Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Monday, January 28, 2013

Manusia hidup dan berkembang dalam kebersamaan.

Manusia hidup dan berkembang dalam kebersamaan.


Manusia hanya dapat mewujudkan dirinya sebagai manusia atau mengaktualisasikan dirinya dalam hubungan dengan sesama. Dimensi mengenai keberadaan manusia berada bersama dengan sesamanya ini hendak menunjuk dimensi sosial dan dimensi  intersubyektif manusia. Manusia tidak muncul begitu saja di dunia, sebab pada hakikatnya ia bersifat sosial. Tidak mungkin manusia sendirian dalam mendidik diri, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang pokok, merealisasikan cita-citanya dan sebagainya. Maka secara wajar manusia selalu ditemukan dalam kelompok, mula-mula kelompok kecil: keluarga, klan, suku, lambat laut dalam kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara. Dengan cara ini lingkup budayanya semakin tinggi, luas, demikian juga sosialitasnya berkembang.

Dua pendekatan. Ada dua pendekatan yang berbeda mengenai hakekat hubungan antar-manusia. 1) melihat manusia sebagai makluk individual yang pertama-tama pada dunia (dimana juga terdapat juga manusia lainnya) dan 2) melihat manusia dalam kesatuan manusia dengan manusia yang lain didunia.

Pendekatan pertama menekankan kesadaran individual dan kesadaran itu adalah kesadaran obyektif. Manusia mencapai kesadaran itu berkat kekuatannya sendiri. Pemikiran yang semacam ini sudahmuncul sejak dalam masa Yunani. Bagi Plato: individualitas lebih penting. Sebab menurutnya sosialitas manusia hanyalah gejala contingent  (sementara), sebab hakekat manusia adalah jiwa yang mencapai kesempurnaannya bila kemablai pada asal atau sumbernya di dunia ideal. Bagi Plato,  setiap orang  bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan orang lain. Pendekatan individual juga menekankan penguasaan manusia atas dunia materiil lewat ilmu dan teknologi. Pendekatan ini dirintis oleh Descartes, yang melihat manusia pertama-tama sebagai “kesadaran”, sebagai ‘cogito’ dalam hubungan dengan subjek, dunia materiil. Manusia pada dasarnya adalah individu yang tertutup pada dirinya sendiri dan terisolir dari yang lain. Individu dapat mecapai kesadarannya sendiri. Aliran ini disebut “egologia”. Antropologi Descartes ini menjadi dasar idealisme pasca-Kant. Idealisme ini bertolak dari pemutlakkan “aku” dan berakhir dengan negasi “aku” konkret, tunggal. Tetapi siapakah sesamaku manusia? Demikian J.P. Sartre memahami manusia. Bagi Sartre eksistensi manusia bertolak dari kenyataan “ada untuk dirinya”. Inilah yang membedakan kekhasan manusia sebagai eksistensi dengan makluk yang lain. Bagi Sartre “orang lain adalah neraka”. Hubungan antar-subyek tidak mungkin.
Pendekatan kedua, memberi tempat utama pada kesatuan langsung manusia dengan manusia laiinnya di dunia. Sosialitas sejak awal inheren atau melekat dalam seluruh kehidupan manusia. ‘Kemandirian’ atau ‘keswadayaan’ ego atau aku ditolak. Manusia hanya dapat menyempurnakan diri dalam kesatuan dengan yang lain dan ia bertanggungjawab terhadap yang lain. Pandangan ini misalanya sangan ditekankan oleh G. Marcel.  Namun demikian sebelum dia, pandangan semacam ini juga sudah ditemukan sejak filsafat Yunani. Aristoteles menekankan bahwa dimensi sosial merupakan hal yang penting. Menurutnya, manusia secara hakiki merupakan kesatuan jiwa-badan, dan dalam konstitusi ini mau tidak mau ia hidup dalam sosialitas. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Marcel memulai filsafatnya dengan “situasi konkret” dan menempatkan dimensi intersubyektif ini dalam pendekatan ini. Dalam situasi ini, Marcel melihat bahwa ada keterbukaan manusia. Hasratnya untuk berkomunikasi. Kata yang sering digunakan “keberadaan bersama” (co-etre). Dalam hubungan dengan yang lain, terdapat kuasa diatas saya, yang mengatur, yang mengarahkan. Kuasa itu adalah cinta. Cinta itu nampak dalam ciri: kerelaan (disponibilite) yang berlawanan dengan sikap pemilikan (appartenance), penerimaan (receptive) yakni menyediakan tempat bagi yang lain, keterlibatan (engagement), bukannya sikap mau mencampuri urusan orang lain melainkan mau ambil bagian dalam aktivitas yang lain dan kesetiaan (fidelite) yakni kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap perencanaan orang lain. Setia bukan dalam arti melakukan pekerjaan rutin tanpa basen, tetapi menyediakan diri untuk menanggung resiko yang telah dipilihnya.

Kedua pendekatan tersebut hendaknya tidak saling dilawankan. Dalam rangka memahami hakekat manusia yang hidup dan berkembang dalam kebersamaan keduanya merupakan hal yang saling terkait, sebab pada dasarnya hakikat manusia selalu berada dalam otonomi dan korelasi. Pendekatan individual yang lebih menekankan diri sebagai subyek hendak menunjukkan bahwa pada hekekatnya manusia adalah unik, khas dan tak tergantikan oleh yang lain dan memiliki kebebasan untuk dirinya sendiri. Sedangkan pendekatan yang melihat dimensi manusia dalam hubungannya dengan mansia lain mau menunjukkan bahwa manusia berada berada diantara dan bersama yang lain. Manusia tidak serta merta ada begitu saja, melainkan ada karena yang lain.

0 comments:

Post a Comment