Kesatuan Gereja Yesus Kristus
Kristus merupakan
dasar kesatuan Gereja. Ciri kesatuan itu nampak dalam pembabtisan (1Kor 12:13)
dan Ekaristi (1Kor 10:17). Konsili Vatikan II memahami adanya hubungan Gereja
dengan Allah Triniter. Gereja muncul atau berasal dari Bapa, dilaksanakan oleh
Putera dan diteruskan/disempurnakan oleh Roh Kudus. Gereja muncul dari kehendak
Bapa dan direalisasikan dalam sejarah manusia. Ciri kesatuan Gereja Yesus
Kristus kelihatan nampak dalam sifat-sifat Gereja Kristus: satu, kudus, katolik
dan apotolik.
Satu
Salah satu identitas Gereja adalah kesatuannya. Prinsip
dari kesatuan ini adalah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga Pribadi (Bapa,
Putera dan Roh Kudus). Allah memanggil orang yang beriman kepada Kristus untuk
menjadi umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan membuat mereka menjadi satu tubuh (1Kor
12:12). Identitas kesatuan ini juga nampak dalam hubungan antara para
anggota sendiri yakni dalam iman, dalam cintakasih dan dalam ‘communio’.
Kesatuan tidak berarti keseragaman. Juga dalam hubungan antara para anggota
dipertahankan suatu identitas yang dinamis. Sebab hubungan itu adalah kesatuan
iman. Dengan kesatuan iman itu tidak dimaksudkan suatu kesatuan yang rohani
belaka, tetapi dari lain pihak kesatuan juga tidak boleh dibatasi pada bidang
ungkapan iman belaka. Sebagaimana iman setiap anggota Gereja adalah suatu sikap
iman yang terarahkan kepada Kristus, begitu juga Gereja sebagai keseluruhan
mempunyai pengarahan iman yang sama. Kesatuan itu mendapat ekspresi simbolisnya
yang paling nyata dalam sakramen-sakramen, khususnya ekaristi; tetapi juga
dalam kesatuan ajaran.
Secara historis sifat kesatuan mengalami perkembangan.
Dalam Gereja Purba, Gereja disebut satu karena kesatuan iman akan Tuhan yang
mulia. Tetapi mulai abad kedua dicari norma atau patokan yang lebih konkrit
untuk kesatuan itu. Semula yang menjadi patokan adalah Kitab Suci dan Syahadat.
Pada abad keempat, kesatuan itu diwujdkan dalam partisipasinya dalam ekaristi.
Ternyata tekanan pada segi yuridis mengakibatkan terpecahnya kesatuan
kristiani, khususnya pada zaman reformasi. Kesatuan Gereja dalam pelaksanaan
historisnya baru dapat menjadi kesatuan sebagai perwujudan identitas Gereja,
kalau semua itu tidak hanya memperlihatkan –bagaimanapun juga bentuknya- tetapi
sekaligus juga melaksanakan kesatuan dalam iman. Oleh karena itu
kesatuan Gereja tidak pernah merupakan sifat yang statis, tetapi harus
dilaksanakan dalam perkembangan historis. Communio
adalah pelaksanaan kesatuan yang nyata. Maka kesatuan Gereja pertama-tama
terlaksana dalam kesatuan dengan Kristus dalam perayaan ekaristi, yang kemudian
juga dinyatakan dalam hubungan para anggota Gereja setempat. Communio antara
para Gereja lokal akhirnya membentuk kesatuan Gereja universal.
Kudus
Dari LG a. 39 jelaslah bahwa kekudusan Gereja tidak
dimaksudkan kesalehan para anggotanya. “Kita percaya bahwa Gereja….tak dapat
kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus Putera Allah, yang bersama dengan Roh dipuji
bahwa “hanya Dialah yang suci”. Gereja menerima kesucian sebagai anugerah dari
Allah dalam Kristus oleh iman. Kesucian tidak datang dari Gereja, tetapi dari
Allah yang oleh Roh mempersatukan Gereka dengan Kristus. Dilihat dari segi
Gereja pokok kesucian adalah iman, harapan dan kasih sebagai hubungan pribadi
dengan Allah.
Dalam Perjanjian Lama, kata ‘kudus’ menterjemahkan
arti kata Yunani: “hieros” dan “hagios”. Arti kedua kata itu kurang lebih sama,
yakni “ilahi”, “mendasyatkan” . Dalam LXX kata ‘hagios’ dipakai untuk
menterjemahkan kata ibrani “KDS”. Dari etimologi kata KDS barangkali berarti:
yang dikhususkan, dipisahkan, jadi bidang sakral. Dalam setiap agama ada
tempat, waktu, barang, orang dlsb yang disebut ‘suci’ karena secara khusus
diperuntukkan untuk Yahwe. Keistimewaan Israel bukan bahwa mereka mempunyai
ibadat atau hari raya religius. Keunikan Israel adalah bahwa Yahwelah Allah
Israel dan bahwa Yahwe mempunyai hubungan serba istimewa dengan Israel.
Dalam Perjanjian Baru ciri kekudusan Gereja adalah karena
hubungannya dengan Roh Kudus. Dalam PB, kekudusan dikerjakan oleh Roh Kudus:
“menjadi suatu persembahan yang berkenan pada Allah, dikuduskan oleh Roh Kudus”
(Rom 15,16; 1Kor 1:2). Kekudusan PB adalah kekudusan iman, kekudusan yang dikerjakan
oleh Allah (lih. Yoh 17:17, 1Tes 5:23; Ibr 10: 10.4): “menjadi orang pilihan
karena, karena pengetahuan Allah, dalam pengudusan Roh, untuk ketaatan kepada
Kristus” (1Petr 1:2). Dengan demikian kaum beriman disebut “orang-orang
tercinta oleh Allah dan dikuduskan karena terpanggil” (Rom 1:7); supaya kita
hidup kudus dan tak bercela (Ef 1:4). Gereja disebut kudus karena pusatnya
adalah Allah.
Katolik
Kata ‘katolik’ semula berarti: Gereja yang universil,
dilawankan dengan Gereja setempat. Arti itu cocok dengan arti kata yang profan:
umum, dilawankan dengan kata khusus. Dalam abad berikutnya (misal dalam Martyrium Polycarpi) masih tetap
mempunyai arti Gereja universal. Tetapi disamping itu juga dipakai dengan arti:
Gereja yang benar, yang ortodox, yang dilawankan dengan bidaah. Dalam abad 4,
kata ‘katolik’ mempunyai arti yang luas: Gereja disebut katolik karena tersebar
di seluruh dunia, dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain; tetapi
juga sebab secara umum Gereja mengajarkan segala ajaran yang harus diketahui
orang mengenai hal-hal yang kelihatan dan yang tak kelihatan, surgawi dan
duniawi dsb. Istilah ‘katolik’ sudah ada dalam syahadat paling tua, namun
secara eksplisit baru dipakan dalam konsili Konstantinopol (381), dengan
dikatakan “Gereja yang satu, kudus, katolik. Sejak reformasi arti geografis-kuantitatif
semakin ditekankan: Gereja disebut ‘katolik’ karena tersebar dimana-mana. Dalam
LG a. 13 dikemukakan arti pneumatis: Gereja disebut ‘katolik’ karena
kepenuhan oleh Roh Kudus, yang menuju kepada kepada pelaksanaan karya
keselamatan dalam seluruh Gereja. Oleh sebab itu kekatolikan Gereja dapat
dirumuskan: kepenuhan rahmat Kristus untuk kepenuhan dunia melalui Gereja.
Jadi dengan kekatolikan Gereja dimaksudkan keterbukaan rahmat atau karya keselamatan
bagi seluruh dunia.
Apostolik
Gereja disebut ‘apostolik’, karena berhubungan dengan para
Rasul yang diutus oleh Kristus. Keapostolikan Gereja adalah sifat identitas:
Gereja sekarang sama dengan Gereja para Rasul. Bahkan identitas Gereja sekarang
tak lain dan tak bukan adalah kesamaan dengan Gereja para rasul. Namun demikian
sifat apostolik Gereja tidak pertama-tama berarti hubungan historis dengan
Rasul-rasul, melainkan menyatakan kesamaan seluruh Gereja sekarang dengan
seluruh Gereja zaman Rasul. Kesamaan itu dinyatakan dalam segala bidang
kehidupan Gereja, terutama dalam hal ajaran, ibadat dan struktur. Tetapi
kesatuan ini pun bersifat dinamis: keapostolikan Gereja tidak berarti bahwa
Gereja sekarang merupakan ‘copy’ dari gereja purba. Kesamaan terdapat dalam
pengarahan iman yang sama.
Dan oleh karena pewartaan para Rasul serta pernyataan iman
mereka de fakto terungkapkan dalam Kitab Suci, maka sifat apostolik
Gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Injil sebagai
ungkapan iman harus disimpan dan diteruskan
dalam iman. Kesatuan dengan Gereja Purba adalah kesatuan yang hidup,
yang pusatnya adalah Alkitab yang dalam keseluruhannya disebut Tradisi.
Secara konkrit tradisi berarti suatu konfrontasi terus menerus antara situasi Gereja
sekarang dengan pewartaan Alkitab. Disini termasuk pula realita tradisi
hirarki. Keapostolikan Gereja merupakan kesatuan lahiriah Gereja yang dulu
dijamin terutama oleh pemimpin Gereja Purba, sekarang dilanjutkan dengan
kepemimpinan hirarkis Gereja.
0 comments:
Post a Comment