Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Wednesday, March 6, 2013

Halangan Nikah Pada Perkawinan Katolik


Halangan Nikah Pada Perkawinan Katolik

Halangan nikah ialah larangan yang membuat seseorang tidak mampu untuk menikah. Kanon 1073:  “Halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu untuk menikah secara sah”. Untuk meneguhkan perkawinan orang yang terkena  halangan dibutuhkan dispensasi dari otoritas gerejawi yang berwenang.

1.      Halangan nikah umur
            Kanon 1083 § 1: “Laki-laki sebelum berumur genap 16 tahun dan perempuan berumur genap 14 tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah”.
      Dengan halangan umur ini, Gereja  bermaksud untuk menjamin kematangan jiwa dan fisik, demi kepentingan hidup perkawinan itu sendiri. Disamping itu, hukum Gereja memberikan kewenangan kepada Konferensi para Uskup untuk menetapkan usia yang lebih tinggi, terutama dengan mengikuti ketentuan hukum sipil setempat yang berlaku (kan. 1083§2), agar tidak terjadi konflik antara kedua perundang-undangan.  Namun ketentuan ini hanya untuk halalnya, bukan untuk sahnya perkawinan.

2.      Halangan Impotensi
          Impotensi artinya ketidakmampuan untuk melakkan hubungan seksual suami-istri. Impotensi bisa mengenai pria maupun wanita. Manurut kan 108 4 §, impotensia merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak atau pun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga  tidak pernah bisa didispensasi, apalagi impotensi tidak memungkinkan suami-istri menjadi “satu daging”, yang merupakan tujuan hakiki khas perkawinan.
Impotensi dikatakan “absolut” jika pihak yang bersangkutan tidak dapat melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis siapa pun, sehingga yang bersangkutan tidak bisa menikah dengan siapa pun. Sedangkan impotensi bersifat “relatif”, jika si penderita tidak mampu melakukan hubungan seksual  dengan orang tertentu, misalnya dengan pasangannya sendiri. Impotensi, baik absolut maupun relatif, menggagalkan perkawinan.

Catatan:  Sterilitas atau kemandulan dari dirinya sendiri, bukan merupakan halangan atau larangan nikah.


3.      Halangan Ikatan Perkawinan Sebelumnya
          Kan 1085 § 1: “Tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan persetubuhan”.
          Orang yang terikat oleh ikatan perkawinan sah tidak dapat kawin secara sah dengan pihak ketiga, bila ikatan terdahulu belum atau tidak dapat diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang.  Ikatan nikah  yang dimaksud di sini, tidak hanya mencakup perkawinan sah antara orang katolik, namun juga perkawinan sah orang-orang non-katolik.  Perceraian nikah yang telah dibuat oleh pengadilan negeri TIDAK mempunyai kekuatan  kanonik, dalam arti menurut pandangan Gereja, mereka yang telah bercerai masih tetap berada dalam ikatan nikah yang sah, sampai diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang.

4.      Halangan Beda Agama
         Di dalam perkawinan, suami-istri sama-sama berupaya mewujudkan persekutuan hidup dan cinta kasih dalam semua aspek dan dimensinya.  Justru karena itu, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak-anak dan kesejahteraan keluarga. Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya.
            Namun Gereja juga bersikap realistis. Ia mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas menentukan status hidupnya, entah hidup menikah atau tidak/selibater (bdk. Kan. 219). Dan jika ia memilih untuk menikah, ia bebas menentukan jodohnya sendiri, sekalipun berbeda iman atau agama. Untuk hal terakhir ini, Gereja menghormati pilihan orang tersebut, dengan melakukan beberapa tindakan pengamanan bagi iman katolik (lih. Kan. 1125).
        Ada perbedaan antara perkawinan campur beda Gereja (matrimonium mixtae religionis) dengan perkawinan campur beda agama (matrimonium disparitas cultus), baik dari sudut doktrinal maupun dari sudut hukum.  Secara doktrinal, perkawinan antara orang katolik dengan  orang yang dibaptis non-katolik (beda Gereja), perkawinan mereka adalah sakramen karena sama-sama memiliki pengakuan iman yang sama, suatu persekutuan dan kesamaan dalam harta rohani. Sedangkan perkawinan antara orang katolik dengan yang tidak dibaptis, bukan sakramen, tetapi hanya berdimensi natural saja, mereka hanya disatukan oleh nilai-nilai insani dan kodrati saja.
            Dari sudut hukum, perkawinan antara dua orang dibaptis, dimana salah satu katolik dan yang lain tidak, merupakan larangan (kan. 1124) yang membutuhkan ijin dari otoritas gerejawi yang berwenang.  Seangkan perkawinan antara seorang katolik  dengan orang yang tidak dibaptis merupakan halangan yang bersifat menggagalkan (kan. 1086 § 1), dan perkawinan ini bisa dilangsungkan jika ada dispensasi dari Ordinaris wilayah berdasarkan alasan yang wajar, nasuk akal dan mendesak (kan. 1086 § 2).

5.      Halangan Nikah Tahbisan Suci (Selibat)
          Kanon 1087: “ Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.
            Melalui tahbisan suci, beberapa  orang beriman, memperoleh status khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam Gereja. Mereka adalah uskup, imam dan diakon (bdk. Kan. 207 § 2, 1008, 1009 § 1).
           Gereja Katolik Roma (Latin), menuntut selibat penuh bagi mereka yang menerima tahbisan suci (bdk. Kan. 177), dan menjadikan tahbisan suci ini halangan nikah. Tuntutan ini bukanlah tuntutan buta tanpa alasan. Dalam hal ini Gereja katolik selalu mendasarkan diri pada teks-teks biblis (Lih Mat 19,12; Luk 18,28-30; 1 Kor 7,5.32-34; dll) serta tradisi Gereja yang panjang. Tujuannya adalah demi penyerahan diri secara total kepada Allah dan pelayanan yang penuh bagi jemaat.
            Karena sifatnya gerejani, halangan nikah ini bisa didispensasi oleh Takhta Suci (lih kanon 1075). Dispensasi mencakup dua hal, yang disebut laikalisasi (proses menjadi awam kembali) dan dispensasi dari selibat, sehingga memungkinkan dilangsungkannya pernikahan secara sah.

6.      Halangan Nikah Religius
          Kanon 1088: “Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius”.
        Yang dimaksud kaul publik adalah kaul yang diterima secara resmi atas nama Gereja.  Yang menjadi halangan nikah yang bersifat menggagalkan adalah kaul kekal dalam semua tarekat religius, baik yang di tingkat kepausan maupun tingkat keuskupan.
      Gereja menjadikan kaul kekal publik ini halangan yang menggagalkan perkawinan, karena apa yang menjadi objek kaul kemurnian, secara praktis dan logis, tidak dapat berjalan bersama dengan objek perkawinan, yaitu consortium totius vitae yang mencakup juga hak atas persetubuhan. Karena itu, orang yang telah mengucapkan kaul kekal tidak bisa menikah dengan sah, kecuali telah mendapat dispensasi dari otoritas yang berwenang.

7.      Halangan Nikah Penculikan (kan. 1089)
       Yang dimaksud dengan penculikan adalah “membawa pergi secara paksa seorang wanita yang tidak mau, dengan tujuan untuk dinikahi”.  Paksaan ini bisa bersifat fisik maupun moral. Paksaan moral terjadi bila, misalnya dibarengi dengan ancaman yang maha dahsyat, sehingga membuat wanita ketakutan. Penculikan secara paksa ini harus dibedakan dengan kasus wanita yang dibawa pergi karena tertarik oleh rayuan. Yang ini jelas bukan paksaan.
Halangan ini akan berhenti dengan sendirinya, dan mereka bisa menikah secara sah, bila:
a)    Antara penculik dan yang diculik sudah berpisah
b)   Pihak wanita dikembalikan ke tempat yang aman
c)    sesudah dipisahkan, wanita secara bebas mau kawin dengan bekas penculiknya itu.
          
8.      Halangan Nikah Kejahatan
        Kanon 1090 § 1: “Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri”.
        Sepasang pria-wanita, yang dimabuk cinta secara berlebih-lebihan, bisa terjerumus dalam suatu tindakan kriminal, yang justru  menghalangi mereka untuk menikah. Bisa jadi untuk ,memuluskan rencana pernikahan, mereka membunuh suami/istri sendiri atau suami/istri pasangannya. Halangan nikah ini bisa saja didispensasi, tapi oleh Takhta postolik, yang diberikan atas alasan yang sangat berat dan hanya dalam kasus pembunuhan tersembunyi, agar tidak memicu skandal atau kemarahan pihak lain.

9.      Halangan Nikah Hubungan Darah (Lih kanon 1091)
     Gereja  menetapkan halangan nikah hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest, yaitu perkawinan antara orang-orang yang masih memiliki hubungan dasah yang sangat dekat. Hubungan incest pertama-tama dilarang oleh ajaran moral kristiani. Hubungan incest juga berakibat buruk terhadap keshatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan, yang akhirnya juga akan merugikan masyarakat.
        Kanon 1091 § 2 dilengkapi dengan kan. 1078 § 3, menegaskan bahwa Gereja tidak pernah memberikan dispensasi dari halangan nikah dalam garis keturunan menyamping tingka 2 (mis: antara dua orang bersaudara).
10.  Halangan Nikah Hubungan Semenda
Kanon 1092: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat mana pun”.
       Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendakakan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antaranggota dari dua keluarga itu. Jadi hubungan semenda itu muncul sebagai akibat dari suatu ikatan perkawinan dan bukan  ikatan darah.  Karena itu,  hubungan semenda ini lebih merupakan  suatu pertalian yuridis, bukan ikatan natural atas dasar keturunan atau proses generatif.  Konkritnya: terjadi antara suami dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan istrinya; dan sebaliknya antara istri dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan suaminya, dalam garis lurus di semua tingkat. Misalnya: mertua dan menantu, antara ibu dan anak tiri laki-laki, serta antara bapak dan anak tiri perempuan. Halangan nikah ini dapat didispensasi dalam kasus yang sungguh-sungguh merupakan kekecualian, demi menghindari skandal (dispensasi dari Ordinaris Wilayah).

11.   Halangan Nikah Kelayakan Publik (Kanon 1093)
           Hampir sama dengan halangan semenda. Bedanya ialah hubungan semenda muncul dari ikatan perkawinan sah; sedangkan kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah (kumpul kebo / konkubinat) yang diketahui umum atau publik, sampai pada garis lurus tingkat pertama.
          Halangan nikah ini sifatnya semata-mata gerejani.  Dan halangan ini hanya bisa terhenti melalui dispensasi dari Ordinaris Wilayah.

12.   Halangan Pertalian Hukum Karena Adopsi
        Kanon 1094: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi”.
       Adopsi adalah tindakan hukum mengambil seseorang yang bukan anak/cucunya, dipelihara dan diperlakukan sebagai anak/cucunya sendiri.  Hal ini bisa terjadi dengan suatu tindakan publik (upacara, peresmian) atau dengan suatu ketetapan resmi menurut hukum sipil atau hukum adat. Pertalian hukum yang muncul dengan adopsi, yakni: antara yang mengangkat dengan yang diangkat; antara anak angkat dengan anak kodrati; antara Bapa angkat dengan isteri anak angkat dan sebaliknya.
          Motif etis dan sosial yang mendasari halangan ini mirip dengan motif yang mendasari halangan hubungan darah, yakni untuk melindungi moralitas dan martabat keluarga serta relasi yang tepat antaranggota keluarga itu sendiri.  Halangan nikah ini merupakan norma yang sifatnya semata-mata gerejawi, jadi bagi orang yang terkena halangan ini bisa dimintakan dispensasi pada otoritas gerejawi yang berwenang.

Sumber: http://www.katedral.sibolga.org/2012/01/halangan-halangan-nikah-caput.html

0 comments:

Post a Comment