Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Wednesday, March 6, 2013

Beberapahubungan cacat konsensus dan caput nullitatis

Beberapa pokok persengketaan sekitar cacat konsensus yang dapat menjadi caput nullitatis


1. Penggunaan akal-budi secara  tidak mencukupi: kan. 1095 § 1
Pengertian
      Ada keyakinan bahwa pada dasarnya setiap orang dianugerahi oleh Tuhan akal-budi (ratio) yang mencukupi dan kemampuan untuk menggunakannya (usus rationis) secara memadai. Namun demikian, ada keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat mengganggu, menghambat, atau bahkan menghalangi, sehingga penggunaan akal-budi itu tidak memadai atau sama sekali tidak dimungkinkan. Mengenai hal itu, dua hal ditunjuk di sini. Pertama, penggunaan akal-budi pada seseorang yang secara umum dan dalam keseluruhan waktu tampak sangat rendah. Contohnya: orang debil, orang idiot, atau sejenisnya. Kedua, penggunaan akal-budi pada seseorang yang tampak sangat rendah hanya dalam waktu-waktu tertentu ( misalnya ketika kesepakatan perkawinan diungkapkan ). Contoh: orang yang sedang mabuk, linglung, trans, kesurupan, atau tidak sadar (karena pengaruh zat kimiawi tertentu, obat-obatan atau penyakit pada umumnya).
Pembuktian
       Yang perlu diselidiki pada orang yang demikian adalah kemampuannya untuk ber-abstraksi atau  ber-asosiasi. Abstraksi adalah kemampuan membayangkan atau menghadirkan benda, peristiwa dan nilai dalam pikiran. Asosiasi adalah kemampuan melihat hubungan antara berbagai hal, peristiwa atau nilai dalam kerangka sebab-akibat. Kekurangan menggunakan akal-budi secara permanen dapat ditunjukkan dengan cara mencari kepastian bahwa yang bersangkutan termasuk dalam kategori orang debil atau idiot. Kekurangan penggunaan akal-budi ketika kesepakatan diungkapkan, ditunjukkan dengan mencari kepastian bahwa pada saat itu ada gangguan, hambatan, atau halangan yang menyebabkan demikian. Gangguan, hambatan dan halangan itu dapat berupa keadaan atau peristiwa.

2. Tidak mampu membentuk pandangan  tepat mengenai pemberian dan penerimaan hak dan kewajiban perkawinan: kan. 1095.2°
Pengertian
      Yang dapat terkena kekurangan atau cacat (defectus) ini adalah orang yang memiliki kemampuan akal budi cukup dan dapat menggunakannya secara memadai, namun secara obyektif ada kekurangan dalam penilaian, pertimbangan dan keputusannya yang dihasilkan oleh akal-budi yang digunakan itu. Seorang anak kecil yang pandai dapat dengan mudah menghafal  rumusan atau definisi tentang perkawinan, tetapi hampir pasti ia tidak mengerti arti atau nilai yang sesungguhnya dari perkawinan itu.  Begitu juga orang yang lingkungan hidupnya ditandai  oleh kebiasaan kawin-cerai, kebebasan seksual, serta gaya hidup, tata nilai, budaya permisif atau sejenisnya. Sangat mungkin, orang demikian tidak mengerti arti penting atau nilai luhur seksualitas, ikatan perkawinan yang tak dapat diputuskan, dan sakramentalitas perkawinan. Kalaupun mengertinya, mungkin sekali ia tidak sampai pada tingkat keyakinan yang dituntut untuk sahnya kesepakatan perkawinan. Akibatnya, hal-hal itu tidak masuk dalam prioritas yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Akibat lebih lanjut, hal-hal itu mudah dan bahkan sangat mudah dikalahkan atau dikuburkan..
Pembuktian
         Penempatan tugas dan kewajiban pokok perkawinan diantara tugas dan kewajiban lain dalam kehidupan sehari-hari; keputusan lebih ditentukan oleh perasaan senang atau tidak senang. Misalnya: lebih mementingkan menonton  televisi atau sekedar bejalan-jalan dengan teman daripada mengantar pasangan yang sakit ke rumah sakit; membiarkan pasangan melacur asalkan mendapat uang; memilih menggunakan uang untuk judi daripada untuk membiayai pendidikan anak; memilih menyakiti atau menyiksa diri daripada bekerja agak jauh dari tempat tinggalnya; memilih memperkerjakan anaknya yang masih di bawah umur daripada diri sendiri bekerja dengan gaji yang lebih rendah. Untuk semua itu dapat dilihat berbagai kemungkinan berikut: usia yang terlalu muda, ketidakmatangan pribadi, kebiasaan yang tidak baik, pendidikan yang buruk, atau lingkungan yang tidak sehat, pengalaman traumatis, kehamilan pra nikah, KDRT, ketergantungan / kekanak-kanakan pada orangtua.

3 Ketidakmampuan menjalankan kewajiban pokok perkawinan: kan. 1095.3°
Pengertian
         Orang yang mengalami ketidakmampuan ini umumnya memiliki kemampuan akal budi yang cukup dan mungkin cukup matang kepribadiannya. Namun keadaan psikisnya mengganggu, menghambat atau bahkan menghalangi pelaksanaan dari apa yang ia mengerti dan janjikan. Menjadi caput nullitatis sejauh gangguan psikis tersebut (trauma, sindrom, kekacauan/gangguan mental, kelainan kejiwaan, penyimpangan psikologis) membuat yang bersangkutan tidak mampu melaksanakan kewajiban hakiki perkawinan. Keadaan psikis yang adalah bagian dari dirinya itu berada diluar atau diatas kontrol dan kuasanya sehingga membuatnya demikian. Dengan keadaan psikisnya itu, ia sungguh-sungguh tak berdaya.
Pembuktian:
          kewajiban pokok perkawinan berkaitan langsung dengan hakikat, tujuan dan ciri hakiki perkawinan (kanon 1055-1056).
  1. Hakikat: menghidupi identitas dan melaksanakan misi perkawinan (hidup sebagai persekutuan yang senasib dan sepenagungan);
  2. Tujuan: menjadi pasangan, kekasih, orangtua;
  3. Ciri-ciri hakiki: menjadi pasangan yang esklusif, seutuhnya dan selamanya
Kebutuhan bantuan expert sangat dibutuhkan, dengan catatan bahwa gangguan psikologis tidak harus sampai pada gangguan klinis. Harus dicari kemudian kepastian bahwa yang membuat pelaksanaan satu atau beberapa kewajiban pokok itu tidak terpenuhi bukanlah cacat, kelemahan, kelumpuhan dan tidak berfungsinya salah satu / beberapa organ fisik.
Gangguan psikologis yang baru diketahui setelah perkawinan, hanya dapat dijadikan caput nullitatis sejauh dapat ditelusuri keberadaannya sejak sebelum perkawinan atau sejak awal pernikahan. Contoh: Setiap kali melakukan hubungan seksual, suami selalu menyakiti istrinya.

4.Ketidaktahuan  mengenai hakikat perkawinan (ignorantia): kan. 1096 § 1

Pengertian
        Hakikat perkawinan adalah persekutuan tetap suami-istri dengan tujuan melahirkan anak melalui hubungan seksual. Apabila seseorang  tidak mempunyai pengertian akan hal itu, ia dianggap sebagai orang yang tidak mampu memberikan kesepakatan nikah. Ia melakukan kesepakatan tanpa obyek kesepakatan.  Perlu diperhatikan di sini bahwa ketidaktahuan (ignorantia) itu dianggap tidak ada  kalau seseorang telah melewati masa pubertas. Tetapi,  tetap berlaku ketentuan yang memungkinkan untuk pembuktian yang sebaliknya.
Pembuktian
        Membuktikan ignorantia tentang perkawinan, harus dilihat kemampuan akal budinya, usianya, dan lingkungan hidupnya. Sangat mungkin bahwa orang benar-benar tidak memiliki pengetahuan itu karena usianya terlalu muda atau lingkungan yang sangat mentabukan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Umumnya, kalau ignorantia itu disebabkan oleh usia yang terlalu muda, caput nullitatisnya lebih tepat diarahkan pada kekurangan umur (kan. 1083§1). Apabila disebabkan oleh kurangnya lemah akal-budi, caput nullitatis lebih diarahkan pada penggunaan akal-budi yang tidak mencukupi (kan. 1095 § 1).

5. Kekeliruan mengenai kualitas orang (error in persona): kan. 1097 § 2

Pengertian
       Kanon 1097 ini, termasuk ke dalam error in persona. Prinsip umum yang mau ditekankan adalah tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kesesatan tentang sesuatu yang merupakan inti tindakan atau syarat mutlak adalah tidak sah (bdk. Kan 126). Ignorantia et error objective essentialis”, kekeliruan dan ketidaktahuan membentuk secara substansial pandangan tindakan yuridis yang tidak menghasilkan apa-apa (bdk. Kan 1097§1). Dalam kan. 1097, dinyatakan dua bentuk kekeliruan: yang pertama, error in persona sebagai error substantialis. Cerita tentang Yakob yang berkeinginan menikah dengan Rahel orang yang diketahuinya, ternyata dia menikah dengan Lea yang tidak dikehendakinya (bdk. Kej. 29:15-30). Kedua, error in qualitate personae: kekeliruan mengenai sifat kepribadian (kualitas), yang merupakan tujuan langsung dan utama kesepakatan serta kualitas itu harus serius dan berat secara objektif ( berdasarkan pandangan masyarakat ) dan subjektif ( menurut  orang itu sendiri yg memberi nilai substansial pada kualitas itu ).

6.Tipu muslihat (error dolosus): bdk. Kan. 1098).
        Kanon ini masih berbicara tentang error (kekeliruan) karena tertipu, yakni orang menikah karena tertipu. Kekeliruan ini disebabkan oleh kejahatan orang lain lewat tipu muslihat dan dengan tindakan ini, seseorang mau menanamkan sebuah realitas palsu dalam diri subjek yang tidak sesuai dengan realitas riil dan objektif.  Kanon ini diadakan untuk melindungi orang-orang yang akan menikah dari setiap bentuk penipuan yang dapat sangat merugikan keputusan kehendak bebas. Penipuan ini dibedakan atas dolus directus: penipuan yang langsung direncanakan oleh subyek pelaku dan dolus indirectus: melakukan penipuan tetapi lewat perantara orang lain. Jenis-jenis penipuan, mis: menjebak, menutup-nutupi,  main sandiwara mengenai sifat / kualitas yang seandainya diketahui oleh pihak lain, pasti pihak lain itu akan menolak untuk menikah dengannya, penyakit, kualitas moral, dlsb.

7. Pengecualian (exclusio atau simulatio) bdk. Kan 1101
       Dalam doktrin yurisprudensi, caput nullitatis berdasarkan pada kan 1101, disebut dengan simulatio, sementara dalam KHK 1983, ditemukan istilah exclusio (pengecualian). Simulatio dibedakan atas simulatio  partialis: apabila salah satu atau kedua belah pihak dengan positif mengecualikan salah satu unsur hakiki perkawinan; dan simulatio totalis: apaila salah satu atu kedua belah pihak dengan positif mengecualikan perkawinan itu sendiri.  Agar dapat memahami fenomena simulatio dalam kan. 1101 ini, perlu dilihat kembali prinsip yang dinyatakan dalam kan. 1057. Hal mana dinyatakan dalam kan. 1057 bahwa kesepakatan adalah perbuatan kemauan (actus voluntatis) antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat perkawiman. Jadi untuk membentuk kesepakatan (consensus) dibutuhkan kecukupan menggunakan akal budi (sufficienti rationis), kan. 1095§1) dan perbuatan kemauan diperlukan pengetahuan yang minimal apa itu perkawinan (bdk. Kan. 1096), suatu kemampuan membentuk pandangan mengenai hak dan kewajiban hakiki perkawinan (bdk. Kan. 1095§2) dan keabsahan internal maupun eksternal (bkn. Kan. 1103).
        Contoh: Orang yang sebenarnya tidak mau menikah dengan orang yang dijodohkan oleh orangtuanya, namun akhirnya menikah demi orangtua yang sangat mengharapkan perkawinan tersebut dan demi orangtua yang sakit-sakitan. Selama perkawinan pun yang bersangkutan merasa hidup dalam neraka. Memang dengan perkawinan tersebut, masalah yang dihadapi oleh keluarga dapat diselesaikan. Perkawinan ini menjadi simulatio totalis, sejauh perkawinan dilaksanakan demi menyelesaikan masalah. Ada desakan dari dalam yang memaksa yang bersangkutan berkeputusan untuk menikah.
       Perkawinan ini dalam kategori metus reverentialis sejauh perkawinan dilaksanakan demi orangtuanya. Di sini ada desakan pihak luar yang memaksa yang bersangkutan untuk menikah. Orang menikah lebih karena kehendak orangtua yang sudah dalam keadaan sakit-sakitan.  Contoh lain: perkawinan karena kehamilan di luar nikah: perkawinan ditempuh sebagai jalan satu-satunya untuk menghindarkan sesuatu yang dipercayai akan terjadi

8.Perkawinan bersyarat: kan. 1102
      Kanon ini berbicara tentang kesepakatan bersyarat (consensus conditionatus), yang dibedakan tiga macam: mengenai sesuatu yang akan datang, mengenai sesuatu yang sekarang dan mengenai sesuatu yang sudah  lampau.
     Kesepakatan bersyarat mengenai sesuatu yang akan datang selalu menggagalkan perkawinan, karena membuat status perkawinan tidak jelas. Misalnya: “Saya mau menikahi kamu, asal nanti tetap bebas untuk menjalin hubungan  dengan orang lain”. Sedangkan kesepakatan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang atau yang lampau, validitas perkawinan sangat tergantung pada terpenuhi-tidaknya syarat yang dicanangkan. Misalnya: “Saya mau menikahi kamu, asal kamu masih perawan”.  Kanon 1102§2 memperbolehkan dilaksanakannya perkawinan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang dan yang lampau. Namun untuk melakukannya, dibutuhkan izin dari Ordinaris wilayah (kan 1102§3).
       Condicione masuk ke dalam salah satu elemen aksidentil yang dapat menggagalkan perkawinan dengan merujuk pada kan. 124§1: “Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya dan pula agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu”.

9.Paksaan atau ketakutan besar (vis et metus): kan. 1103

Pengertian
      Suatu dorongan atau desakan yang tak dapat ditahan atau ditolak (fisik atau moril). Paksaan atau ketakutan terjadi apabila perkawinan dilaksanakan lebih untuk menghindari kemungkinan terjadinya sesuatu yang lebih buruk. Perasaan takut dibedakan dua macam, yakni:  perasaan takut yang biasa (common fear), yang ditimbulkan oleh ancaman / bahaya dari orang jahat atau orang yang memusuhinya; dan perasaan takut terhadap orang yang dihormati (reverential fear), ditimbulkan oleh kemungkinan akan terjadinya hal buruk atau ketidaksenangan pada seseorang yang seharusnya dihormati secara khusus (mis: orangtua, kakak, pemimpin, wali, dll).
Pembuktian
      Perlu dilihat latar-belakang orang yang bersangkutan, juga bentuk dan tingkat ketergantungannya pada orang lain atau orangtuanya, konkritnya: hubungan yang bersifat superior-inferior.
Mengamati mekanisme terjadinya paksaan atau rasa takut:
  1.  mula-mula ada suatu keyakinan dari pihak inferior mengenai sesuatu yang dimiliki dan dipertahankan oleh pihak superior (kehormatan, nama baik, status ekonomi/sosial, dll)
  2. keyakinan ini dibarengi keyakinan bahwa pihak inferior harus menjaganya juga: apa yang dimiliki pihak superior terancam oleh kesalahan pihak inferior. Karena itu perkawinan pihak inferior menjadi penyelamat pihak superior.
      Melihat beratnya ancaman, terkait dengan bentuk dan wujud kerugian yang sungguh diyakini pihak inferior bila tidak terjadi perkawinan. Biasanya didahului dengan gagalnya usaha meniadakan penyebab ancaman (menghindari hubungan, menggugurkan kandungan, dll).

0 comments:

Post a Comment