Manusia hidup dan berkembang dalam kebersamaan.
Manusia hanya dapat mewujudkan dirinya sebagai
manusia atau mengaktualisasikan dirinya dalam hubungan dengan sesama. Dimensi
mengenai keberadaan manusia berada bersama dengan sesamanya ini hendak menunjuk
dimensi sosial dan dimensi
intersubyektif manusia. Manusia tidak muncul begitu saja di dunia,
sebab pada hakikatnya ia bersifat sosial. Tidak mungkin manusia sendirian dalam
mendidik diri, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang pokok, merealisasikan
cita-citanya dan sebagainya. Maka secara wajar manusia selalu ditemukan dalam kelompok, mula-mula kelompok kecil:
keluarga, klan, suku, lambat laut dalam kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara. Dengan cara
ini lingkup budayanya semakin tinggi, luas, demikian juga sosialitasnya
berkembang.
Dua
pendekatan.
Ada dua pendekatan
yang berbeda mengenai hakekat hubungan antar-manusia. 1) melihat manusia sebagai makluk individual yang pertama-tama pada
dunia (dimana juga terdapat juga manusia lainnya) dan 2) melihat manusia dalam kesatuan manusia dengan
manusia yang lain didunia.
Pendekatan pertama
menekankan kesadaran individual dan kesadaran itu adalah kesadaran obyektif.
Manusia mencapai kesadaran itu berkat kekuatannya sendiri. Pemikiran yang
semacam ini sudahmuncul sejak dalam masa Yunani. Bagi Plato: individualitas lebih penting. Sebab menurutnya sosialitas manusia hanyalah gejala contingent (sementara), sebab hakekat manusia adalah jiwa
yang mencapai kesempurnaannya bila kemablai pada asal atau sumbernya di dunia
ideal. Bagi Plato, setiap orang
bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan
orang lain. Pendekatan individual juga menekankan penguasaan manusia atas dunia
materiil lewat ilmu dan teknologi. Pendekatan ini dirintis oleh Descartes, yang melihat manusia
pertama-tama sebagai “kesadaran”, sebagai ‘cogito’ dalam hubungan dengan
subjek, dunia materiil. Manusia pada dasarnya
adalah individu yang tertutup pada dirinya sendiri dan terisolir dari yang
lain. Individu dapat mecapai kesadarannya sendiri. Aliran ini disebut
“egologia”. Antropologi Descartes ini menjadi dasar idealisme pasca-Kant. Idealisme ini bertolak dari pemutlakkan “aku” dan berakhir dengan negasi
“aku” konkret, tunggal. Tetapi siapakah sesamaku manusia? Demikian J.P. Sartre memahami manusia. Bagi
Sartre eksistensi manusia bertolak dari kenyataan “ada untuk dirinya”. Inilah
yang membedakan kekhasan manusia sebagai eksistensi dengan makluk yang lain.
Bagi Sartre “orang lain adalah neraka”. Hubungan antar-subyek tidak mungkin.
Pendekatan kedua,
memberi tempat utama pada kesatuan langsung manusia dengan manusia laiinnya di
dunia. Sosialitas sejak awal inheren atau melekat dalam seluruh kehidupan
manusia. ‘Kemandirian’ atau ‘keswadayaan’ ego atau aku ditolak. Manusia hanya
dapat menyempurnakan diri dalam kesatuan dengan yang lain dan ia bertanggungjawab
terhadap yang lain. Pandangan ini misalanya sangan ditekankan oleh G. Marcel. Namun demikian sebelum dia, pandangan semacam
ini juga sudah ditemukan sejak filsafat Yunani. Aristoteles menekankan bahwa dimensi sosial merupakan hal yang
penting. Menurutnya, manusia secara hakiki merupakan kesatuan jiwa-badan, dan
dalam konstitusi ini mau tidak mau ia hidup dalam sosialitas. Dari dirinya
sendiri manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Marcel memulai filsafatnya dengan “situasi konkret” dan menempatkan
dimensi intersubyektif ini dalam pendekatan ini. Dalam situasi ini, Marcel
melihat bahwa ada keterbukaan manusia. Hasratnya untuk berkomunikasi. Kata yang
sering digunakan “keberadaan bersama” (co-etre). Dalam hubungan dengan yang
lain, terdapat kuasa diatas saya, yang mengatur, yang mengarahkan. Kuasa itu adalah cinta. Cinta itu nampak dalam ciri: kerelaan (disponibilite) yang berlawanan dengan sikap pemilikan
(appartenance), penerimaan (receptive) yakni menyediakan tempat bagi yang lain,
keterlibatan (engagement), bukannya
sikap mau mencampuri urusan orang lain melainkan mau ambil bagian dalam
aktivitas yang lain dan kesetiaan
(fidelite) yakni kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap perencanaan orang
lain. Setia bukan dalam arti melakukan pekerjaan rutin tanpa basen, tetapi
menyediakan diri untuk menanggung resiko yang telah dipilihnya.
Kedua pendekatan tersebut hendaknya tidak saling
dilawankan. Dalam rangka memahami hakekat manusia yang hidup dan berkembang
dalam kebersamaan keduanya merupakan hal yang saling terkait, sebab pada
dasarnya hakikat manusia selalu berada dalam otonomi dan korelasi. Pendekatan individual yang lebih menekankan
diri sebagai subyek hendak menunjukkan bahwa pada hekekatnya manusia adalah
unik, khas dan tak tergantikan oleh yang lain dan memiliki kebebasan untuk
dirinya sendiri. Sedangkan pendekatan yang melihat dimensi manusia dalam
hubungannya dengan mansia lain mau menunjukkan bahwa manusia berada berada
diantara dan bersama yang lain. Manusia tidak serta merta ada
begitu saja, melainkan ada karena yang lain.
0 comments:
Post a Comment