Pengertian
Ada
keyakinan bahwa pada dasarnya setiap orang dianugerahi oleh Tuhan akal-budi
(ratio) yang mencukupi dan kemampuan untuk menggunakannya (usus rationis)
secara memadai. Namun demikian, ada keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat
mengganggu, menghambat, atau bahkan menghalangi, sehingga penggunaan akal-budi
itu tidak memadai atau sama sekali tidak dimungkinkan. Mengenai hal itu, dua
hal ditunjuk di sini. Pertama, penggunaan akal-budi pada seseorang yang secara
umum dan dalam keseluruhan waktu tampak sangat rendah. Contohnya: orang debil,
orang idiot, atau sejenisnya. Kedua, penggunaan akal-budi pada seseorang yang
tampak sangat rendah hanya dalam waktu-waktu tertentu ( misalnya ketika
kesepakatan perkawinan diungkapkan ). Contoh: orang yang sedang mabuk,
linglung, trans, kesurupan, atau tidak sadar (karena pengaruh zat kimiawi
tertentu, obat-obatan atau penyakit pada umumnya).
Pembuktian
Yang
perlu diselidiki pada orang yang demikian adalah kemampuannya untuk
ber-abstraksi atau ber-asosiasi.
Abstraksi adalah kemampuan membayangkan atau menghadirkan benda, peristiwa dan
nilai dalam pikiran. Asosiasi adalah kemampuan melihat hubungan antara berbagai
hal, peristiwa atau nilai dalam kerangka sebab-akibat. Kekurangan menggunakan
akal-budi secara permanen dapat ditunjukkan dengan cara mencari kepastian bahwa
yang bersangkutan termasuk dalam kategori orang debil atau idiot. Kekurangan
penggunaan akal-budi ketika kesepakatan diungkapkan, ditunjukkan dengan mencari
kepastian bahwa pada saat itu ada gangguan, hambatan, atau halangan yang
menyebabkan demikian. Gangguan, hambatan dan halangan itu dapat berupa keadaan
atau peristiwa.
2. Tidak mampu membentuk pandangan tepat mengenai pemberian dan penerimaan hak
dan kewajiban perkawinan: kan. 1095.2°
Pengertian
Yang
dapat terkena kekurangan atau cacat (defectus) ini adalah orang yang memiliki
kemampuan akal budi cukup dan dapat menggunakannya secara memadai, namun secara
obyektif ada kekurangan dalam penilaian, pertimbangan dan keputusannya yang
dihasilkan oleh akal-budi yang digunakan itu. Seorang anak kecil yang pandai
dapat dengan mudah menghafal rumusan
atau definisi tentang perkawinan, tetapi hampir pasti ia tidak mengerti arti
atau nilai yang sesungguhnya dari perkawinan itu. Begitu juga orang yang lingkungan hidupnya
ditandai oleh kebiasaan kawin-cerai,
kebebasan seksual, serta gaya hidup, tata nilai, budaya permisif atau
sejenisnya. Sangat mungkin, orang demikian tidak mengerti arti penting atau
nilai luhur seksualitas, ikatan perkawinan yang tak dapat diputuskan, dan
sakramentalitas perkawinan. Kalaupun mengertinya, mungkin sekali ia tidak
sampai pada tingkat keyakinan yang dituntut untuk sahnya kesepakatan
perkawinan. Akibatnya, hal-hal itu tidak masuk dalam prioritas yang harus
dipertahankan dan diperjuangkan. Akibat lebih lanjut, hal-hal itu mudah dan
bahkan sangat mudah dikalahkan atau dikuburkan..
Pembuktian
Penempatan
tugas dan kewajiban pokok perkawinan diantara tugas dan kewajiban lain dalam
kehidupan sehari-hari; keputusan lebih ditentukan oleh perasaan senang atau
tidak senang. Misalnya: lebih mementingkan menonton televisi atau sekedar bejalan-jalan dengan
teman daripada mengantar pasangan yang sakit ke rumah sakit; membiarkan
pasangan melacur asalkan mendapat uang; memilih menggunakan uang untuk judi
daripada untuk membiayai pendidikan anak; memilih menyakiti atau menyiksa diri
daripada bekerja agak jauh dari tempat tinggalnya; memilih memperkerjakan
anaknya yang masih di bawah umur daripada diri sendiri bekerja dengan gaji yang
lebih rendah. Untuk semua itu dapat dilihat berbagai kemungkinan berikut: usia
yang terlalu muda, ketidakmatangan pribadi, kebiasaan yang tidak baik,
pendidikan yang buruk, atau lingkungan yang tidak sehat, pengalaman traumatis,
kehamilan pra nikah, KDRT, ketergantungan / kekanak-kanakan pada orangtua.
3 Ketidakmampuan menjalankan kewajiban
pokok perkawinan: kan. 1095.3°
Pengertian
Orang
yang mengalami ketidakmampuan ini umumnya memiliki kemampuan akal budi yang
cukup dan mungkin cukup matang kepribadiannya. Namun keadaan psikisnya
mengganggu, menghambat atau bahkan menghalangi pelaksanaan dari apa yang ia
mengerti dan janjikan. Menjadi caput nullitatis sejauh gangguan psikis tersebut
(trauma, sindrom, kekacauan/gangguan mental, kelainan kejiwaan, penyimpangan
psikologis) membuat yang bersangkutan tidak mampu melaksanakan kewajiban hakiki
perkawinan. Keadaan psikis yang adalah bagian dari dirinya itu berada diluar
atau diatas kontrol dan kuasanya sehingga membuatnya demikian. Dengan keadaan
psikisnya itu, ia sungguh-sungguh tak berdaya.
Pembuktian:
kewajiban
pokok perkawinan berkaitan langsung dengan hakikat, tujuan dan ciri hakiki
perkawinan (kanon 1055-1056).
- Hakikat: menghidupi identitas dan melaksanakan misi perkawinan (hidup sebagai persekutuan yang senasib dan sepenagungan);
- Tujuan: menjadi pasangan, kekasih, orangtua;
- Ciri-ciri hakiki: menjadi pasangan yang esklusif, seutuhnya dan selamanya
Kebutuhan
bantuan expert sangat dibutuhkan, dengan catatan bahwa gangguan psikologis
tidak harus sampai pada gangguan klinis. Harus dicari kemudian kepastian bahwa
yang membuat pelaksanaan satu atau beberapa kewajiban pokok itu tidak terpenuhi
bukanlah cacat, kelemahan, kelumpuhan dan tidak berfungsinya salah satu /
beberapa organ fisik.
Gangguan
psikologis yang baru diketahui setelah perkawinan, hanya dapat dijadikan caput
nullitatis sejauh dapat ditelusuri keberadaannya sejak sebelum perkawinan atau
sejak awal pernikahan. Contoh: Setiap kali melakukan hubungan seksual, suami
selalu menyakiti istrinya.
4.Ketidaktahuan mengenai hakikat perkawinan (ignorantia):
kan. 1096 § 1
Pengertian
Hakikat
perkawinan adalah persekutuan tetap suami-istri dengan tujuan melahirkan anak
melalui hubungan seksual. Apabila seseorang
tidak mempunyai pengertian akan hal itu, ia dianggap sebagai orang yang
tidak mampu memberikan kesepakatan nikah. Ia melakukan kesepakatan tanpa obyek
kesepakatan. Perlu diperhatikan di sini
bahwa ketidaktahuan (ignorantia) itu dianggap tidak ada kalau seseorang telah melewati masa pubertas.
Tetapi, tetap berlaku ketentuan yang
memungkinkan untuk pembuktian yang sebaliknya.
Pembuktian
Membuktikan
ignorantia tentang perkawinan, harus dilihat kemampuan akal budinya, usianya,
dan lingkungan hidupnya. Sangat mungkin bahwa orang benar-benar tidak memiliki
pengetahuan itu karena usianya terlalu muda atau lingkungan yang sangat
mentabukan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Umumnya, kalau ignorantia
itu disebabkan oleh usia yang terlalu muda, caput nullitatisnya lebih tepat
diarahkan pada kekurangan umur (kan. 1083§1). Apabila disebabkan oleh kurangnya
lemah akal-budi, caput nullitatis lebih diarahkan pada penggunaan akal-budi
yang tidak mencukupi (kan. 1095 § 1).
5. Kekeliruan mengenai kualitas orang (error
in persona): kan. 1097 § 2
Pengertian
Kanon
1097 ini, termasuk ke dalam error in persona. Prinsip umum yang mau ditekankan
adalah tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kesesatan tentang
sesuatu yang merupakan inti tindakan atau syarat mutlak adalah tidak sah (bdk.
Kan 126). Ignorantia et error objective essentialis”, kekeliruan dan
ketidaktahuan membentuk secara substansial pandangan tindakan yuridis yang
tidak menghasilkan apa-apa (bdk. Kan 1097§1). Dalam kan. 1097, dinyatakan dua
bentuk kekeliruan: yang pertama, error in persona sebagai error substantialis.
Cerita tentang Yakob yang berkeinginan menikah dengan Rahel orang yang
diketahuinya, ternyata dia menikah dengan Lea yang tidak dikehendakinya (bdk.
Kej. 29:15-30). Kedua, error in qualitate personae: kekeliruan mengenai sifat
kepribadian (kualitas), yang merupakan tujuan langsung dan utama kesepakatan
serta kualitas itu harus serius dan berat secara objektif ( berdasarkan
pandangan masyarakat ) dan subjektif ( menurut
orang itu sendiri yg memberi nilai substansial pada kualitas itu ).
6.Tipu muslihat (error dolosus): bdk. Kan. 1098).
Kanon
ini masih berbicara tentang error (kekeliruan) karena tertipu, yakni orang
menikah karena tertipu. Kekeliruan ini disebabkan oleh kejahatan orang lain
lewat tipu muslihat dan dengan tindakan ini, seseorang mau menanamkan sebuah
realitas palsu dalam diri subjek yang tidak sesuai dengan realitas riil dan
objektif. Kanon ini diadakan untuk
melindungi orang-orang yang akan menikah dari setiap bentuk penipuan yang dapat
sangat merugikan keputusan kehendak bebas. Penipuan ini dibedakan atas dolus
directus: penipuan yang langsung direncanakan oleh subyek pelaku dan dolus
indirectus: melakukan penipuan tetapi lewat perantara orang lain. Jenis-jenis
penipuan, mis: menjebak, menutup-nutupi,
main sandiwara mengenai sifat / kualitas yang seandainya diketahui oleh
pihak lain, pasti pihak lain itu akan menolak untuk menikah dengannya,
penyakit, kualitas moral, dlsb.
7. Pengecualian (exclusio atau simulatio)
bdk. Kan 1101
Dalam
doktrin yurisprudensi, caput nullitatis berdasarkan pada kan 1101, disebut
dengan simulatio, sementara dalam KHK 1983, ditemukan istilah exclusio
(pengecualian). Simulatio dibedakan atas simulatio partialis: apabila salah satu atau kedua
belah pihak dengan positif mengecualikan salah satu unsur hakiki perkawinan;
dan simulatio totalis: apaila salah satu atu kedua belah pihak dengan positif
mengecualikan perkawinan itu sendiri.
Agar dapat memahami fenomena simulatio dalam kan. 1101 ini, perlu
dilihat kembali prinsip yang dinyatakan dalam kan. 1057. Hal mana dinyatakan dalam
kan. 1057 bahwa kesepakatan adalah perbuatan kemauan (actus voluntatis) antara
orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat
perkawiman. Jadi untuk membentuk kesepakatan (consensus) dibutuhkan kecukupan
menggunakan akal budi (sufficienti rationis), kan. 1095§1) dan perbuatan
kemauan diperlukan pengetahuan yang minimal apa itu perkawinan (bdk. Kan.
1096), suatu kemampuan membentuk pandangan mengenai hak dan kewajiban hakiki
perkawinan (bdk. Kan. 1095§2) dan keabsahan internal maupun eksternal (bkn.
Kan. 1103).
Contoh:
Orang yang sebenarnya tidak mau menikah dengan orang yang dijodohkan oleh
orangtuanya, namun akhirnya menikah demi orangtua yang sangat mengharapkan
perkawinan tersebut dan demi orangtua yang sakit-sakitan. Selama perkawinan pun
yang bersangkutan merasa hidup dalam neraka. Memang dengan perkawinan tersebut,
masalah yang dihadapi oleh keluarga dapat diselesaikan. Perkawinan ini menjadi
simulatio totalis, sejauh perkawinan dilaksanakan demi menyelesaikan masalah.
Ada desakan dari dalam yang memaksa yang bersangkutan berkeputusan untuk
menikah.
Perkawinan
ini dalam kategori metus reverentialis sejauh perkawinan dilaksanakan demi
orangtuanya. Di sini ada desakan pihak luar yang memaksa yang bersangkutan
untuk menikah. Orang menikah lebih karena kehendak orangtua yang sudah dalam
keadaan sakit-sakitan. Contoh lain:
perkawinan karena kehamilan di luar nikah: perkawinan ditempuh sebagai jalan
satu-satunya untuk menghindarkan sesuatu yang dipercayai akan terjadi
8.Perkawinan bersyarat: kan. 1102
Kanon
ini berbicara tentang kesepakatan bersyarat (consensus conditionatus), yang
dibedakan tiga macam: mengenai sesuatu yang akan datang, mengenai sesuatu yang
sekarang dan mengenai sesuatu yang sudah
lampau.
Kesepakatan
bersyarat mengenai sesuatu yang akan datang selalu menggagalkan perkawinan,
karena membuat status perkawinan tidak jelas. Misalnya: “Saya mau menikahi
kamu, asal nanti tetap bebas untuk menjalin hubungan dengan orang lain”. Sedangkan kesepakatan
bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang atau yang lampau, validitas perkawinan
sangat tergantung pada terpenuhi-tidaknya syarat yang dicanangkan. Misalnya:
“Saya mau menikahi kamu, asal kamu masih perawan”. Kanon 1102§2 memperbolehkan dilaksanakannya
perkawinan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang dan yang lampau. Namun
untuk melakukannya, dibutuhkan izin dari Ordinaris wilayah (kan 1102§3).
Condicione
masuk ke dalam salah satu elemen aksidentil yang dapat menggagalkan perkawinan
dengan merujuk pada kan. 124§1: “Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar
dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu dan agar dalam tindakan itu terdapat
hal-hal yang merupakan unsur hakikinya dan pula agar ada segala formalitas
serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu”.
9.Paksaan atau ketakutan besar (vis et
metus): kan. 1103
Pengertian
Suatu
dorongan atau desakan yang tak dapat ditahan atau ditolak (fisik atau moril).
Paksaan atau ketakutan terjadi apabila perkawinan dilaksanakan lebih untuk
menghindari kemungkinan terjadinya sesuatu yang lebih buruk. Perasaan takut
dibedakan dua macam, yakni: perasaan
takut yang biasa (common fear), yang ditimbulkan oleh ancaman / bahaya dari
orang jahat atau orang yang memusuhinya; dan perasaan takut terhadap orang yang
dihormati (reverential fear), ditimbulkan oleh kemungkinan akan terjadinya hal
buruk atau ketidaksenangan pada seseorang yang seharusnya dihormati secara
khusus (mis: orangtua, kakak, pemimpin, wali, dll).
Pembuktian
Perlu
dilihat latar-belakang orang yang bersangkutan, juga bentuk dan tingkat
ketergantungannya pada orang lain atau orangtuanya, konkritnya: hubungan yang
bersifat superior-inferior.
Mengamati
mekanisme terjadinya paksaan atau rasa takut:
- mula-mula ada suatu keyakinan dari pihak inferior mengenai sesuatu yang dimiliki dan dipertahankan oleh pihak superior (kehormatan, nama baik, status ekonomi/sosial, dll)
- keyakinan ini dibarengi keyakinan bahwa pihak inferior harus menjaganya juga: apa yang dimiliki pihak superior terancam oleh kesalahan pihak inferior. Karena itu perkawinan pihak inferior menjadi penyelamat pihak superior.
Melihat
beratnya ancaman, terkait dengan bentuk dan wujud kerugian yang sungguh
diyakini pihak inferior bila tidak terjadi perkawinan. Biasanya didahului
dengan gagalnya usaha meniadakan penyebab ancaman (menghindari hubungan,
menggugurkan kandungan, dll).
0 comments:
Post a Comment