Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Monday, January 28, 2013

Manusia harus dipahami sebagai makhluk bermartabat


Manusia harus dipahami sebagai makhluk Bermartabat



Mengapa manusia harus dipahami sebagai makhluk bermartabat? Inilah yang mejadi persoalan dan titik tolak filsafat manusia dalam melihat hal yang hakiki mengenai manusia.

Definisi mengenai manusia. Manusia dalam bahasa inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo-Saxon, mann). Apa arti dasar dari kata ini tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa dikaitkan dengan mens (Latin), yang berarti “ada yang berpikir”. Demikian halnya arti kata anthropos (Yun). Semula anthropos berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Akan tetapi sekarang kata dipakai untuk mengartikan “wajah manusia”. Dan akhirnya, homo dalam bahasa Latin berarti “orang yang dilahirkan di atas bumi” (bandingkan dengan humus). Beberapa definisi alternatif tentang hakikat manusia sebagaimana dirumuskan oleh beberapa filsuf. Plato: manusia pada hakikatnya sebagai suatu kesatuan pikiran, kehendak dan nafsu-nafsu. Aristoteles: Manusia adalah “makluk rasional”. Hsun Tzu: pada hakikatnya manusia itu jahat, dan dengan begitu memerlukan latihan disiplin tubuh yabg keras. William dari Ochkam: manusia sebagai suppositum intellectuale,  makluk rasional utuh yang berada pada dirinya sendiri. Cassirer memandang manusia sebagai “animale symbolicum” yang kodratnya dapat dikenal hanya secara tidak langsung melalui simbol-simbol. Descartes: subyek yang sebenarnya dalam diri manusia tidak lain dan tidak bukan adalah jiwa. Jiwa memiliki pemikiran sebagai sifat asasinya . Yang termasuk pemikiran adalah segala sesuatu yang terjadi dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan inderawi, khayalan, akal, kehendak. Sifat hakiki pemikiran ialah kesadaran (cogito).

Melalui definisi etimologis mengenai manusia menjadi kelihatan identitas manusia, hakekatnya. Namun demikian kita tidak bisa melihat hakikat manusia secara spasial, atau perbaian saja. Kita tidak bisa melihat manusia hanya pada aspek “jiwa”, “kesadaran” atau “tubuh”nya saja. Manusia sebagai pengada bereksisten harus dipahami secara menyeluruh. Inilah sebabnya mengapa manusia harus dipahami sebagai makluk bermartabat. Beberapa pengertian mengenai martabat. Istilah martabat berasal dari kata dignity (Inggris), dignitas-dignus (Latin) yang berarti: layak, patut, wajar. Secara singkat martabat berarti konsep moralitas yang menyatakan tingkat nilai atau bobot seorang pribadi. Martabat juga merupakan kategori etis yang mencerminkan suatu sikap moral pribadi terhadap diri sendiri dan sikap masyarakat terhadap seorang pribadi. Tingkat nilai atau bobot inilah yang membedakan manusia dengan pengada yang lain (binatang, tumbuhan, benda mati). Martabat merupakan nilai instrinsik yang membuat manusia berarti, bernilai dibanding dengan pengada lain. Karena mempunyai tingkat nilai atau bobot manusia tidak dapat dijadikan obyek, diperalat, diperbudak atau dijadikan sarana untuk mencapai tujuan tertentu baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. I. Kant menyebut dimensi martabat manusia karena rasio-nya, Mac. Murray melihat manusia sebagai makluk yang menyadari maksud dari tindakannya. Sementara itu Tomas Aquinas memandang manusia sebagai makluk bermartabat karena statusnya sebagai citra Allah yang memiliki similitudo dan imago Dei. Similitudo adalah keluhurannya atas makluk ciptaaan yang lain, sedangkan imago lebih menunjuk pada panggilan terdalam untuk bersatu dalam hidup ilahi. Pemahaman mengenai manusia sebagai makhluk yang bermartabat sekali lagi mesti dilihat secara menyeluruh. Yang mencirikan manusia sebagai makhluk bermartabat:

Manusia sebagai makhluk hidup (Homo Vivens). Kehidupan manusia menjadi problematik dan harus dijelaskan, mengingat makhluk lain (binatang dan tumbuhan juga hidup, bahkan mesinpun dikatakan “hidup”. Hal ini pelu dijelaskan lebih lanjut, misal: mengapa manusia perlu mempertahankan hidup (moral hidup)? Mengapa hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan hidup (rekayasa gen) perlu dipertimbangkan.

Kegiatan merupakan ciri khas makhluk hidup. “Hidup” berarti bergerak, melakukan kegiatan. Namun demikian terdapat perbedaan yang mencolok dalam diri manusia.
-Pada benda mati, pergerakan bersifat mencari keseimbangan alami, didorong dari luar. Gerakannya disebut pergerakan dari luar/motus ab extrinseco. Misal: gravitasi bumi yang menarik benda-benda jatuh ke bawah, hukum kinetis. Sifat kegiatan: sesaat, sepotong-sepotong tergantung ada-tidaknya dorongan dari luar. Maka kegiatannya bersifat sesaat/actio transiens.
- Pada benda hidup gerakan muncul dari dalam, ada spontanitas yang mendorongnya dari dalam. Gerakan yang muncul dari dalam ini disebut motus ab intrinseco. Gerakan yang terjadi bersifat ajeg, terus-menerus selama makhluk hidup itu hidup. Kegiatan ini merupakan tanda kehidupan tersendiri dan disebut actio imanens.

Kekhasan makhluk hidup dan manusia. Makhluk hidup adalah sesuatu yang secara esensial berkecenderungan mempertahankan dan mengembangakan dirinya: melangsungkan hidup, membela diri dan reproduksi. Dalam diri makhluk hidup juga terdapat kecenderungan untuk menyempurnakan diri/otoperfektif. Dan setiap makluk hidup mempunyai jiwa yang menjadi. Jiwa tersebut dibedakan menurut ciri dan masing-masing tataran: jiwa vegeter: bertindak dengan kualitas ragani. Identik dengan kegiatan fisiknya. Pada tanaman tumbuhnya akar, batang dan daun sudah merupakan seluruh kegiatannya. Jiwa sensitif: bertindak mengatasi raganya. Kegiatan yang dihasilkan adalan perasaan-perasaan, indera, senang, susah, sakit, nikmat. Fisik menjadi jembatan untuk dapat merasa. Jiwa rohani: bertindak mengatasi raganya dan perasaannya. Kegiatan jiwa rohani bersifat mandiri, terlepas dan terpisah dari kegiatan-kegiatan fisik-kimiawi, maupun perasaan instingtuilnya. Hasilnya berupa pemikiran, rancangan, ide-ide.
                               
Manusia adalah makhluk badani (Homo somaticus). Kebertubuhan merupakan komponen yang hakiki dari keberadaan manusia. Namun “aku” lebih dari sekedar tubuhku. Ada sesuatu dalam diriku yang membuatku melalui batas-batas yang sudah ditentukan. Badan merupakan sistem yang kompleks, tetapi menjadi bagian dan “kesatuan substansial” yang tak terpisahkan dari jiwanya. Melalui tubuhnya manusia dapat melakukan fungsi-fungsi, seperti penduniaan (“pengada di dunia” yang berada dalam ruang dan waktu/spatio-temporal), sosial (manusia hadir dihadapan orang lain), epistemologis (manusia mengetahui, menganalisa alam sekitar/obyek lain), fungsi ekonomis (manusia memiliki dunia, barang-barang yang dikuasai perluasan dari tubuhnya: kaca mata/mikroskop perluasa mata, telepon perluasan telinga, kendaraan perluasan kaki, geraknya), fungsi asketis (perohanian).

Manusia makhluk yang berbicara (Homo Loquens). Berbicara merupakan identitas manusia. Ernst Cassirer mengatakan bahwa manusia adalah “makhluk simbolis” (animal symbolicum). Berkat kemampuannya menggunakan isyarat, tanda dan simbol manusia tak sekedar hidup di dunia jasmani dan materi saja, melainkan juga dalam dunia abstrak, ide-ide dan pemikiran. “Berbicara” memperlihatkan apa yang hakiki pada manusia, sebab dalam berbicara nampak 1) adanya “kesatuan substansial” (identitas) si pembicara yang tetap mandiri. 2) Adanya “interioritas”, kedalaman, kerohanian, sebagai sumber ungkapan. Seperti sumber air mengeluarkan air dari kedalaman, demikian si pembicara, penulis, pengkotbah mengeluarkan kata-kata yang bermakna dari kedalamannya, interioritasnya.  3) Adanya keterbukaan terhadap dunia, ia keluar dari dirinya “untuk” memperlihatkan kehadirannya dihadapan orang lain, menyatakan diri, idenya, gagasan-gagasannya maupun perasaannya. 4) Adanya kemampuan untuk menerima dari luar dan mencipta kembali yang menunjukkan bahwa ia hidup, berkomunikasi dengan yang lain.

Manusia mengetahui (Homo sapiens). Pengetahuan merupakan ciri keunggulan (kualifikasi) atau mutu adanya. Suatu mahkluk hidup dikatakan mengungguli yang lain apabila ia lebih tahu. Binatang lebih unggul dari tumbuhan dan manusia mengungguli binatang berkat pengetahuannya yang lebih luas dan lebih tinggi. Manusia dapat mengetahui karena manusia bisa “mengambil jarak” terhadap obyek. Descartes melalui cogito ergo sum-nya secara jelas mengungkpakan bahwa rasio merupakan tolok ukur keberadaan manusia. “Aku” menggantikan “jiwa”, tetapi “aku” disini adalah “aku” rasional, “aku” yang sadar.

Manusia merasakan (Homo sentiens). Berbeda dari mesin dan binatang dan termasuk didalamnya manusia, mempunyai perasaan. Namun perasaan manusia jauh lebih kompleks dari perasaan binatang. Binatang dapat merasakan sakit, senang. Pada binatang perasaan bersifat spontan, pada manusia bisa bertahan lama, mendalam dan membentuk kepribadiannya. Perasaan manusia disebut afeksi. Afeksi inilah yang mebedakan manusia dengan binatang. Afeksi melengkapi pengetahuan manusia sehingga ia terdorong untuk bergerak. Gejala afeksi: rasa tertarik, heran, terpesona. Dalam afeksi terdapat dua macam disposisi dasar yakni cinta dan benci.

Manusia berkehendak (Homo volens). Kehendak merupakan kekhususan manusia, yang menjadikannya makhkuk moral. Dalam hal ini kehendak  dan kebebasan berkaitan erat. Karena manusia itu mempunyai kehendak dan kebebasan, maka ia bisa menjadi baik, tetapi juga bisa menjadi buruk dari dirinya sendiri. Berkat kehendaknya manusia bisa memilih  dan menginginkan.  Manusia cenderung menghendaki apa ‘yang baik’. Plato menyebutnya dengan istilah sub specie boni (manusia selalu dimotivasikan oleh kebaikan). Tomas Aquinas menyatakan bahwa secara hakiki kehendak selalu terarah kepada Tuhan, ‘Ada Yang Mutlak’. Kehendak juga mengisyaratkan adanya kebebasan. Manusia mau dengan sengaja (voluntarily) mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan karena alasan kebaikan yang lebih masuk akal, lebih besar. Kebebasan disini berarti “tidak ada yang memaksa” atau “tidak terpaksa”. Melalui kebebasan fisik memungkinkan orang untuk menjalankan kehendaknya, sedangkan kebebasan psikis  membuat orang bebas memilih.

Manusia bekerja (Homo faber). Manusia secara hakiki bekerja. Namun pekerjaan manusia bukanlah mencipta melainkan mengubah atas bahan-bahan yang sudah ada, yakni dunia. Manusia tidak bekerja dari kekosongan, ia hanya mampu mengubah dan membuat sesuatu berdasarkan model yang sudah ada, yakni alam. Dari lain pihak, kita melihat jarak yang jauh antara lingkup kerja dan hakikat manusia. Dalam pekerjaannya manusia berusaha mengungkapkan dirinya, mengkomunikasikan dirinnya, mengambil bagin dunia untuk diintegrasikan dalam dirinya, memanusiakan sebagian kosmos. Melalui kerja manusia bersosialitas dengan manusia yang lain. Manusia saling bekerjasama dengan manusia yang lain baik dalam produksi maupun konsumsi. Akhirnya pekerjaan membawa manusia untuk mentransendensikan dirinya; ia tidak pernah puas pada hasil pekerjaannya, selalui ingin memperbaikinya. Dengan bekerja kecenderungan manusia mencari keabadian dan kesempurnaan diungkapkan.

Manusia makhluk sesama (Homo Socialis). Manusia secara hakiki bersifat sosial.  Manusia selalu ditemukan dalam kelompok, mula-mula dari kelompok kecil: keluarga, klan, suku, lambat laun dalam kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara. Singkat kata manusia tidak pernah sendiri, melainkan selalu terkait dengan sesamanya (dimensi intersubyektif). Ciri sosial ini tampak pada kehidupan bersama dengan yang lain dan berkomunikasi dengan mereka, bertukar pengalaman, sharing emosi dan milik dsb.

Manusia mempunyai nilai transendensi (Homo religiosus).
Manusia pada hakekatnya selalu mengarahkan pada hal-hal/nilai-nilai yang transenden.
Sebab utama adalah karena keterbatasannya dan ketergantungannya. Melalui kesadaran ini manusia menjadi terbuka pada Keberadaan, Kenyataan yang lebih tinggi. Dengan kesadarannya manusia mampu mengarahkan kepada Keberadaan yang lebih tinggi itu, dan melalui Realitas Tertinggi itu manusia memperoleh pengertian-pengertian, kebijaksanaan.

0 comments:

Post a Comment