiga tahap: memutuskan (decider), melakukan (agir) dan menyetujui (cousentir). Tiga wilayah penelitian ini merupakan tiga bagian besar buku Ricoeur. “Memutuskan” meliputi proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Di sini tentu “deskripsi murni” menurut metode fenomenologi dapat dilaksanakan. Tetapi jika beralih ke faktor-faktor yang tidak dikehendaki yang berkaitan dengan bidang ini seperti kebutuhan-kebutuhan, kesenangan dan ketidaksenangan, metode fenomenologis sudah tidak memadai karena metode itu membatasi diri pada ”kesadaran murni”, sedangkan faktor-faktor tersebut menyangkut pengalaman tubuh dan sejarah pribadi seseorang. Karena itu di sini ia harus memperluas metodenya dengan suatu “partisipasi eksistensial” di mana ia mengambil pikiran
Gabriel Marcel (dan analisanya tentang “tubuhku”) sebagai sumber inspirasi.
          Tahap “melakukan” dalam bentuk yang paling fundamental adalah “saya menggerakkan tubuh saya”. Suatu “deskripsi murni” dapat menjelaskan apa yang oleh Ricoeur disebut “pragma” atau “apa yang dilakukan”. Tetapi karena tubuh sebagai alat perbuatan di sini timbul kesulitan-kesulitan besar sebab melalui tubuhnya subyek terlibat dalam dunia material. Dapat diperkirakan bahwa Ricoeur dalam konteks ini dengan tegas menolak setiap konsepsi yang memandang manusia sebagai keduaan yang terdiri atas tubuh dan jiwa tanpa menghiraukan kesatuannya. Lagi pula, pada tahap ini kehendak tercampur dengan banyak aspek yang tidak dikehendaki; seperti insting, emosi dan kebiasaan-kebiasaan. Fenomena “percobaan” (effort) menurut Ricoeur di sini sebagian dapat menjembatani kesenjangan antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.
          Tahap terakhir meliputi aktus “menyetujui” yang oleh Ricoeur dimengerti sebagai “menerima”, “membuat menjadi miliknya sendiri”. “Menyetujui” itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki yang dapat disebut keniscayaan. Bukan keniscayaan yang dalam ilmu pengetahuan (seperti hukum-hukum alam yang tak terelakkan) melainkan necessité vécue, kata Ricoeur, keniscayaan yang dihayati; artinya bukan keniscayaan yang berhadapan dengan manusia secara obyektif, melainkan keniscayaan yang melekat pada subyektivitasnya. Keniscayaan yang dihayati ini mencakup watak, ketidaksadaran dan apa yang dengan suatu istilah umum dapat disebut “kehidupan” (misalnya fase-fase pertumbuhan kelahiran --SaIah satu tema original dalam pernikiran Ricoeur—dan usia).
          Seluruh analisa ini berakhir dengan suatu evaluasi filosofis  terhadap kebebasan. Ricoeur menganggap kebebasan sebagai percampuran antara ketergantungan dan ketaktergantungan dan sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang dikehendaki dan unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan absolut. “Suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi”, kata Ricoeur. Biarpun nama Sartre tidak disebut eksplisit, dapat saja diandaikan bahwa Ricoeur dengan itu menolak pandangan ekstrem tentang kebebasan dan tokoh eksistensialisme yang begitu ramai dibicarakan dalam kalangan filosofis Prancis pada waktu itu.
          Jilid kedua Filsafat Kehendak mempunyai judul umum Keberhinggaan dan kebersalahan. Di sini Ricoeur menghapus abstraksi pertama yang dilakukan dalam jilidnya yang pertama, yaitu kesalahan etis dan kebersalahan. Seperti sudah kita lihat, jilid kedua ini terdiri atas dua buku tersendiri. Anak judul untuk bagian pertama adalah Manusia yang Dapat Salah. Bahwa manusia bisa salah merupakan suatu prasayarat bagi terjadinya kejahatan. Bagaimana falibilitas (fallibility) itu mungkin? Di sini Ricoeur mengaitkan metode fenomenologi dengan metode transendental Kant. Sesudah suatu penelitian panjang dan teliti, Ricoeur sampai pada kesimpulan bahwa dasar untuk falibilitas itu terletak dalam usaha manusia untuk memperdamaikan keberhinggaan dan ketakherhinggaan; usaha yang tak pernah herhasil. Usaha itu dipraktekkan manusia di bidang pengenalan, perbuatan, dan teruama perasaan. Di semua bidang itu ia terbentur pada adanya disproporsi antara keberhinggaan dan ketakherhinggaan yang tidak mungkin diatasi. Kerapuhan manusia, biang keladi kemungkinan untuk dapat salah, terletak dalam non-coincidence of man with himself suatu disproporsi yang membelah eksistensi manusla sendiri. Di bidang pengenalan disproporsi itu tampak dalam ketegangan antara watak manusia (perspektif terbatas bagi seluruh kesanggupannya) dan kebahagiaan horizon tak terbatas yang meliputi semua nilai. Teristimewa disproporsi dalam eksistensi manusia itu tampak dalam hati sanubari manusia yang tak pernah puas, selalu gelisah, selalu mencari obyek yang lebih baik dan lebih memuaskan. Terutama dalam hati manusia itu, kita menyaksikan terjadinya konflik antara kutub berhingga dan kutub tak berhingga. Terutama hati yang tak stabil itu dikemukan Ricoeur sebagai the weak point, dimana yang jahat memasuki manusia.
          Tetapi dengan menjelaskan kemungkinan terjadinya kejahatan belum disinggung kejahatan sendiri sebagai fakta. Dalam bagian kedua dan Keberhinggaan dan Kebersalahan yang berjudul simbol-simbol tentang kejahatan Ricoeur mempelajari  kejahatan konkret dalam eksistensi manusia. Untuk dapat menyelidiki kejahatan sebagai kenyataan Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori tentang kejahatan, ia ingin memperlihatkan bagaimana manusia—dan konkret itu berarti manusia beragama—mengalami kejahatan atau— lebih tepat lagi—bagaimana manusia itu “mengakui” kejahatan. Bahasa yang dipakai manusia untuk mengakui pengalamannya tentang kejahatan bersifat simbolis. Maka dari itu langkah pertama dalam refleksi Ricoeur tentang kejahatan ini ialah mempelajari tiga simbol pokok yang dipakai manusia untuk mengungkapkan pengalamannya itu: noda, dosa, dan kebersalahan (guilt).
          Yang menandai simbol pertama—noda--—-adalah bahwa di situ kejahatan dihayati sebagai sesuatu “pada dirinya” (in itself). Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang merugikan yang datang dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia. Kejahatan di sini masih merupakan suatu kejadian obyektif; misalnya, orang yang dengan tidak sengaja menjadi najis, terkena juga. Berbuat jahat berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan seperti apa adanya dan karena itu—kalau pernah dikacaukan—perlu dipulihkan kembali. Orang yang dinajiskan masih mengalami kejahatan setengah fisis dan setengah etis. Sifat obyektif dan serentak subyektif itu tampak dalam ritus pentahiran (mencuci tubuh atau bagian tubuh) yang tidak pernah dihayati sebagai pencucian yang semata-mata material. Mungkin karena alasan itu noda sebagai dimensi simbolis tidak pernah akan hilang seluruhnya dan penghayatan mengenai kejahatan, biarpun bagi orang modern dimensi ini kurang penting dibandingkan dengan manusia dan masyarakat tradisional (yang tampak misalnya dalam penghayatan orang modern terhadap seksualitas).
          Menurut simbol kedua—dosa-—manusia melakukan kejahatan “di hadapan Tuhan”. Simbol mi untuk pertama kali tampil ke muka dalam kesadaran religius bangsa Israel pada zaman nabi-nabi. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata susunan yang magis dan anonim, melainkan ketidaktaatan terhadap Allah yang telah mengadakan suatu Perjanjian dengan bangsa-Nya. Dosa merupakan ketidaksetiaan bangsa Israel terhadap Allah yang setia. Dan reaksi terhadap dosa bukanlah suatu balasan buta dan suatu tata susunan anonim, melainkan murka Allah. Tetapi di sini juga tata susunan Perjanjian dapat dan harus dipulihkan. Melalui pengasingan di tempat jauh dan hukuman-hukuman lainnya Israel dibebaskan dari dosanya.
          Simbol “dosa” itu diungkapkan dalam banyak simbol lain lagi. Pertama-tama terdapat suatu kelompok simbol-simbol yang menggarisbawahi sifat negatit dan dosa sebagai terputusnya huhungan dialogal dengan Allah. Dosa adalah “menempuh jalan sesatan”,”pemberontakan” terhadap kekuasaan Allah atau “zinah” (Nabi Hosea). Mengganti kemuliaan Allah dengan berhala adalah “udara”, “kesia-siaan”,”asap”, dan”dusta”. Pendeknya, dosa adalah, “ketiadaan”. Memilih antara baik dan jahat tidak sama dengan memilih antara dua kenyataan; pilihan itu antara Allah dan ketiadaan. Sekelompok simbol-simbol lain melukiskan dosa sebagai sesuatu yang lebih positif sifatnya, sebagai sesuatu yang real di luar manusia. Dosa misalnya dilambangkan sebagai “perbudakan”, “pengasingan”, “hati yang membatu”: pendeknya, suatu kuasa dari luar yang menimpa manusia. Di sini simbolisme lebih dekat dengan kenajisan dan noda. Sifat positif dosa itu antara lain tampak dari kenyataan bahwa dosa diampuni atau dihapus, malah dosa-dosa yang sudab dilupakan atau tidak disadari. Tetapi juga dalam konteks ini realitas dosa (termasuk besar kecilnya tidak ditentukan oleh pandangan Allah yang mengetahui segala sesuatu.
          Simbol ketiga adalah kebersalahan (guilt). Cara penghayatan tentang kejahatan ini berkembang di Israel sesudah pengasingan di Babilonia selesai. Pada waktu itu kejahatan ditemukan sebagai kebersalahan pribadi. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan kebersalahan ini adalah terutama “beban” dan “kesusahan” yang menekan dan memberatkan hati nurani saya. Dan dosa yang menyangkut bangsa seluruhnya, kebersalahan menjadi sesuatu yang menyangkut saya pribadi. Dari sesuatu yang terdapat di luar saya, kebersalahan telah menjadi sesuatu di dalam diri saya. Telah berlangsung suatu proses internalisasi dan personalisasi dalam cara manusia menghayati kejahatan. Kejahatan merupakan perbuatan saya yang bebas; bukan lagi suatu kuasa dari luar yang menyergap saya. Saya bersalah, karena saya bertanggung jawab. Dalam konteks kebersalahan, berbuat jahat dihayati sebagai suatu pengkhianatan terhadap hakikat saya yang sehenarnya, bukan —seperti dosa—sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Kesempurnaan manusia tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan perintah-perintah Tuhan secara seksama (aliran Farisi). Tetapi dengan melanggar peraturan-peraturan dan perintah-perintah itu saya tidak bersalah terhadap Tuhan, melainkan terhadap diri saya sendiri. Orang yang bersalah menjadi terisolasi: ia sendiri adalah hakim dan terdakwa sekaligus. Ia terkurung dalam dirinya. Nah, seluruh situasi ini menghadapi suatu jalan buntu. Justru pemenuhan peraturan-peraturan (Hukum Taurat) dan pelaksanaan kesempurnaan yang saya sendiri wujudkan adalah dosa, karena saya sebagai “orang saleh” meninggikan diri terhadap Allah yang hanya dapat memberikan kesempurnaan sebagai anugerah (Rasul Paulus, khususnya dalam surat kepada umat di Roma). Pembebasan hanya mungkin, kalau ketertutupan manusia dibuka dan ia dibenarkan oleh kebaikan Tuhan dengan tidak memperhitungkan kebersalahannya.
          Setelah menguraikan simbol-simbol dasar yang mengungkapkan penghayatan manusia terhadap kejahatan, dalam langkah kedua Ricoeur mempelajari mitos-mitos yang menceritakan dari mana asalnya kejahatan (dalam arti segala hal yang kurang beres di dunia ini: dosa, kematian, kesusahan) dan bagaimana kesudahannya atau bagaimana kejahatan itu dapat diatasi. Mitos-mitos boleh disebut “simbol-simbol sekunder”, karena membeberkan dalam bentuk cerita simbol-simbol dasar yang dipelajari tadi, yang merupakan simbol-simbol primer. Mitos-mitos tentang kejahatan menurut Ricoeur mempunyai tiga fungsi. Pertama, mitos-mitos itu menyediakan suatu universalitas konkret bagi pengalaman manusia tentang kejahatan. Pahlawan, leluhur atau manusia pertama dan mitos merupakan ‘model” bagi umat manusia seluruhnya. Kedua, dengan cerita tentang awal mula dan kesudahan kejahatan itu mitos membawa suatu orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia: pengalaman manusia dikaitkan dengan suatu “sejarah” yang menyangkut kebinasaan dan keselamatan. Ketiga, yang paling penting ialah bahwa dalam bentuk cerita mitos menjelaskan peralihan dan keadaan manusia tak herdosa yang sah ke keadaannyasekarang yang penuh noda, dosa, dan kebersalahan. Mitos mempunyai suatu aspek ontologis: memandang hubungan antara keadaan manusia yang sah dengan keadaan historisnya sekarang yang ditandai alienasi. Tetapi, dan semula perlu disadari bahwa mitos tidak sama dengan alegori. Simbol-simbol yang digunakan dalam mitos tidak mungkin diterjemahkan dengan konsep-konsep; bahasa mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan hahasa rasional.
          Orang yang ingin mempelajari mitos-mitos tentang kejahatan harus mulai dengan mengadakan suatu klasifikasi. Ia harus berusaha membedakan beberapa tipe mitos. Ricoeur membedakan empat macam mitos yang menyangkut awal mula dan kesudahan kejahatan: mitos kosmis, mitos tragis, mitos tentang Adam, dan Mitos Orfis.
          Mitos Babilonia yang bernama Enuma Elish dapat dianggap sebagai salah satu contoh khas tentang mitos kosmis. Dalam mitos itu kejahatan disamakan dengan “khaos” (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula. Dan sebaliknya, keselamatan atau pembebasan dan kejahatan disamakan dengan penciptaan dunia. Dunia diciptakan dengan kemenangan dewa Marduk atas naga laut Tiamat. Jadi, dunia diciptakan sebagai akibat suatu perkelahian antara dewa-dewa, di mana Tiamat melambangkan keadaan kacau balau. Dengan kemenangan Marduk, “khaos” diatasi dan segera lahirlah “kosmos” (dunia yang teratur, yang dibentuk dan bagian-bagian mayat Tiamat. Manusia diciptakan sebagai akibat suatu perkelahian lain lagi, ketika dewa Ea—atas nasihat Marduk-—membentuk manusia dan darah seorang dewa lain yang telah dikalahkannya. Dengan demikian penciptaan manusia adalah kemenangan definitif atas khaos dan serentak juga saat definitif didirikannya dunia yang teratur. Dalam pandangan mitis ini penciptaan dan keselamatan dianggap identik. Bisa terjadi, kadangkala khaos dan awal mula itu tampil ke muka lagi; kalau begitu, dengan ritus-ritus kemenangan Marduk yang pertama sekali lagi harus diulangi.
          Mitos tragis menurut bentuknya yang paling jelas dijumpai dalam tragedi-tragedi Yunani, khususnya tragedi-tragedi yang ditulis Aiskhylos. Menurut pandangan tragis tentang manusia, dewa merupakan asal-usul kejahatan; dewa yang tidak ber— wujud persona, yang disebut Moira (suratan nasib, takdir), theos (tanpa kata sandang: ketuhanan), kakos daimôn (roh jahat). Dewa mengakibatkan pahlawan (artinya manusia) menjadi bersalah dan terkutuk karena bersalah. Kejahatan adalah “takdir” yang menimpa seseorang karena ketidaktahuan atau kebutaan. Orang yang melakukan kejahatan lebih mirip dengan korban daripada dengan penjahat. Oidipus tidak mengetahui dan tidak menghendaki apa yang telah dilakukannya, ketika ia membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Kenajisan yang menimpa dirinya karena perbuatan itu tak lain tak bukan adalah kutuk yang telah ditakdirkan menjadi nasibnya. Tragik memuncak lagi bila sang pahlawan menentang nasib yang telah ditakdirkan dan diramalkan tentang dia. Justru dengan menentang dan berusaha melarikan diri, ia mewujudkan nasib yang menimpa dirinya dengan tidak mengenal ampun. Drama tragedi yang menggambarkan kehidupan manusla itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani yang terancam dan terkutuk, tetapi juga eleos (kasihan) dengan eksistensi manusia yang karena takdir ilahi itu jahat dan penuh kesusahan. Dalam tragedi Yunani perasaan2 dibahasakan dan dinyanyikan oleh paduan suara yang bertindak sebagai penonton maupun komentator. Tetapi di sini juga terbuka kemungkinan untuk semacam keselamatan, bukan dalam arti ia dibebaskan dan penderitaan melainkan dalam arti ia diperdamaikan dengan nasibnya. Dengan menyaksikan petualangan2 sang pahlawan di pentas dan turut menghayati apa yang dinyanyikan oleh paduan suara, si penontonmencapai katharsis, pembersihan hati, karena ia mengerti bahwa manusia harus menyerah kepada takdir yang tak terhindarkan. Pathei mathos —kata Askhylos_manU5ia rus menderita untuk dapat mengerti. Kehehasan di sini sama dengan menerima apa yang mutlak hanus terjadi.
          Dalam mitos tentang Adam yang diceritakan dalam Kitab Kejadian kitab pertama dan Kitab Suci Yahudi, manusia sendirilah ditunjukkan sebagai asal-usul kejahatan. Semua hal yang tidak beres masuk dunia karena manusia (Adam berarti “manusia”). Di sini kita menjumpai suatu mitos antropologis tentang kejahatan. Cerita tentang Adam itu mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenal asal mula kejahatan yang sudah kita pelajari dalam simbol dosa. Karena monoteismenya yang mempunyai pandangan etis yang luhur, Israel menolak setiap mitos yang mengasalkan kejahatan dan Allah. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia; kejahatan disebabkan karena manusia tidak setia, karena Ia “jatuh”. Penciptaan Tuhan itu sendiri baik dan sempurna, hanya manusia bertanggung jawab atas segala ketidakberesan dalam dunia.
          Menurut Ricoeur, mitos Hibrani ini mempunyai dua segi dan akibatnya dapat dibaca dengan dua cara. Menurut suatu skema pertama peralihan dan keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung karena satu orang, satu perbuatan dan pada satu saat. Satu orang, yaitu Adam, mewakili seluruh umat manusia; bersama dengan diri Adam setiap manusia jatuh dalam dosa. Kejadian itu berlangsung dengan satu perbuatan, yaitu memakan buah yang terlarang dan dengan demikian pada satu saat keadaan tak berdosa berubah menjadi keadaan terkutuk. Dengan mendadak terjadilah keretakan dalam ciptaan Tuhan yang selaras dan sempurna itu; dunia yang diciptakan begitu bagus telah menjadi busuk. Di samping itu terdapat suatu skema kedua di mana terjatuhnya manusia digambarkan sebagai suatu drama yang mengikutsertakan beberapa tokoh dan beberapa fase. Selain Adam memainkan peranan juga Hawa dan ular. Ular mengingatkan kita pada naga-naga dan mitologi Babilonia, tetapi menurut mitos Hibrani ular itu bukanlah dewa melainkan ciptaan: “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh’ Tuhan Allah” (Kej.3:l1). Ular menggodai Hawa, yang kiranya melambangkan kerapuhan dan kelemahan manusia. Dan Hawa lalu menggodai Adam. Dalam peristiwa penggodaan ini menjadi jelas bahwa dosa tidak berasal dan manusia saja. Pendosa telah digodai. Kejahatan yang dilakukannya sudah ada sebelum ia jatuh. Kejahatan mendahului manusia. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, seperti halnya dengan simbol “noda”. Manusia tidak berbuat lain daripada melanjutkan kejahatan yang sudah terdapat sebelumnya. Dosa tidak pernah merupakan sesuatu yang baru, tetapi hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang mendahului manusia—Dalam pandangan ini keselamatan tidak lagi bertepatan dengan penciptaan, seperti halnva dalam mitos kosmis. Keselamatan menjadi eskatologis (menyangkut akhir zaman). Keselamatan dinantikan dan seorang penebus—Adam yang kedua—yang pada akhir zaman akan merampungkan penebusan yang sudah dimulai, dengan menciptakan “bumi yang baru” dan menggenapkan sejarah umat manusia.
          Masih terdapat mitos tipe lain yang mempunyai kedudukan agak terisolasi tetapi pengaruhnya besar sekali dalam kebudayaan Barat. Oleh Ricoeur mitos ini disebut “mitos tentang jiwa yang diasingkan” atau juga “mitos Orfis”, karena berasal dan tradisi keagamaan Yunani yang dikenal sehagai Orfisme.
Suatu aliran keagamaan yang menjalankan pengaruh mendalam atas perkembangan filsafat Yunani, khususnya dan Neoplatonisme. Mitos ini memecahkan manusia ke dalamjiwa dan tubuh. Jiwa datang dari tempat lain dan mempunyai status ilahi tetapi sekarang terkurung dalam tubuh. Jadi, manusia telah “jatuh” karena jiwanya dikaitkan dengan tubuh dan dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan bahwa tubuh itu hanya hawa nafsu dan bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali lagi dapat mencapai” taraf ilahi.
          Sebagai filsuf kita tidak boleh membatasi diri pada suatu analisa tentang simbol—simbol dan mitos-mitos sang mengungkapkan pengalaman manusia terhadap kejahatan. Fiisuf harus berusaha juga untuk menggali dan memahami kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu. Ricoeur berpendapat bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan (le pari; kata yang tentu saja mengingatkan kita pada Pascal). Ia bertaruh bahwa suatu refleksi filosofis mengenai kejahatan harus berpusatkan mitos tentang Adam. Dari situ semua mitos lain akan dapat dimengerti dan sebagian dibenarkan sebagian dikritik. Pilihannya berakar dalam kenyataan bahwa mitos Yahudi itu memberi tempat kepada kebebasan dan tanggungjawab manusia. Namun demikian, mitos tentang Adam itu menjelaskan kejahatan tidak semata-mata etis; manusia bukan saja bersalah karena ia melakukan kejahatan dengan cara bebas, secara tak terelakkan ia juga menjadi korban kejahatan karena ia menyerah kepada kejahatan yang sudah merajalela. Yang terakhir itu adalah kebenaran dan mitos tragis, sebagaimana juga mitos-mitos lain memuat unsur-unsur kebenaran. Bila kita membaca mitos-mitos lain dalam perspektif mitos tentang Adam itu, tampaklah dimensi supra-etis dan kejahatan dan serentak juga batas-batas suatu pandangan eksklusif etis tentang kejahatan. Mitos Hibrani ini membutuhkan mitos-mitos yang lain, supaya teologinya tidak menjadi suatu monoteisme etis yang terlalu simplistis (Allah sebagai Legislator dan Hakim sepenuh-penuhnya berhadapan dengan suhyek etis yang selalu dan seluruhnya bebas). Dengan demikian, Allah pada akhirnya tetap Deus Abscontlitus (Allah yang tersemhunyi) dan manusia tidak saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu mysterium iniquitatis (misteri kejahatan), karena hal-hal yang tidak heres di dunia ini tidak pernah merupakan semata-mata hukuman saja.
2. Menuju Filsafat Bahasa
          Jilid ketiga dari Filsafat Kehendak di mana abstraksi yang kedua, yaitu Transendensi, akan diatasi, kemudian tidak terbit lagi. Sementara itu perhatian Ricoeur telah ditarik ke masalah-masalah yang menyangkut bahasa. Tema ini juga sudah dijumpai Ricoeur dalam filsafatnya tentang kehendak ketika ía berefleksi tentang kejahatan. Ternyata masalah kejahatan tidak mungkin didekati melalui suatu pembahasan langsung seperti telah dilaksanakan sebelumnya tentang tema-tema “maksud”“motif”, dan lain-lain dalam bagian pertama. Karena itu metode fenomenologis tidak mungkin diterapkan di situ dan Ricoeur terpaksa menempuh suatu jalan putar dengan menggunakan metode hermeneutis mengenai simbol-simbol yang mengungkapkan pengalaman tentang kejahatan dalam kebudayaan-kebudayaan besar dulu: baik simbol-simbol primer (noda, dosa, dan kebersalahan) maupun simbol-simbol sekunder (mitosmitos yang menceritakan tentang asal-usul serta cara mengatasi kejahatan). Dengan mempraktekan hermeneutika Ricocur sendiri berusaha bukan saja mencari makna tersembunyi dari simbol-sirnbol melainkan juga memperluas perspektifnya belajar dari simbol-simbol memperkaya pengetahuannya. Ia mempraktekan apa yang disebutnya a hermeneutics of recollection[2]. Tetapi di samping itu terdapat suatu hermeneutika yang “curiga” terhadap apa yang tampak secara langsung dan berusaha mengasalkannya kepada sesuatu yang lain, suatu hermeneutika yang “mereduksi”. Nah, justru itulah hermeneutika yang dipraktekkan dalam psikoanalisa Freud terhadap masalah kebersalahan. Oleh Freud kebersalahan sebagian diasalkan dari kelainan neurotis dan sebagian dan pengaruh represif yang dijalan[3]kan oleh norma-norma kultural dan sosial. Ini menjadi alasan bagi Ricoeur untuk mendalami psikoanalisa. Dan tentu ada juga alasan bahwa simbol-simbol seperti gejala neurotis, mimpi-mimpi, dan lain-lain) diberi tempat penting dalam penelitian psikoanalitis. Mula-mula ia bermaksud mempelajari tema kebersalahan saja pada Freud, tetapi lama-kelamaan menjadi jelas bahwa ia harus menyoroti teori psikoanalitis sebagai keseluruhan. Antara lain karena dengan penemuannya tentang ketidaksadaran psikoanalisa mempersoalkan secara amat radikal konsep “subyektivitas” sebagaimana digunakan sepanjang sejarah filsafat Barat, termasuk filsafat Ricoeur sendiri. Semua itu diselidiki dan direnungkan Ricoeur dalam karyanya yang besar Perihal Interpretasi. Esai tentang Freud.
          Sementara itu terjadilah perubahan besar dalam situasi filosofis di Prancis. Perhatian untuk fenomenologi dan eksistensialisme telah tergeser dengan timbulnya strukturalisme. Ricoeur, yang selalu peka terhadap aktualitas dalam pemikiran filosofis, harus menentukan posisinya dalam debat sekitar strukturalisme itu. Sebagaimana sudah kita ketahui, strukturalisme mengambil ilmu bahasa-—dan khususnya fonologi—sebagai model untuk menjelaskan semua macam penggunaan tanda dalam kehidupan manusia. Dan menurut pikiran mereka bahasa harus dimengerti sebagai sistem, sebelum dapat dipandang sebagai proses kreatif. Sistem mi tidak disadari oleb Si pemakai bahasa, tetapi menentukan dia pada taraf tak sadar. Pengikut-pengikut strukturalisme menarik konsekuensi-konsekuensi radikal dan konsepsi ini, antara lain mereka menolak prioritas subyek yang begitu ditekankan dalam eksistensialisme dan fenomenologi. Mereka mengakibatkan juga kesulitan besar bagi hermeneutika, sehab menurut mereka bahasa tidak menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya. Bahasa merupakan suatu sistem tertutup di mana setiap unsur menunjuk ke semua unsur lain; sia-sia saja kita mencari suatu makna yang menunjuk ke luar, yaitu ke “dunia”, sebagaimana selalu diandaikan oleh hermeneutika. Bagi strukturalisme, bahasa tidak menunjuk ke suatu dunia luar; bahasa membentuk suatu dunia tersendiri. Juga hubungan dengan penutur atau pengarang yang memaksudkan suatu makna dan dengan pendengar atau pembaca yang menafsirkan makna itu ditolak oleh mereka sebagai subjektivisme yang tidak dapat diterima. Timbulnya strukturalisme itu (bersama beberapa aspek-. Dari psikoanalisa yang memperlihatkan tendensi yang sejenis) oleh Ricoeur dialami sebagai tantangan. Di satu pihak ia berusaha belajar dari strukturalisme. Pendekatan struktural dimasukannya ke dalam pendekatan hermeneutis. Ia mengakui sifat “bahasawi” (the lingual charaq(er) dan simbol-simbol; simbol-simbol itu memang tercantum suatu sistern bahasawi. Di lain pihak ia mencoba mengkritik strukturalisrne sebagai suatu pandangan yang terlalu berat sebelah tentang bahasa. Untuk melaksanakan kedua usaha itu Ricoeur memusatkan penelitian hermeneutisnya pada teks. Di antara unsur-unsur bahasa lainnya sebuah teks (jadi, suatu diskursus tertulis yang menurut Ricoeur tidak dapat diasalkan begitu saja kepada diskursus lisan) mempunyai ciri-ciri khusus. Sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri: tidak bergantung pada maksud pengarang, pada situasi historis karya atau buku dimana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Kalau hermeneutika diterapkan pada teks, sfat heimcnieun;ka sendiri heruhah. Hermeneutika tidak lagi mencari makna tersembun i di balik teks (seperti dilakukan Ricoeur dalam hermeneutika tentang simbol-simbol dulu), tetapi mengarah perhatiannya kepada makna obyektif sebuah teks, terlepas dan maksud subyektif pengarang atau orang lain.          Menginterpretasikan sebuah teks bukannya mengadakan suatu relasi intersubyektif antara subyektivitas pengarang dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus: diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi selesai, bila “dunia teks” dan “dunia interpretator” bercampur baur menjadi satu.
          Dengan mendekati teks-teks secara obyektif—terlepas dan relasi-relasi intersubyektifnya, Riouer belajar banyak dari strukturalisme. Tetapi ia tidak mau berhenti di situ. Bila suatu teks telah dilepaskan dari situasi dialogal—situasi yang menandai diskursus lisan, tetapi kita tidak boleh memperlakukan teks atau diskursus tertulis sebagai diskursus lisan; teks itu otonom—maka masih mungkin dua sikap yang berbeda. Di satu pihak kita dapat menyingkirkan setiap referensi teks kepada sesuatu yang lain; kita dapat memandang teks sebagai sesuatu yang tertutup dalam dirinya dengan hanya memperhatikan rela-relasi internnya. Itulah sikap yang diambil strukturalisme dan cara memandang ini membuka perspektif-perspektif yang menarik. Namun demikian, masih mungkin suatu sikap lain dan sebenarnya sikap kedua ini diandaikan oleh sikap pertama, tetapi rupanya strukturalisme tidak mengakui atau sekurang-kurangnya tidak mementingkan kenyataan itu. Teks juga berbicara tentang sesuatu. Tetapi dengan itu teks tidak lagi merupakan suatu relasi tertutup, karena di sini tampak referensi kepada suatu dunia, bukan sebagai sesuatu yang dicari di belakang teks melainkan sebagai sesuatu yang berada di depan teks, kalau boleh dikatakan demikian.
          Penelitian tentang hahasa itu dijalankan dengan menyakinkan dalam suatu karya besar yang berjudul La métaphore vive (1975) (Metafora Hidup). Buku ini merupakan studi mendalam tentang metafora dengan mengikutsertakan hasil penelitian linguistik, retorika lama serta baru, semiotika, dan filsafat bahasa. Sebenarnya lebih tepat bila dikatakan hahwa buku mi terdiri atas delapan studi, yang masing-masing berdini sendiri dan bisa dibaca sebagai suatu keseluruhan tersendiri. Metafora dipelajari pada tahap kata, kalimat, dan diskursus. Buku mi sekarang sudah dianggap sebagai sebuah studi kiasik tentang metafora dan diterjermahkan dalam beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Jepang. Pentingnya tidak terbatas pada filsafat tetapi menyangkut juga linguistik dan ilmu sastra.
          Trilogi buku yang dianggap oleh Ricoeur sendiri sebagai karya kembar dengan Metafora Hidup berjudul Temps et récit (Waktu dan Cerita). Karya yang terdiri atas tiga jilid ini mempelajari bahasa dan sudut pandang narasi atau cerita. Dan memang ada hubungan erat antara metafora dan cerita. Kita bisa menyebut seorang pemain sepak bola “singa di lapangan hijau” (==metafora) atau kita bisa menceritakan bagaimana penampilannya dalam pertandingan sepak bola, hingga mengingatkan kita akan kejayaan seekor singa. Metafora sebetulnya merupakan semacam cerita singkat. Baik metafora maupun cerita menyampaikan makna pada kita, tetapi makna itu tidak mempunyai isi semantis sendiri, melainkan menunjukkan sesuatu yang lain. Kita menyebutnya “kiasan”. Cara penyampaian makna dalam cerita tidak selalu sama. Ada cara bercerita yang mengklaim kebenaran dan ketepatan (seperti dalam ilmu sejarah, biografi, dan otobiografi) dan ada cara hercenita yang kita sehut fiksi (novel, cerita pendek, dan sehagainya.). Tesis Ricoeur adalab bahwa faktor yang mempersatukan semua bentuk dan jenis naratif ialah waktu. Ciri khas yang menandai semua macam cerita adalah sifat temporalnya. Kata Ricoeur  “Semuanya yang diceritakan berlangsung dalam waktu, memakan waktu, berjalan secara temporal; dan apa saja Yang mengenal perkembangan dalam waktu, bisa diceritakan. Barang kali dapat dikatakan bahwa tiap-tiap proses temporal baru dikenal sebagai temporal, sejauh dengan salah satu cara bisa diceritakan”.  Dengan demikian timbul hubungan erat antara waktu dan cerita, yang menjadi tema pokok untuk penelitian Ricoeur ini.
          Seperti sudah dikatakan tadi, karya besar ini terdiri atas tiga jilid. Buku pertama berjudul Temps et récit I (1983) dan tidak diberi anak judul. Baru dalam edisi 1991 ditambahkan anak judul: L’intrigue et le récit historique (Plot dan Cerita Sejarah). Dalam bagian pertama dibahas hubungan timbal balik antara narativitas (suasana khas cerita) dan temporalitas. Untuk itu dianalisa dulu uraian termashyur Augustinus tentang waktu yang diberikan dalam bukunya Confessiones. Kemudian dipelajari dengan sangat teliti pandangan Aristoteles tentang mythos (menurut interpretasinya mirip dengan pengertian modern “plot”) dan mimesis (tiruan) dalam bukunya Poetica. Dalam bagian kedua disoroti narativitas yang menandai ilmu sejarah. Buku kedua berjudul Temps et récit II. La configuration dans le récit defiction (1984) (Waktu dan Cerita II. Konfigurasi dalam Cerita Fiksi) menyoroti narativitas dalam fiksi, artinya dalam kesusastraan. Secara konkret Ricoeur mengilustrasikan analisanya dengan menunjuk kepada novel dan pengarang seperti Thomas Mann, Marcel Proust, dan Virginia WooIf di mana faktor waktu memegang peranan penting. Dalam arti tertentu para sastrawan menguasai waktu, karena dalam karya sastranya mereka sendiri membentuk waktu. Buku kedua mi bisa dilihat sebagai suatu uraian tersendiri dan dapat dibaca terlepas dan buku pertama. Buku ketiga diberi judul Temps et. récit III Le temps raconté (1985) (Waktu yang Cerita 111: Waktu yang Diceritakan). Pertanyaan yang terutama dibahas di sini adalah: bagaimana pengalaman waktu sehari-hari dimodifikasi melalui pengaruh cerita. Hal itu dibeberkan pada tahap cerita historis maupun fiktif.  Dalam mencari jawaban Ricoeur berdialog dengan hampir seluruh sejarah filsafat dan ilmu-ilmu bahasa. Khususnya ia membuka diskusi dengan tiga mitra dialog: fenomenologi, historiografi, dan kritik sastra.
          Isi kedua karya monumental terakhir tadi sebagian besar pernah dibawakan sebagai ceramah di salah satu universitas di Eropa atau Amerika, sebelum diterbitkan dalam bentuk buku. Pada tahun 1986 Paul Ricoeur mendapat kehormatan untuk membawakan The Gifford Lectures yang sangat prestisius di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dengan judul On self. hood: the question of personal identity. Menurut tradisi yang sudah lama, Gifford Lectures ini menyediakan kesempatan kepada seorang sarjana besar untuk mengadakan sintesa seluruh pemikirannya. Setelah ditambah dengan ceramah-ceramah lain yang diberikan di Universitas München, Jerman, Universitas Roma, Italia dan tempat lain, ceramah-ceramah di Edinburgh itu menghasilkan karya besar lain lagi berjudul Soiméine comme un autre (1990) (Dirinya Seperti Orang Lain). Buku yang terdiri atas sepuluh studi besar ini dinilai sebagai suatu puncak terakhir dalam karier Ricoeur di bidang filsafat. Yang disajikan di sini adalah suatu penelitian tentang jati atau identitas pribadi manusia. Kita bisa mengatakan juga bahwa dalam buku ini Ricoeur mengusahakan suatu hermeneutika tentang “kedirian” (selfhood) manusia. Untuk itu Ricoeur memanfaatkan seluruh pengetahuannya yang ensiklopedik tentang sejarah filsafat, ditambah dengan kepiawaiannya dalam berbagai cabang ilmu bahasa. Hermeneutika tentang kedirian ini dijalankan dengan menyelidiki empat pertanyaan: Siapa yang berbicara? Siapa yang bertindak? Siapa yang menceritakan sesuatu? Siapa merupakan subyek moral dan tanggung jawab? Semuanya ini bukannya pertanyaan abstrak, melainkan cara konkret manusia menanyakan tentang dirinya sendiri, sehingga pertanyaan-pertanyaan ini bisa dilihat sebagai sebagian dan cerita yang dikisahkan manusia kepada dirinya sendiri dan orang lain. Identitas manusia dilukiskan Ricoeur antara lain dalam perspektif narativitas. Buku ini memuat juga apa yang Ricoeur sendiri sebut “etika kecil”-nya. Studi yang ketujuh, kedelapan dan kesembilan berturut-turut membahas “kedirian dan sudut pandang etis”, “kedirian dan norma moral”, dan “kedirian dan kebijaksanaan praktis”.


[1] Deskripsi murni dalam arti fenomenologis yaitu deskripsi dari sudut pandang subyek bagi siapa sesuatu ampak, dengan menaruh dalam kurung semua faktor yang lain.
[2] Ricoeur sendiri melukiskan perkembangannya sesudah buku-buku dan tahun 1960 dalam From existentialism to the philosophy of language, Phylosophy today 17, 1973, hal 88-89 dan hermeneutics and the humman science (edited and translated by Jhon B. Thomson), Cambridge 1981, a response by Paul Ricoeur hal 32-40
[3] Hermeneitucs and the human science, hal 34 (suatu hermeneutika yang bermenung

0 comments:

Post a Comment