Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Monday, January 28, 2013

Kesatuan Gereja Yesus Kristus


Kesatuan Gereja Yesus Kristus


           Kristus merupakan dasar kesatuan Gereja. Ciri kesatuan itu nampak dalam pembabtisan (1Kor 12:13) dan Ekaristi (1Kor 10:17). Konsili Vatikan II memahami adanya hubungan Gereja dengan Allah Triniter. Gereja muncul atau berasal dari Bapa, dilaksanakan oleh Putera dan diteruskan/disempurnakan oleh Roh Kudus. Gereja muncul dari kehendak Bapa dan direalisasikan dalam sejarah manusia. Ciri kesatuan Gereja Yesus Kristus kelihatan nampak dalam sifat-sifat Gereja Kristus: satu, kudus, katolik dan apotolik.

Satu
          Salah satu identitas Gereja adalah kesatuannya. Prinsip dari kesatuan ini adalah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga Pribadi (Bapa, Putera dan Roh Kudus). Allah memanggil orang yang beriman kepada Kristus untuk menjadi umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan membuat mereka menjadi satu tubuh (1Kor 12:12). Identitas kesatuan ini juga nampak dalam hubungan antara para anggota sendiri yakni dalam iman, dalam cintakasih dan dalam ‘communio’. Kesatuan tidak berarti keseragaman. Juga dalam hubungan antara para anggota dipertahankan suatu identitas yang dinamis. Sebab hubungan itu adalah kesatuan iman. Dengan kesatuan iman itu tidak dimaksudkan suatu kesatuan yang rohani belaka, tetapi dari lain pihak kesatuan juga tidak boleh dibatasi pada bidang ungkapan iman belaka. Sebagaimana iman setiap anggota Gereja adalah suatu sikap iman yang terarahkan kepada Kristus, begitu juga Gereja sebagai keseluruhan mempunyai pengarahan iman yang sama. Kesatuan itu mendapat ekspresi simbolisnya yang paling nyata dalam sakramen-sakramen, khususnya ekaristi; tetapi juga dalam kesatuan ajaran.
          Secara historis sifat kesatuan mengalami perkembangan. Dalam Gereja Purba, Gereja disebut satu karena kesatuan iman akan Tuhan yang mulia. Tetapi mulai abad kedua dicari norma atau patokan yang lebih konkrit untuk kesatuan itu. Semula yang menjadi patokan adalah Kitab Suci dan Syahadat. Pada abad keempat, kesatuan itu diwujdkan dalam partisipasinya dalam ekaristi. Ternyata tekanan pada segi yuridis mengakibatkan terpecahnya kesatuan kristiani, khususnya pada zaman reformasi. Kesatuan Gereja dalam pelaksanaan historisnya baru dapat menjadi kesatuan sebagai perwujudan identitas Gereja, kalau semua itu tidak hanya memperlihatkan –bagaimanapun juga bentuknya- tetapi sekaligus juga melaksanakan kesatuan dalam iman. Oleh karena itu kesatuan Gereja tidak pernah merupakan sifat yang statis, tetapi harus dilaksanakan dalam perkembangan historis. Communio adalah pelaksanaan kesatuan yang nyata. Maka kesatuan Gereja pertama-tama terlaksana dalam kesatuan dengan Kristus dalam perayaan ekaristi, yang kemudian juga dinyatakan dalam hubungan para anggota Gereja setempat. Communio antara para Gereja lokal akhirnya membentuk kesatuan Gereja universal.

Kudus
          Dari LG a. 39 jelaslah bahwa kekudusan Gereja tidak dimaksudkan kesalehan para anggotanya. “Kita percaya bahwa Gereja….tak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus Putera Allah, yang bersama dengan Roh dipuji bahwa “hanya Dialah yang suci”. Gereja menerima kesucian sebagai anugerah dari Allah dalam Kristus oleh iman. Kesucian tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang oleh Roh mempersatukan Gereka dengan Kristus. Dilihat dari segi Gereja pokok kesucian adalah iman, harapan dan kasih sebagai hubungan pribadi dengan Allah.
          Dalam Perjanjian Lama, kata ‘kudus’ menterjemahkan arti kata Yunani: “hieros” dan “hagios”. Arti kedua kata itu kurang lebih sama, yakni “ilahi”, “mendasyatkan” . Dalam LXX kata ‘hagios’ dipakai untuk menterjemahkan kata ibrani “KDS”. Dari etimologi kata KDS barangkali berarti: yang dikhususkan, dipisahkan, jadi bidang sakral. Dalam setiap agama ada tempat, waktu, barang, orang dlsb yang disebut ‘suci’ karena secara khusus diperuntukkan untuk Yahwe. Keistimewaan Israel bukan bahwa mereka mempunyai ibadat atau hari raya religius. Keunikan Israel adalah bahwa Yahwelah Allah Israel dan bahwa Yahwe mempunyai hubungan serba istimewa dengan Israel.
          Dalam Perjanjian Baru  ciri kekudusan Gereja adalah karena hubungannya dengan Roh Kudus. Dalam PB, kekudusan dikerjakan oleh Roh Kudus: “menjadi suatu persembahan yang berkenan pada Allah, dikuduskan oleh Roh Kudus” (Rom 15,16; 1Kor 1:2). Kekudusan PB adalah kekudusan iman, kekudusan yang dikerjakan oleh Allah (lih. Yoh 17:17, 1Tes 5:23; Ibr 10: 10.4): “menjadi orang pilihan karena, karena pengetahuan Allah, dalam pengudusan Roh, untuk ketaatan kepada Kristus” (1Petr 1:2). Dengan demikian kaum beriman disebut “orang-orang tercinta oleh Allah dan dikuduskan karena terpanggil” (Rom 1:7); supaya kita hidup kudus dan tak bercela (Ef 1:4). Gereja disebut kudus karena pusatnya adalah Allah.
           
Katolik
          Kata ‘katolik’ semula berarti: Gereja yang universil, dilawankan dengan Gereja setempat. Arti itu cocok dengan arti kata yang profan: umum, dilawankan dengan kata khusus. Dalam abad berikutnya (misal dalam Martyrium Polycarpi) masih tetap mempunyai arti Gereja universal. Tetapi disamping itu juga dipakai dengan arti: Gereja yang benar, yang ortodox, yang dilawankan dengan bidaah. Dalam abad 4, kata ‘katolik’ mempunyai arti yang luas: Gereja disebut katolik karena tersebar di seluruh dunia, dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain; tetapi juga sebab secara umum Gereja mengajarkan segala ajaran yang harus diketahui orang mengenai hal-hal yang kelihatan dan yang tak kelihatan, surgawi dan duniawi dsb. Istilah ‘katolik’ sudah ada dalam syahadat paling tua, namun secara eksplisit baru dipakan dalam konsili Konstantinopol (381), dengan dikatakan “Gereja yang satu, kudus, katolik. Sejak reformasi arti geografis-kuantitatif semakin ditekankan: Gereja disebut ‘katolik’ karena tersebar dimana-mana. Dalam LG a. 13 dikemukakan arti pneumatis: Gereja disebut ‘katolik’ karena kepenuhan oleh Roh Kudus, yang menuju kepada kepada pelaksanaan karya keselamatan dalam seluruh Gereja. Oleh sebab itu kekatolikan Gereja dapat dirumuskan: kepenuhan rahmat Kristus untuk kepenuhan dunia melalui Gereja. Jadi dengan kekatolikan Gereja dimaksudkan keterbukaan rahmat atau karya keselamatan bagi seluruh dunia.


Apostolik
          Gereja disebut ‘apostolik’, karena berhubungan dengan para Rasul yang diutus oleh Kristus. Keapostolikan Gereja adalah sifat identitas: Gereja sekarang sama dengan Gereja para Rasul. Bahkan identitas Gereja sekarang tak lain dan tak bukan adalah kesamaan dengan Gereja para rasul. Namun demikian sifat apostolik Gereja tidak pertama-tama berarti hubungan historis dengan Rasul-rasul, melainkan menyatakan kesamaan seluruh Gereja sekarang dengan seluruh Gereja zaman Rasul. Kesamaan itu dinyatakan dalam segala bidang kehidupan Gereja, terutama dalam hal ajaran, ibadat dan struktur. Tetapi kesatuan ini pun bersifat dinamis: keapostolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja sekarang merupakan ‘copy’ dari gereja purba. Kesamaan terdapat dalam pengarahan iman yang sama.
          Dan oleh karena pewartaan para Rasul serta pernyataan iman mereka de fakto terungkapkan dalam Kitab Suci, maka sifat apostolik Gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Injil sebagai ungkapan iman harus disimpan dan diteruskan  dalam iman. Kesatuan dengan Gereja Purba adalah kesatuan yang hidup, yang pusatnya adalah Alkitab yang dalam keseluruhannya disebut Tradisi. Secara konkrit tradisi berarti suatu konfrontasi terus menerus antara situasi Gereja sekarang dengan pewartaan Alkitab. Disini termasuk pula realita tradisi hirarki. Keapostolikan Gereja merupakan kesatuan lahiriah Gereja yang dulu dijamin terutama oleh pemimpin Gereja Purba, sekarang dilanjutkan dengan kepemimpinan hirarkis Gereja.

0 comments:

Post a Comment