Manusia harus dipahami sebagai makhluk Bermartabat
Mengapa
manusia harus dipahami sebagai makhluk bermartabat? Inilah yang mejadi
persoalan dan titik tolak filsafat manusia dalam melihat hal yang hakiki
mengenai manusia.
Definisi mengenai manusia.
Manusia dalam bahasa inggris disebut man
(asal kata dari bahasa Anglo-Saxon, mann).
Apa arti dasar dari kata ini tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa dikaitkan
dengan mens (Latin), yang berarti
“ada yang berpikir”. Demikian halnya arti kata anthropos (Yun). Semula anthropos
berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Akan tetapi sekarang kata dipakai
untuk mengartikan “wajah manusia”. Dan akhirnya, homo dalam bahasa Latin berarti “orang yang dilahirkan di atas
bumi” (bandingkan dengan humus).
Beberapa definisi alternatif tentang hakikat manusia sebagaimana dirumuskan
oleh beberapa filsuf. Plato: manusia pada hakikatnya sebagai suatu kesatuan pikiran,
kehendak dan nafsu-nafsu. Aristoteles:
Manusia adalah “makluk rasional”. Hsun
Tzu: pada hakikatnya manusia itu jahat, dan dengan begitu memerlukan
latihan disiplin tubuh yabg keras. William dari Ochkam: manusia sebagai suppositum intellectuale, makluk rasional utuh yang berada pada dirinya
sendiri. Cassirer memandang manusia
sebagai “animale symbolicum” yang
kodratnya dapat dikenal hanya secara tidak langsung melalui simbol-simbol. Descartes: subyek yang sebenarnya dalam
diri manusia tidak lain dan tidak bukan adalah jiwa. Jiwa memiliki pemikiran
sebagai sifat asasinya . Yang termasuk pemikiran adalah segala sesuatu yang
terjadi dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan
pengenalan inderawi, khayalan, akal, kehendak. Sifat hakiki pemikiran ialah kesadaran (cogito).
Melalui definisi
etimologis mengenai manusia menjadi kelihatan identitas manusia, hakekatnya.
Namun demikian kita tidak bisa melihat hakikat manusia secara spasial, atau
perbaian saja. Kita tidak bisa melihat manusia hanya pada aspek “jiwa”,
“kesadaran” atau “tubuh”nya saja. Manusia sebagai pengada bereksisten harus
dipahami secara menyeluruh. Inilah
sebabnya mengapa manusia harus dipahami sebagai makluk bermartabat. Beberapa pengertian mengenai martabat. Istilah
martabat berasal dari kata dignity
(Inggris), dignitas-dignus (Latin)
yang berarti: layak, patut, wajar. Secara singkat martabat berarti konsep
moralitas yang menyatakan tingkat nilai
atau bobot seorang pribadi. Martabat
juga merupakan kategori etis yang mencerminkan suatu sikap moral pribadi terhadap diri sendiri dan sikap masyarakat
terhadap seorang pribadi. Tingkat nilai atau bobot inilah yang membedakan
manusia dengan pengada yang lain (binatang, tumbuhan, benda mati). Martabat merupakan nilai
instrinsik yang membuat manusia berarti,
bernilai dibanding dengan pengada lain. Karena mempunyai tingkat nilai atau
bobot manusia tidak dapat dijadikan obyek, diperalat, diperbudak atau dijadikan
sarana untuk mencapai tujuan tertentu baik oleh dirinya sendiri maupun oleh
orang lain. I.
Kant menyebut dimensi martabat manusia karena rasio-nya, Mac. Murray melihat manusia sebagai
makluk yang menyadari maksud dari tindakannya. Sementara
itu Tomas Aquinas memandang manusia sebagai makluk bermartabat karena statusnya
sebagai citra Allah yang memiliki similitudo
dan imago Dei. Similitudo adalah
keluhurannya atas makluk ciptaaan yang lain, sedangkan imago lebih menunjuk
pada panggilan terdalam untuk bersatu dalam hidup ilahi. Pemahaman mengenai
manusia sebagai makhluk yang bermartabat sekali lagi mesti dilihat secara menyeluruh. Yang mencirikan manusia
sebagai makhluk bermartabat:
Manusia sebagai makhluk hidup (Homo Vivens). Kehidupan manusia menjadi problematik dan harus
dijelaskan, mengingat makhluk lain (binatang dan tumbuhan juga hidup, bahkan
mesinpun dikatakan “hidup”. Hal ini pelu dijelaskan lebih lanjut, misal:
mengapa manusia perlu mempertahankan hidup (moral hidup)? Mengapa hal-hal yang
berkaitan dengan pengelolaan hidup (rekayasa gen) perlu dipertimbangkan.
Kegiatan merupakan ciri khas makhluk hidup. “Hidup”
berarti bergerak, melakukan kegiatan. Namun demikian terdapat perbedaan yang
mencolok dalam diri manusia.
-Pada benda
mati, pergerakan bersifat mencari keseimbangan alami, didorong dari luar.
Gerakannya disebut pergerakan dari luar/motus
ab extrinseco. Misal: gravitasi bumi yang menarik benda-benda jatuh ke
bawah, hukum kinetis. Sifat kegiatan: sesaat, sepotong-sepotong tergantung
ada-tidaknya dorongan dari luar. Maka kegiatannya bersifat sesaat/actio transiens.
- Pada benda
hidup gerakan muncul dari dalam, ada spontanitas yang mendorongnya dari
dalam. Gerakan yang muncul dari dalam ini disebut motus ab intrinseco. Gerakan yang terjadi bersifat ajeg,
terus-menerus selama makhluk hidup itu hidup. Kegiatan ini merupakan tanda
kehidupan tersendiri dan disebut actio
imanens.
Kekhasan
makhluk hidup dan manusia. Makhluk hidup adalah sesuatu yang secara esensial
berkecenderungan mempertahankan dan mengembangakan dirinya: melangsungkan
hidup, membela diri dan reproduksi. Dalam diri makhluk hidup juga terdapat
kecenderungan untuk menyempurnakan diri/otoperfektif.
Dan setiap makluk hidup mempunyai jiwa yang menjadi. Jiwa tersebut dibedakan
menurut ciri dan masing-masing tataran: jiwa
vegeter: bertindak dengan kualitas ragani. Identik dengan kegiatan fisiknya.
Pada tanaman tumbuhnya akar, batang dan daun sudah merupakan seluruh
kegiatannya. Jiwa sensitif:
bertindak mengatasi raganya. Kegiatan yang dihasilkan adalan perasaan-perasaan,
indera, senang, susah, sakit, nikmat. Fisik menjadi jembatan untuk dapat merasa.
Jiwa rohani: bertindak mengatasi
raganya dan perasaannya. Kegiatan jiwa rohani bersifat mandiri, terlepas dan
terpisah dari kegiatan-kegiatan fisik-kimiawi, maupun perasaan instingtuilnya.
Hasilnya berupa pemikiran, rancangan, ide-ide.
Manusia adalah makhluk
badani (Homo
somaticus). Kebertubuhan
merupakan komponen yang hakiki dari keberadaan manusia. Namun “aku” lebih dari
sekedar tubuhku. Ada sesuatu dalam diriku yang membuatku melalui batas-batas
yang sudah ditentukan. Badan merupakan sistem yang kompleks, tetapi menjadi
bagian dan “kesatuan substansial” yang tak terpisahkan dari jiwanya. Melalui
tubuhnya manusia dapat melakukan fungsi-fungsi, seperti penduniaan (“pengada di
dunia” yang berada dalam ruang dan waktu/spatio-temporal),
sosial (manusia hadir dihadapan orang lain), epistemologis (manusia mengetahui,
menganalisa alam sekitar/obyek lain), fungsi ekonomis (manusia memiliki dunia,
barang-barang yang dikuasai perluasan dari tubuhnya: kaca mata/mikroskop
perluasa mata, telepon perluasan telinga, kendaraan perluasan kaki, geraknya),
fungsi asketis (perohanian).
Manusia makhluk yang
berbicara (Homo Loquens). Berbicara merupakan
identitas manusia. Ernst Cassirer
mengatakan bahwa manusia adalah “makhluk simbolis” (animal symbolicum). Berkat kemampuannya menggunakan isyarat, tanda
dan simbol manusia tak sekedar hidup di dunia jasmani dan materi saja,
melainkan juga dalam dunia abstrak, ide-ide dan pemikiran. “Berbicara”
memperlihatkan apa yang hakiki pada manusia, sebab dalam berbicara nampak 1) adanya
“kesatuan substansial” (identitas)
si pembicara yang tetap mandiri. 2) Adanya “interioritas”,
kedalaman, kerohanian, sebagai sumber ungkapan. Seperti sumber air
mengeluarkan air dari kedalaman, demikian si pembicara, penulis, pengkotbah
mengeluarkan kata-kata yang bermakna dari kedalamannya, interioritasnya. 3) Adanya
keterbukaan terhadap dunia, ia keluar dari dirinya “untuk” memperlihatkan
kehadirannya dihadapan orang lain, menyatakan diri, idenya, gagasan-gagasannya
maupun perasaannya. 4) Adanya kemampuan untuk menerima dari luar dan mencipta kembali yang menunjukkan bahwa ia
hidup, berkomunikasi dengan yang lain.
Manusia mengetahui (Homo sapiens). Pengetahuan merupakan ciri keunggulan (kualifikasi) atau mutu adanya. Suatu mahkluk hidup dikatakan mengungguli yang lain apabila ia lebih tahu. Binatang lebih unggul dari
tumbuhan dan manusia mengungguli binatang berkat pengetahuannya yang lebih luas
dan lebih tinggi. Manusia dapat mengetahui karena
manusia bisa “mengambil jarak” terhadap obyek. Descartes melalui cogito ergo sum-nya secara jelas
mengungkpakan bahwa rasio merupakan tolok ukur keberadaan manusia. “Aku”
menggantikan “jiwa”, tetapi “aku” disini adalah “aku” rasional, “aku” yang
sadar.
Manusia merasakan (Homo sentiens). Berbeda dari mesin dan binatang dan termasuk didalamnya
manusia, mempunyai perasaan. Namun perasaan manusia jauh lebih kompleks dari
perasaan binatang. Binatang dapat merasakan sakit, senang. Pada binatang
perasaan bersifat spontan, pada manusia bisa bertahan lama, mendalam dan
membentuk kepribadiannya. Perasaan manusia disebut afeksi. Afeksi inilah yang mebedakan manusia dengan binatang.
Afeksi melengkapi pengetahuan manusia sehingga ia terdorong untuk bergerak.
Gejala afeksi: rasa tertarik, heran, terpesona. Dalam
afeksi terdapat dua macam disposisi dasar yakni cinta dan benci.
Manusia berkehendak (Homo volens). Kehendak merupakan kekhususan manusia, yang menjadikannya makhkuk moral. Dalam hal ini kehendak dan kebebasan
berkaitan erat. Karena manusia itu mempunyai kehendak dan kebebasan, maka ia
bisa menjadi baik, tetapi juga bisa
menjadi buruk dari dirinya sendiri.
Berkat kehendaknya manusia bisa memilih dan menginginkan.
Manusia cenderung menghendaki apa
‘yang baik’. Plato menyebutnya dengan istilah sub specie boni (manusia selalu dimotivasikan oleh kebaikan). Tomas
Aquinas menyatakan bahwa secara hakiki kehendak selalu terarah kepada Tuhan,
‘Ada Yang Mutlak’. Kehendak juga mengisyaratkan adanya kebebasan. Manusia mau
dengan sengaja (voluntarily)
mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan karena alasan kebaikan yang lebih
masuk akal, lebih besar. Kebebasan disini berarti “tidak ada yang memaksa” atau
“tidak terpaksa”. Melalui kebebasan fisik
memungkinkan orang untuk menjalankan kehendaknya,
sedangkan kebebasan psikis membuat orang bebas memilih.
Manusia bekerja (Homo faber). Manusia secara hakiki bekerja. Namun pekerjaan manusia bukanlah mencipta melainkan mengubah atas bahan-bahan yang sudah ada, yakni dunia. Manusia
tidak bekerja dari kekosongan, ia hanya mampu mengubah dan membuat sesuatu
berdasarkan model yang sudah ada, yakni alam. Dari
lain pihak, kita melihat jarak yang jauh antara lingkup kerja dan hakikat
manusia. Dalam pekerjaannya manusia berusaha mengungkapkan dirinya,
mengkomunikasikan dirinnya, mengambil bagin dunia untuk diintegrasikan dalam
dirinya, memanusiakan sebagian kosmos. Melalui kerja manusia bersosialitas dengan manusia yang lain.
Manusia saling bekerjasama dengan manusia yang lain baik dalam produksi maupun
konsumsi. Akhirnya pekerjaan membawa manusia untuk mentransendensikan dirinya;
ia tidak pernah puas pada hasil pekerjaannya, selalui ingin memperbaikinya.
Dengan bekerja kecenderungan manusia mencari keabadian dan kesempurnaan
diungkapkan.
Manusia makhluk sesama (Homo Socialis). Manusia secara hakiki bersifat sosial.
Manusia selalu ditemukan dalam
kelompok, mula-mula dari kelompok kecil: keluarga, klan, suku, lambat laun
dalam kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara. Singkat kata manusia tidak
pernah sendiri, melainkan selalu terkait dengan sesamanya (dimensi
intersubyektif). Ciri sosial ini tampak pada kehidupan bersama dengan yang lain
dan berkomunikasi dengan mereka, bertukar pengalaman, sharing emosi dan milik
dsb.
Manusia mempunyai nilai
transendensi (Homo religiosus).
Manusia
pada hakekatnya selalu mengarahkan pada hal-hal/nilai-nilai yang transenden.
Sebab
utama adalah karena keterbatasannya dan ketergantungannya. Melalui kesadaran ini manusia menjadi terbuka pada Keberadaan, Kenyataan
yang lebih tinggi. Dengan kesadarannya manusia mampu mengarahkan kepada
Keberadaan yang lebih tinggi itu, dan melalui Realitas Tertinggi itu manusia
memperoleh pengertian-pengertian, kebijaksanaan.
0 comments:
Post a Comment