Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Monday, January 28, 2013

Agama mengungkapkan keterarahan kepada Yang Transenden

Agama mengungkapkan keterarahan kepada Yang Transenden


            Manusia menyadari bahwa ada kekuatan yang ada diluar manusia dan manusia tidak mampu menjangkaunya. Manusia merasa lemah dan tidak berbuat apa-apa. Pengalaman malapetaka misalnya, menimbulkan pertanyaan: mengapa dan siapa penyebabnya. Manusia tidak mampu menolaknya. Manusia mempertanyakan kekuatan itu dan dengan segala daya upayanya manusia ingin bertemu dengan “sesuatu” yang melampaui kekuatannya. Ada keterarahan eksistensial dalam diri manusia kepada ‘sesuatu’ yang kita sebut “Yang Transenden”itu. Melalui agama, manusia merefleksikan pengalaman keterarahan itu dan agama menjadi media untuk mengungkapkan keterarahan itu. Beberapa argumen yang mengungkapkan keterarahan manusia kepada Allah:
1.      Argumen ontologis (Anselmus, Descartes, Platinga)
Dalam Proslogion, Anselmus mengemukakan argumen ontologis adanya Allah. Berikut versi pokoknya:
a.       Allah adalah “sesuatu yang daripadaNya tidak ada yang dapat dipikirkan secara lebih besar lagi”.
b.      Allah tidak dapat menjadi “sesuatu yang dari padaNya tidak ada yang dapat dipikirkan lebih lagi” hanya dalam pikiran.
c.       Kalau Allah sebagai “sesuatu yang daripadaNya tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi” dapat dipikirkan sebagai bagian dari pengertian kita, Dia juga harus dipikirkan ada dalam realitas, yang merupakan sesuatu yang lebih besar.
2.      Argumen kosmologis (Tomas Aquinas)
Argumen ini dimulai dari fakta-fakta mengenai alam semesta yang diamati, seperti gerak, sebab, kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini orang sampai pada kesimpulan bahwa Allah ada sebagai asal mula dan dasar bagi fakta-fakta ini. Berdasarkan itu pula Allah disebut “penggerak pertama”, “penyebab pertama”, “pengatur”. Argumen kosmologis menekankan: a) kegiatan dari yang mutlak yang tak kelihatan b) bahwa Allah berbeda dari alam semesta. Allah tidak tergantung sedangkan alam semesta tergantung pada Allah. Allah menggerakkan diri sendiri sedang alam semesta mempunyai gerak yang diberikan kepadanya.
3.      Argumen teleologis/rancangan/tujuan/finalitas
Argumen ini mempunyai bermacam bentuk. Sebagainya diurutkan sebagai berikut:
Ø Qua tujuan
Segala sesuatu ada dengan tujuan tertentu. Ada alasan bagi ada sesuatu itu. Segala sesuatu diarahkan pada tujuan itu. Tujuan itu diandaikan sudah ada sebelumnya, dimana sesuatu itu diciptakan untuk itu. Tujuannnya adalah Allah.
Ø Qua keteraturan
Alam semesta berjalan dengan teratur dan pasti. Di balik keteraturan itu, pasti ada pengatur yang membuat segala teratur dan pasti. Pengatur ini harus ada sebagai yang otonom dan pengatur itu adalah Allah.
4.      Argumen deontologis/kewajiban moral jalan menuju Allah
Manusia seolah diwajibkan untuk melakukan yang baik. Manusia dari sendirinya, seolah-olah bisa menolak untuk melakukan perbuatan itu, namun ada Norma Tertinggi yang tidak dapat ditolak dan manusia berbuat sesuai dengan ini. Suara hati berbicara sesuatu tentang pengalaman ini, bahwa manusia punya kewajiban mengikuti suara hati, sekaligus norma tertinggi. Dan itu diyakini sebagai suara Allah.
5.      Argumen Roh Manusia jalan menuju Allah
“Ada” merupakan fakta tak tersangkal. Ada kemungkinan “ada” yang lain. Dengan kata lain ada “ada-ada” lain sampai dengan “totalitas ada”. Dalam totalitas ada tak ada lagi apa dan mengapa, tak ada lagi keraguan, kegelapan yang membuat roh tidak tenang. Ketidaktenangan roh disebabkan karena pengetahuan kita selalu kurang memadai. Akal cenderung memahami totalitas obyek pemahaman dimana pada akhirnya beristirahat; dan itulah yang baginya merupakan titik tertinggi. “Totalitas ada” yang dipahami itu tak terbatas, bersifat Transenden dan satu, bereksistensi nyata. “Ada mutlak” disebut Allah, baik sebagai tujuan tertinggi dan obyek yang memadai bagi pemahaman maupun sebagai norma dan sebab eksemplar dari “ada-ada” yang bereksistensi.

0 comments:

Post a Comment