Halangan Nikah Pada
Perkawinan Katolik
Halangan nikah ialah larangan yang membuat seseorang
tidak mampu untuk menikah. Kanon 1073:
“Halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu untuk menikah
secara sah”. Untuk meneguhkan perkawinan orang yang terkena halangan dibutuhkan dispensasi dari otoritas
gerejawi yang berwenang.
1.
Halangan nikah umur
Kanon
1083 § 1: “Laki-laki sebelum berumur genap 16 tahun dan perempuan berumur genap
14 tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah”.
Dengan
halangan umur ini, Gereja bermaksud
untuk menjamin kematangan jiwa dan fisik, demi kepentingan hidup perkawinan itu
sendiri. Disamping itu, hukum Gereja memberikan kewenangan kepada Konferensi
para Uskup untuk menetapkan usia yang lebih tinggi, terutama dengan mengikuti
ketentuan hukum sipil setempat yang berlaku (kan. 1083§2), agar tidak terjadi
konflik antara kedua perundang-undangan.
Namun ketentuan ini hanya untuk halalnya, bukan untuk sahnya perkawinan.
2.
Halangan Impotensi
Impotensi
artinya ketidakmampuan untuk melakkan hubungan seksual suami-istri. Impotensi
bisa mengenai pria maupun wanita. Manurut kan 108 4 §, impotensia merupakan halangan
yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika
impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak
atau pun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari
hukum ilahi kodrati, sehingga tidak
pernah bisa didispensasi, apalagi impotensi tidak memungkinkan suami-istri
menjadi “satu daging”, yang merupakan tujuan hakiki khas perkawinan.
Impotensi
dikatakan “absolut” jika pihak yang bersangkutan tidak dapat melakukan hubungan
seksual dengan lawan jenis siapa pun, sehingga yang bersangkutan tidak bisa
menikah dengan siapa pun. Sedangkan impotensi bersifat “relatif”, jika si
penderita tidak mampu melakukan hubungan seksual dengan orang tertentu, misalnya dengan
pasangannya sendiri. Impotensi, baik absolut maupun relatif, menggagalkan
perkawinan.
Catatan: Sterilitas atau
kemandulan dari dirinya sendiri, bukan merupakan halangan atau larangan nikah.
3.
Halangan Ikatan Perkawinan Sebelumnya
Kan
1085 § 1: “Tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang
terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan
persetubuhan”.
Orang
yang terikat oleh ikatan perkawinan sah tidak dapat kawin secara sah dengan
pihak ketiga, bila ikatan terdahulu belum atau tidak dapat diputuskan oleh
kuasa Gereja yang berwenang. Ikatan
nikah yang dimaksud di sini, tidak hanya
mencakup perkawinan sah antara orang katolik, namun juga perkawinan sah orang-orang
non-katolik. Perceraian nikah yang telah
dibuat oleh pengadilan negeri TIDAK mempunyai kekuatan kanonik, dalam arti menurut pandangan Gereja,
mereka yang telah bercerai masih tetap berada dalam ikatan nikah yang sah,
sampai diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang.
4.
Halangan Beda Agama
Di
dalam perkawinan, suami-istri sama-sama berupaya mewujudkan persekutuan hidup
dan cinta kasih dalam semua aspek dan dimensinya. Justru karena itu, Gereja menghendaki agar
umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat
kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak-anak dan
kesejahteraan keluarga. Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu
diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang
membahayakan imannya.
Namun
Gereja juga bersikap realistis. Ia mengakui bahwa setiap orang memiliki hak
untuk bebas menentukan status hidupnya, entah hidup menikah atau
tidak/selibater (bdk. Kan. 219). Dan jika ia memilih untuk menikah, ia bebas
menentukan jodohnya sendiri, sekalipun berbeda iman atau agama. Untuk hal
terakhir ini, Gereja menghormati pilihan orang tersebut, dengan melakukan
beberapa tindakan pengamanan bagi iman katolik (lih. Kan. 1125).
Ada
perbedaan antara perkawinan campur beda Gereja (matrimonium mixtae religionis)
dengan perkawinan campur beda agama (matrimonium disparitas cultus), baik dari
sudut doktrinal maupun dari sudut hukum.
Secara doktrinal, perkawinan antara orang katolik dengan orang yang dibaptis non-katolik (beda
Gereja), perkawinan mereka adalah sakramen karena sama-sama memiliki pengakuan
iman yang sama, suatu persekutuan dan kesamaan dalam harta rohani. Sedangkan
perkawinan antara orang katolik dengan yang tidak dibaptis, bukan sakramen,
tetapi hanya berdimensi natural saja, mereka hanya disatukan oleh nilai-nilai
insani dan kodrati saja.
Dari
sudut hukum, perkawinan antara dua orang dibaptis, dimana salah satu katolik
dan yang lain tidak, merupakan larangan (kan. 1124) yang membutuhkan ijin dari
otoritas gerejawi yang berwenang.
Seangkan perkawinan antara seorang katolik dengan orang yang tidak dibaptis merupakan
halangan yang bersifat menggagalkan (kan. 1086 § 1), dan perkawinan ini bisa
dilangsungkan jika ada dispensasi dari Ordinaris wilayah berdasarkan alasan
yang wajar, nasuk akal dan mendesak (kan. 1086 § 2).
5.
Halangan Nikah Tahbisan Suci (Selibat)
Kanon
1087: “ Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang
telah menerima tahbisan suci”.
Melalui
tahbisan suci, beberapa orang beriman,
memperoleh status khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka
pelayan-pelayan rohani dalam Gereja. Mereka adalah uskup, imam dan diakon (bdk.
Kan. 207 § 2, 1008, 1009 § 1).
Gereja
Katolik Roma (Latin), menuntut selibat penuh bagi mereka yang menerima tahbisan
suci (bdk. Kan. 177), dan menjadikan tahbisan suci ini halangan nikah. Tuntutan
ini bukanlah tuntutan buta tanpa alasan. Dalam hal ini Gereja katolik selalu
mendasarkan diri pada teks-teks biblis (Lih Mat 19,12; Luk 18,28-30; 1 Kor
7,5.32-34; dll) serta tradisi Gereja yang panjang. Tujuannya adalah demi
penyerahan diri secara total kepada Allah dan pelayanan yang penuh bagi jemaat.
Karena
sifatnya gerejani, halangan nikah ini bisa didispensasi oleh Takhta Suci (lih
kanon 1075). Dispensasi mencakup dua hal, yang disebut laikalisasi (proses
menjadi awam kembali) dan dispensasi dari selibat, sehingga memungkinkan
dilangsungkannya pernikahan secara sah.
6.
Halangan Nikah Religius
Kanon
1088: “Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang
terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius”.
Yang
dimaksud kaul publik adalah kaul yang diterima secara resmi atas nama
Gereja. Yang menjadi halangan nikah yang
bersifat menggagalkan adalah kaul kekal dalam semua tarekat religius, baik yang
di tingkat kepausan maupun tingkat keuskupan.
Gereja
menjadikan kaul kekal publik ini halangan yang menggagalkan perkawinan, karena
apa yang menjadi objek kaul kemurnian, secara praktis dan logis, tidak dapat
berjalan bersama dengan objek perkawinan, yaitu consortium totius vitae yang
mencakup juga hak atas persetubuhan. Karena itu, orang yang telah mengucapkan
kaul kekal tidak bisa menikah dengan sah, kecuali telah mendapat dispensasi
dari otoritas yang berwenang.
7.
Halangan Nikah Penculikan (kan. 1089)
Yang
dimaksud dengan penculikan adalah “membawa pergi secara paksa seorang wanita
yang tidak mau, dengan tujuan untuk dinikahi”.
Paksaan ini bisa bersifat fisik maupun moral. Paksaan moral terjadi
bila, misalnya dibarengi dengan ancaman yang maha dahsyat, sehingga membuat
wanita ketakutan. Penculikan secara paksa ini harus dibedakan dengan kasus
wanita yang dibawa pergi karena tertarik oleh rayuan. Yang ini jelas bukan
paksaan.
Halangan
ini akan berhenti dengan sendirinya, dan mereka bisa menikah secara sah, bila:
a)
Antara
penculik dan yang diculik sudah berpisah
b)
Pihak
wanita dikembalikan ke tempat yang aman
c)
sesudah
dipisahkan, wanita secara bebas mau kawin dengan bekas penculiknya itu.
8.
Halangan Nikah Kejahatan
Kanon
1090 § 1: “Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang
dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap
pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri”.
Sepasang
pria-wanita, yang dimabuk cinta secara berlebih-lebihan, bisa terjerumus dalam
suatu tindakan kriminal, yang justru
menghalangi mereka untuk menikah. Bisa jadi untuk ,memuluskan rencana
pernikahan, mereka membunuh suami/istri sendiri atau suami/istri pasangannya.
Halangan nikah ini bisa saja didispensasi, tapi oleh Takhta postolik, yang diberikan
atas alasan yang sangat berat dan hanya dalam kasus pembunuhan tersembunyi,
agar tidak memicu skandal atau kemarahan pihak lain.
9.
Halangan Nikah Hubungan Darah (Lih kanon 1091)
Gereja menetapkan halangan nikah hubungan darah
untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar.
Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest, yaitu perkawinan
antara orang-orang yang masih memiliki hubungan dasah yang sangat dekat.
Hubungan incest pertama-tama dilarang oleh ajaran moral kristiani. Hubungan
incest juga berakibat buruk terhadap keshatan fisik, psikologis, mental dan
intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan, yang akhirnya juga akan merugikan
masyarakat.
Kanon
1091 § 2 dilengkapi dengan kan. 1078 § 3, menegaskan bahwa Gereja tidak pernah
memberikan dispensasi dari halangan nikah dalam garis keturunan menyamping
tingka 2 (mis: antara dua orang bersaudara).
10. Halangan Nikah Hubungan Semenda
Kanon
1092: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat
mana pun”.
Hubungan
semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendakakan batas-batas hubungan
kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antaranggota dari dua keluarga itu.
Jadi hubungan semenda itu muncul sebagai akibat dari suatu ikatan perkawinan
dan bukan ikatan darah. Karena itu,
hubungan semenda ini lebih merupakan
suatu pertalian yuridis, bukan ikatan natural atas dasar keturunan atau
proses generatif. Konkritnya: terjadi
antara suami dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan istrinya; dan
sebaliknya antara istri dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan
suaminya, dalam garis lurus di semua tingkat. Misalnya: mertua dan menantu,
antara ibu dan anak tiri laki-laki, serta antara bapak dan anak tiri perempuan.
Halangan nikah ini dapat didispensasi dalam kasus yang sungguh-sungguh
merupakan kekecualian, demi menghindari skandal (dispensasi dari Ordinaris
Wilayah).
11.
Halangan Nikah Kelayakan Publik (Kanon 1093)
Hampir
sama dengan halangan semenda. Bedanya ialah hubungan semenda muncul dari ikatan
perkawinan sah; sedangkan kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak
sah (kumpul kebo / konkubinat) yang diketahui umum atau publik, sampai pada
garis lurus tingkat pertama.
Halangan
nikah ini sifatnya semata-mata gerejani.
Dan halangan ini hanya bisa terhenti melalui dispensasi dari Ordinaris
Wilayah.
12.
Halangan Pertalian Hukum Karena Adopsi
Kanon
1094: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai
pertalian hukum yang timbul dari adopsi”.
Adopsi
adalah tindakan hukum mengambil seseorang yang bukan anak/cucunya, dipelihara
dan diperlakukan sebagai anak/cucunya sendiri.
Hal ini bisa terjadi dengan suatu tindakan publik (upacara, peresmian)
atau dengan suatu ketetapan resmi menurut hukum sipil atau hukum adat.
Pertalian hukum yang muncul dengan adopsi, yakni: antara yang mengangkat dengan
yang diangkat; antara anak angkat dengan anak kodrati; antara Bapa angkat
dengan isteri anak angkat dan sebaliknya.
Motif
etis dan sosial yang mendasari halangan ini mirip dengan motif yang mendasari
halangan hubungan darah, yakni untuk melindungi moralitas dan martabat keluarga
serta relasi yang tepat antaranggota keluarga itu sendiri. Halangan nikah ini merupakan norma yang
sifatnya semata-mata gerejawi, jadi bagi orang yang terkena halangan ini bisa
dimintakan dispensasi pada otoritas gerejawi yang berwenang.
Sumber: http://www.katedral.sibolga.org/2012/01/halangan-halangan-nikah-caput.html
0 comments:
Post a Comment