Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Monday, January 28, 2013

Agama membahasakan Yang Transenden

Agama membahasakan Yang Transenden


          Yang Transenden adalah ultimate reality atau realitas sejati yang tak terbatas, sedangkan manusia adalah limited reality atau realitas yang terbatas. Persoalannya adalah bagaimana manusia yang terbatas itu membahasakan Yang Tak Terbatas?
          Bahasa manusia selalu didasarkan pada pengertian dan pertimbangan manusiawi. Manusia tidak mempunyai konsep yang memadai tentang Allah. Hanya dengan cara negatif dan manusia membahasakan Allah. Apa yang dimilikiNya, sifat-sifat-Nya berbeda dengan apa yang dimiliki oleh pengada terbatas. Ernst Cassirer menyatakan bahwa manusia adalah animale symbolicum yang tak lepas dari simbol-simbol. Demikian juga dalam memahami Yang Transenden, manusia menggunakan simbol-simbol. Jalan untuk memperbaiki konsep manusia yang terbatas tentang Allah adalah dengan cara analogi, yaitu mengakui bahwa Allah sebagai seperti ada-ada dan bukan sebagai ada-ada. Jadi dalam analogi terdapat sintesa antara tegangan: pengakuan dan pengingkaran; Yang Transenden dan yang imanen, Yang Tak Terbatas dan yang terbatas.
          Cara memperbaiki konsep manusia tentang Allah: manusia menterjemahkan dinamika akan kita dengan mentransendensikan segala-galanya ke dalam konsep atau kata-kata. Maka, dalam penilaian tentang Allah perlu dibedakan antara: res significata dan modus significandi. Res Significata artinya: apa yang diartikan/dimaksudkan; sedangkan modus significandi artinya: cara yang digunakan untuk mengartikan dimana manusia selalu kurang sempurna.
          Harus diakui bahwa manusia tidak dapat memperoleh konsep-konsep yang cukup memadai tentang Allah. Secara positif konsep tentang Allah dapat dibahasakan sebagai Allah: Allah sebagai Aktus Murni, Tujuan dari dinamika intelektual manusia. Disamping itu Allah dapat dibahasakan secara negatif, misalnya: Dia bukan bersifat terbatas, bukan dapat berakhir, bukan disebabkan.
          Manusia dapat mengakui sifat-sifat Allah dan mengingkari bahwa sifat-sifat itu dimiliki-Nya dengan cara sebagaimana terdapat dalam ada-ada. Allah dikenal sebagai Dia yang selalu ada diatas apapun yang dapat digambarkan sebagai obyek terakhir dan memuaskan secara sempurna, hasrat tak terbatas akal serta kehendak manusia. Bahasa untuk atau mengenai Allah disebut analogi transendental.
          Beberapa cara dalam membahasakan pengalaman akan Yang Transenden: 
   1.  Via negativa
Menyangkal adanya sifat-sifat tertentu pada Yang Transenden, misalnya: Yang Tak Berubah, Yang Tak memarahi dsb.
2.  Via positifa
Mengakui sifat-sifat positif dari Yang Transenden, misalnya: baik, jujur, adil dsb. Yang Transenden dikatakan sebagai Yang Baik, Yang Adil dsb. 
3.  Via emenesia
Memberikan suatu pengukuran pada Yang Transenden bahwa Ia melebihi yang lain dan lebih luhur: Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dll.

          Ketiga jalan ini digunakan untuk membahasakan pengalaman konkrit manusia berhadapan dengan Yang Transenden. Namun karena bahasa itu terbatas, maka harus dikoreksi karena tidak akan pernah tepat dan benar dalam membahasakan Yang Transenden. Adanya gelas-gelar bagi Yang Transenden menunjukkan bahwa bahasa manusia sangat terbatas. Bahkan, bahasa yang digunakan seringkali bertentangan dalam tindakannya, misalnya: antara adil dan baik, menghukum dan mengampuni.

0 comments:

Post a Comment