Pengetahuan yang berdasarkan
pengalaman
Pengetahuan selalu
berdasarkan pengalaman. Pengalaman adalah hal yang menunjuk pada informasi yang
diperoleh melalui panca indera. Sedangkan obyek pengetahuan adalah segala yang
ada yang dialami manusia. Pengetahuan datang melalui proses progresif,
merupakan hasil penangkapan indera dan budi akan penangkapan. Kriterianya
adalah kesesuaian antara apa yang ditangkap oleh subyek dengan obyek yang
menampakkan diri. Ada dua pendekatan dalam menangap pengalaman, yang akhirnya
menjadi pengetahuan.
1. Pendekatan inderawi. Locke
memandang pengalaman sebagai asal semua ide. Sedangkan pikiran dianggapnya
sebagai tabula rasa/kertas putih tempat pengalaman direkam. Ide yang ada dalam
budi merupkan merupakan hasil foto kopi dari kualitas-kualitas obyeknya.
Kualitas obyek itu ada dua: kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas
primer bersifat obyektif, yang meliputi: berat, tinggi, kelusan obyek. Kualitas
sekunder bersifat subyektif, yang meliputi: warna, suara, bau, yang hanya dapat
ditangkap oleh indera tertentu. Kualiatas sekunder ini sering disebut common
sense. Pemisahan ini membuat epistemologi macet, jika hanya sains yang
merupakan dasar pengetahuan yang tetap, sedangkan teologi, etika bukan
pengetahuan. Padahal epistemologi hendak menjelaskan segala pengetahuan. Selain
itu fotokopi terhadap obyek memisahkan obyek evidensi obyek sendiri, dan apakah
fotokopi itu sesuai dengan obyeknya yang asli?
Wittgenstein menyatakan bahwa manusia mempunyai pengalaman
masing-masing. Manusia menangkap pengalaman itu sesuai dengan bahasa yang
digunakan (language game). Bahasa merupakan
ungkapan manusia dalam menangkap pengalamannya. Kritik terhadapnya adalah
pengetahuan menjadi subyektif karena ditentukan oleh subyek, soalnya adalah
adakah pengetahuan yang sungguh-sungguh obyektif, terlepas dari subyeknya?
2. Pendekatan budi. Dalam hal ini pengalaman dipandang sebagai
kerja dari akal budi/rasio. Ada tiga prinsip dasar.
- Prinsip identitas: merupakan prinsip radikal tentang eksistensi, yakni apa yang ada itu ada, A itu bukan B (Misal orang katolik pakai salib)
- Prinsip alasan memadai: budi harus memiliki alasan yang memadai untuk mengatakan bahwa sesuatu itu ada (Misal: mengapa orang katolik berbuat baik, karena dia punya nilai transendensi dengan yang ilahi).
- Prinsip sebab-efisien yang merupakan sebab ekstrinsik bagi keberadaan sesuatu itu ada. Ketiga prinsip itu hanya memberikan keabsolutan kognisial bukan eksistensial.
Pikiran selalu berkembang,
maka dalam mencari kepastian pengetahuan harus berdasarkan evidensi yakni
kejelasan obyek. Namun terdapat bermacam-macam evidensi, sehingga kepastian
itupun bermacam-macam, yaitu:
- kepastian fisik, yang berdasarkan hukum alam (api-panas, air-dingin)
- kepastian moral,yang didasarkan pada suatu keyakinan tindakan normal, keyakinan pada sopir yang tidak akan menabrakkan mobilnya
- kepastian konvergen,yaitu kepastian yang berdasarkan atas banyaknya kesaksian, seperti kota Paris itu ada. Namun demikian kepastian itu memberikan kemungkinan untuk dilanggar, seiring dengan pikiran dan pengalaman manusia itu selalu berkembang. Oleh sebab itu pengetahuan itu sifatnya progresif menuju pemuasan. Oleh karena itu konsep-ide harus lentur-kreatif dan terus menerus dicek kembali.
0 comments:
Post a Comment