Agama membahasakan Yang Transenden
Yang Transenden adalah ultimate
reality atau realitas sejati yang tak terbatas, sedangkan manusia adalah limited reality atau realitas yang
terbatas. Persoalannya adalah bagaimana manusia yang terbatas itu membahasakan
Yang Tak Terbatas?
Bahasa manusia selalu didasarkan pada pengertian dan
pertimbangan manusiawi. Manusia tidak mempunyai konsep yang memadai tentang
Allah. Hanya dengan cara negatif dan manusia membahasakan Allah. Apa yang
dimilikiNya, sifat-sifat-Nya berbeda dengan apa yang dimiliki oleh pengada
terbatas. Ernst Cassirer menyatakan bahwa manusia adalah animale symbolicum yang tak lepas dari simbol-simbol. Demikian juga
dalam memahami Yang Transenden, manusia menggunakan simbol-simbol. Jalan untuk
memperbaiki konsep manusia yang terbatas tentang Allah adalah dengan cara analogi, yaitu mengakui bahwa Allah
sebagai seperti ada-ada dan bukan sebagai ada-ada. Jadi dalam analogi terdapat
sintesa antara tegangan: pengakuan dan pengingkaran; Yang Transenden dan yang
imanen, Yang Tak Terbatas dan yang terbatas.
Cara memperbaiki konsep manusia tentang Allah: manusia
menterjemahkan dinamika akan kita dengan mentransendensikan segala-galanya ke
dalam konsep atau kata-kata. Maka, dalam penilaian tentang Allah perlu
dibedakan antara: res significata dan
modus significandi. Res Significata artinya: apa yang
diartikan/dimaksudkan; sedangkan modus significandi artinya: cara yang
digunakan untuk mengartikan dimana manusia selalu kurang sempurna.
Harus diakui bahwa manusia tidak dapat memperoleh
konsep-konsep yang cukup memadai tentang Allah. Secara positif konsep tentang
Allah dapat dibahasakan sebagai Allah: Allah sebagai Aktus Murni, Tujuan dari
dinamika intelektual manusia. Disamping itu Allah dapat dibahasakan secara
negatif, misalnya: Dia bukan bersifat terbatas, bukan dapat berakhir, bukan
disebabkan.
Manusia dapat mengakui sifat-sifat Allah dan mengingkari
bahwa sifat-sifat itu dimiliki-Nya dengan cara sebagaimana terdapat dalam
ada-ada. Allah dikenal sebagai Dia yang selalu ada diatas apapun yang dapat
digambarkan sebagai obyek terakhir dan memuaskan secara sempurna, hasrat tak
terbatas akal serta kehendak manusia. Bahasa untuk atau mengenai Allah disebut analogi transendental.
Beberapa cara dalam membahasakan pengalaman akan Yang
Transenden:
1. Via negativa
1. Via negativa
Menyangkal
adanya sifat-sifat tertentu pada Yang Transenden, misalnya: Yang Tak Berubah,
Yang Tak memarahi dsb.
2. Via positifa
2. Via positifa
Mengakui
sifat-sifat positif dari Yang Transenden, misalnya: baik, jujur, adil dsb. Yang
Transenden dikatakan sebagai Yang Baik, Yang Adil dsb.
3. Via emenesia
3. Via emenesia
Memberikan
suatu pengukuran pada Yang Transenden bahwa Ia melebihi yang lain dan lebih
luhur: Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dll.
Ketiga jalan ini digunakan untuk membahasakan pengalaman
konkrit manusia berhadapan dengan Yang Transenden. Namun karena bahasa itu
terbatas, maka harus dikoreksi karena tidak akan pernah tepat dan benar dalam
membahasakan Yang Transenden. Adanya gelas-gelar bagi Yang Transenden
menunjukkan bahwa bahasa manusia sangat terbatas. Bahkan, bahasa yang digunakan
seringkali bertentangan dalam tindakannya, misalnya: antara adil dan baik,
menghukum dan mengampuni.
0 comments:
Post a Comment