Pengertian wahyu
Wahyu dalam Kitab Suci
Dalam
Kitab Suci kata ‘wahyu’ menterjamahkan kata “penglihatan” (kazon) dan “penyingkapan” (apokalypsis),
yang sering juga diterjemahkan dengan ‘terang’ atau ‘pe(r)nyataan. Kata
‘penglihatan’ menunjuk pada pertemuan dengan Tuhan (Bil 12:8). Kata apokalypsis
menunjuk pada sesuatu yang semula tersembunyi sekarang dinyatakan. Serupa
dengan itu dipakai kata ‘memberitahukan’ (deloun,
yang sering juga diterjemahkan dengan ‘menyatakan’). Oleh karena itu dalam
Kitab Suci tidak ada sebuah kata khusus untuk wahyu. Yang pokok adalah
pertemuan pribadi, bukan pesan atau firman yang mau disampaikan.
penjelasan lebih lanjut
penjelasan lebih lanjut
Perjanjian Lama
Dalam
PL, pengalaman akan Allah yang memperkenalkan Diri, diantarai oleh hati
manusia. Penyataan diri Allah (wahyu) tersebut tertuang dalam Sabda dan Pewartaan para Nabi. Melalui sabda dan pewartaan nabi, pengalaman
perjumpaan akan Allah diwariskan turun temurun. Dalam PL, pewahyuan Allah
melalui Taurat dan para nabi, dimulai dengan pewahyuan Allah kepada Abraham. Abraham taat pada Allah untuk
pergi ke tanah terjanji. Selanjutnya wahyu Allah diteruskan kepada Musa,
khususnya lewat semak berduri yang menyala (Kel 3). Pada saat itu Allah
memperkenalkan diri-Nya kepada Musa dengan sebutan YAHWE. Allah adalah Yahwe
yang bertindak dengan umat-Nya (memanggil dan mengangkat, menghukum dan
menjanjikan pembaruan), supaya umat terlibat demi dan bersama dengan
Allah. Pewahyuan diri Allah dalam PL
dikenal melalui mimpi (Kej. 37), undian (1Sam 14:41), teofania/gelaja-gejala
alam (Kel 3:2, 19:16-20), peristiwa pembuangan Babel (Yahwe tampil
sebagai Hakim).
Perjanjian Baru
a.
Sinoptik
Pewahyuan
dalam sinoptik langsung dikaitkan dengan
Yesus sebagai Putera Allah. Ketika Yesus dibabtis terdengar suara, “Inilah
Anak yang Kukasihi kepada-Nya Aku berkenan” (Mat 3: 17). Yesus merupakakan penggenapan
wahyu PL/Taurat (Mat 5:17) Dalam Mat 11:25; Luk 10:20-21, secara jelas
dibicarakan wahyu itu: Yesus telah menerima segalanya dari Bapa dan tidak
seorangpun mengenal Bapa selain melalui pewahyuan Putera. Dengan demikian jelas
bahwa Allah mewuhkan diri dalam Yesus.
b.
Yohanes
Yohanes
dengan jelas bahwa Yesus sebagai wahyu Allah. Dalam prolog dikatakan bahwa Yesus Firman Allah, pernyataan Allah. Yesus
berasal dari Bapa (Yoh 26:28) dan ‘identik’ dengan Bapa. Melihat Yesus, melihat
Bapa (Yoh 14:9). Pewahyuan Allah dalam Kristus dilengkapi dengan pengutusan Roh
Kudus.
c.
Kisah dan Surat
Para
Rasul mewartakan kabar gembira wafat dan kebangkitan Yesus. Dalam Yesus,
terutama wafat dan kebangkitan-Nya pewahyuan Allah dalam PL mendapat
kepenuhannya. Paulus menegaskan bahwa Injil yang ia wartakan diterimanya
dari pernyataan diri Yesus(Gal 1:12) dan bahwa isi wahyu itu adalah misteri,
yaitu rencana penyelamatan Allah yang dulu tersembunyi bagi manusia, tapi kini
dinyatakan di dalam Roh Kudus (Rom 16:25-26; Ef 3:3-5)
Wahyu dalam Tradisi
Ø Konsili Trente (1545-1563)
Persoalan
yang dihadapi Trente adalah dimana dapat ditemukan wahyu? Dalam menghadapi reformasi, bagi Trente wahyu diteruskan
bukan hanya melalui Kitab Suci, tetapi juga melalui tradisi lisan. Alasannya
adalah karena Roh Kudus ikut menjaminnya (Yoh 16:13). Sedangkan bagi reformasi,
wahyu hanya ditemukan dalam Kitab Suci (Sola Scriptura), dalam tradisi tidak
mungkin sebab itu hanya manusiawi belaka.
Konsili Trente tidak berbicara mengenai hakikat wahyu, akan tetapi
bebrbicara bagaimana wahyu itu diteruskan.
Ø Konsili Vatikan I (1869-1870)
Masalah
wahyu dalam KV I muncul dengan latar belakang suasana modern –ilmiah/modernisme yang berpendapat bahwa ilmu
saja yang dapat menjadi pegangan hidup manusia. KV I diadakan untuk membela
wahyu dari pandangan itu. Maka dari itu melalui Konstitusi Dei Filius dibedakan antara wahyu kodrati dengan wahyu adikodrati. Wahyu
kodrati yaitu kebenaran Allah yang dapat diketahui dengan pasti dari dunia
ciptaan, melalui kemampuan akal budi (Rm 1:20). Wahyu adikodrati yaitu
kebenaran yang tidak dapat diketahui dengan kekuatan manusia dan hanya anugerah
bebas dari Allah. Dalam hal ini Allah kita kenal dalam Kitab Suci. Bagi KV I:
kebenaran iman yang tidak dapat diterima oleh akal budi harus dapat diterima
orang sebab Allah tidak dapat sesat atau pun menyesatkan.
Ø Konsili Vatikan II (1963-1965)
Jika
dalam KV I, uraian mengenai wahyu lebih bernada apologetis dan bersifat informatif
saja, maka dalam KV II wahyu diurai secara lebih lengkap. Wahyu adalah penyataan diri Allah, yang mengundang
jawaban iman pribadi (DV 2; DV 6). Wahyu Allah bukan informasi belaka,
tetapi komunikasi personal yang mengundang partisipasi manusia. Allah berkenan
menyatakan dan memberikan seluruh hidupnya, kebenaran ilahi-Nya, dan rencana
keselamatan-Nya (DV 7; 9; 10; 11; 26). Yang mencolok dalam KV II adalah bahwa
wahyu diberikan “dalam Kristus, yang
sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan wahyu” . Wahyu juga bukan
‘pemberitahuan’ mengenai kebenaranan atau ajaran tertentu. Tekanan ada
pada hubungan pribadi, yang bertujuan
‘mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya’ (DV 2).
0 comments:
Post a Comment