Agama mengungkapkan keterarahan kepada Yang Transenden
Manusia
menyadari bahwa ada kekuatan yang ada diluar manusia dan manusia tidak mampu
menjangkaunya. Manusia merasa lemah dan tidak berbuat apa-apa. Pengalaman
malapetaka misalnya, menimbulkan pertanyaan: mengapa dan siapa penyebabnya.
Manusia tidak mampu menolaknya. Manusia mempertanyakan kekuatan itu dan dengan
segala daya upayanya manusia ingin bertemu dengan “sesuatu” yang melampaui
kekuatannya. Ada keterarahan eksistensial dalam diri manusia kepada ‘sesuatu’
yang kita sebut “Yang Transenden”itu. Melalui agama, manusia merefleksikan
pengalaman keterarahan itu dan agama menjadi media untuk mengungkapkan
keterarahan itu. Beberapa argumen yang mengungkapkan keterarahan manusia kepada
Allah:
1.
Argumen ontologis (Anselmus, Descartes, Platinga)
Dalam Proslogion, Anselmus mengemukakan argumen ontologis adanya Allah.
Berikut versi pokoknya:
a. Allah adalah “sesuatu yang
daripadaNya tidak ada yang dapat dipikirkan secara lebih besar lagi”.
b. Allah tidak dapat menjadi
“sesuatu yang dari padaNya tidak ada yang dapat dipikirkan lebih lagi” hanya
dalam pikiran.
c. Kalau Allah sebagai “sesuatu
yang daripadaNya tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi” dapat dipikirkan
sebagai bagian dari pengertian kita, Dia juga harus dipikirkan ada dalam
realitas, yang merupakan sesuatu yang lebih besar.
2.
Argumen kosmologis (Tomas Aquinas)
Argumen ini dimulai dari
fakta-fakta mengenai alam semesta yang diamati, seperti gerak, sebab,
kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini orang sampai pada kesimpulan
bahwa Allah ada sebagai asal mula dan dasar bagi fakta-fakta ini. Berdasarkan
itu pula Allah disebut “penggerak pertama”, “penyebab pertama”, “pengatur”.
Argumen kosmologis menekankan: a) kegiatan dari yang mutlak yang tak kelihatan
b) bahwa Allah berbeda dari alam semesta. Allah tidak tergantung sedangkan alam
semesta tergantung pada Allah. Allah menggerakkan diri sendiri sedang alam
semesta mempunyai gerak yang diberikan kepadanya.
3.
Argumen
teleologis/rancangan/tujuan/finalitas
Argumen ini mempunyai
bermacam bentuk. Sebagainya diurutkan sebagai berikut:
Ø Qua tujuan
Segala sesuatu ada dengan
tujuan tertentu. Ada alasan bagi ada sesuatu itu. Segala sesuatu diarahkan pada
tujuan itu. Tujuan itu diandaikan sudah ada sebelumnya, dimana sesuatu itu
diciptakan untuk itu. Tujuannnya adalah Allah.
Ø Qua keteraturan
Alam semesta berjalan dengan
teratur dan pasti. Di balik keteraturan itu, pasti ada pengatur yang membuat
segala teratur dan pasti. Pengatur ini harus ada sebagai yang otonom dan
pengatur itu adalah Allah.
4.
Argumen
deontologis/kewajiban moral jalan menuju Allah
Manusia seolah diwajibkan
untuk melakukan yang baik. Manusia dari sendirinya, seolah-olah bisa menolak
untuk melakukan perbuatan itu, namun ada Norma Tertinggi yang tidak dapat
ditolak dan manusia berbuat sesuai dengan ini. Suara hati berbicara sesuatu
tentang pengalaman ini, bahwa manusia punya kewajiban mengikuti suara hati,
sekaligus norma tertinggi. Dan itu diyakini sebagai suara Allah.
5.
Argumen Roh Manusia jalan
menuju Allah
“Ada” merupakan fakta tak
tersangkal. Ada kemungkinan “ada” yang lain. Dengan kata lain ada “ada-ada”
lain sampai dengan “totalitas ada”. Dalam totalitas ada tak ada lagi apa dan
mengapa, tak ada lagi keraguan, kegelapan yang membuat roh tidak tenang.
Ketidaktenangan roh disebabkan karena pengetahuan kita selalu kurang memadai.
Akal cenderung memahami totalitas obyek pemahaman dimana pada akhirnya
beristirahat; dan itulah yang baginya merupakan titik tertinggi. “Totalitas ada” yang dipahami itu tak
terbatas, bersifat Transenden dan satu, bereksistensi nyata. “Ada mutlak”
disebut Allah, baik sebagai tujuan tertinggi dan obyek yang memadai bagi
pemahaman maupun sebagai norma dan sebab eksemplar dari “ada-ada” yang
bereksistensi.
0 comments:
Post a Comment