Theology,Technology, and Philosophy, ENJOY!!

Monday, January 28, 2013

Pengertian iman

Pengertian Iman

Iman dalam arti umum
Kata ‘iman’ seakar dengan kata ‘aman’, ‘amin’. Iman berarti menerima, meyetujui dengan apa yang dinyatakan. Dalam bahasa Indonesia, ‘beriman’ lebih dimaksudkan dalam hubungan dengan Allah, sedang ‘percaya’ dipakai dalam hubungan dengan manusia. Dalam konteks teologis iman adalah penyerahan  diri manusia kepada Allah, jawaban atas wahyu Allah, menaruh kepercayaan kepada Allah. Disini perlu dibedakan antara iman subyektif dan iman obyektif. Iman subyektif: iman sebagai kegiatan, sikap, tindakan sehinggan akal budi dan kehendak ikut serta. Iman obyektif: sasaran/obyek iman, apa yang diimani (berbeda menurut agama/keyakinannya).

Iman dalam Kitab Suci
Perjanjian Lama
          Dalam Perjanjian Lama tidak ada istilah yang seragam mengenai iman. Beriman umumnya diungkapkan dengan kata ‘he-emin’ yang berarti ‘mantab berdiri’, ‘mempunyai andalan pada’; ‘aman’ : pasti, kuat, teguh; ‘batah’: mengandalkan diri; ‘hasah’: berlindung. 
          Pengalaman iman Perjanjian Lama mengalir dari relasi bangsa Israel dengan Allah yang mewahyukan diri dalam sejarah. Pengakuan sentral iman Perjanjian Lama adalah: Yahwe adalah Allah Israel (Yos 24,2). Credo umat Perjanjian Lama itu misalnya tampak dalam Ul 26, 5-9. Iman Perjanjian Lama bergerak dari iman Abraham yang terjangkarkan pada peristiwa pembebasan Israel dari Mesir. Ungkapan paling padat misalnya: ‘hanya dengan tetap teguh berdiri didalam iman maka manusia akan tetap bertahan dan hidup (Yes 7,9).
          Maka iman pada hakekatnya: jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan diri-Nya secara historis. Manusia menjawab perintah Allah dengan kataatan dan pengakuan (Mzm 199); dengan kesetiaan (Yes 26,2f), dengan sikap percaya (Kej 15,6; Ye3r 39,18).

Perjanjian Baru
          Iman diungkapkan dengan kata ‘pistis’ dan ‘pisteuin’ yang artinya kepercayaan, ketaatan. Dalam injil sinoptik iman pertama-tama dipahami sebagai sikap mendengarkan (Mrk 4:9). Iman juga berarti mengerti ( Mat 13:19). Dua hal yang ingin dipahami dalam sikap mengerti, pertama yaitu menerima sabda Allah dan mempercayainya dan hidup sesuai dengan sabda itu. Kedua, yaitu bertobat, orang berbalik kepada Allah (Mat 4:17). Menurut Yohanes, iman berarti menerima Allah dalam Yesus Kristus. Dalam Kisah para Rasul, iman dilukiskan degan sikap manusia yang mengarahkan diri kepada diri Yesus seluruhnya, sikap yang melekat pada pribadi Yesus (Kis3:16). Dalam surat-surat Paulus beriman berarti semakin mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus. Manusia diajak semakin mengenal rencana penyelamatan Allah sendiri dalam Yesus Kristus (1Kor 1:17-3; 2:1-4). Paulus mengartikan ‘sabda Yesus’ bukan sebagai pernyataan-pernyataan kebenaran, melainkan Diri Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat (Rm:21-31).
          Sesudah paska terjadi pergeseran: Kristus yang semula mewartakan Kerajaan Allah menjadi Yesus yang diwartakan. Iman kepada Kristus berarti memasukkan manusia ke dalam eksistensi baru di dalam Kristus (2Kor 5,17) dan membuat orang beriman berpartisipasi pada nasibnya (Rm 6,4-11).

Tradisi
Agustinus
Manusia tidak dapat berbuat apa. Keselamatan itu mutlak karunia dan iman itu rahmat. Konsili Orange (529) yang meghadapi pelagianisme (Kristus hanya dibutuhkan oleh orang berdosa. Dari usahanya sendiri manusia bisa selamat.), mengajarkan bahwa seluruh proses beriman bersifat rahmat, termasuk bentuk pertamanya dimana manusia membuka diri mencari Allah. Dipihak manusia hanya bisa menghambat atau menyetujui.

Konsili Trente (1545-1563)
Persolannya adalah iman dibicarakan dalam rangka justificatio. Pembenaran itu cukup dengan iman saja atau perlu perbuatan? Reformasi menjawab cukup dengan iman saja (sola fides), sebab iman adalah penyerahan diri total kepada Allah (fides fiducialis). Trente menjawab pembenaran tidak cukup dengan iman melainkan juga perbuatan. Iman merupakan penerimaan wahyu Allah secara konseptual. Agar iman itu sungguh menjadi nyata, maka diperlukan perbuatan.

Konsili Vatikan I (18691-1870)
          Latar belakang dari KV I adalah munculnya dua aliran besar waktu itu: rasionalisme: aliran yang sangat menekankan peran rasio dan mengesampingkan iman; dan tradisionalisme/fideisme: aliran yang menyingkirkan peran akal budi dan lari kepada iman semata.
          KV I pertama mencoba menghadapi dua alira tersebut melalui Konstitusi Dei Filius. Melawan rasionalisme, KV I menyatakan bahwa iman merupakan penerimaan kebenaran-kebenran oleh akal budi. Penerimaan ini bukan karena terang akal budi melainkan karena wibawa Allah yang mewahyukan diri. Manusia beriman atas otoritas Allah yang mewahyukan diri, artinya manusia terikat untuk taat dalam iman kepada Allah karena Allah tidak dapat menipu atau di tipu.
          Melawan tradisionalisme/fideisme, KV I menyatakan ketaatan iman itu harus selaras dengan akal budi dan bahwa Allah menyediakan bermacam-macam mukjijat yang memungkinkan kita mengakui bahwa wahyu berasal dari Allah. Agar iman itu memiliki kesesuaian dan tidak bertentangan dengan akal budi, Allah dengan bantuan Roh Kudus menberikan tanda-tanda luarperwahyuan terutama mukzizat yang dapat ditangkap dengan kemampuan pengenalan.
          Ada dua tata pengenalan: kodrati dan adikodrati. Yang pertama, mengenal Allah menurut akal budi; yang kedua: menurut iman ilahi. Keduanya, juga berbeda obyeknya. Yang pertama, pengenalan Allah yang kodrati tidak pernah dapat dijangkau dan dikenal oleh budi yakni misteri Allah yang tersembunyi, kecuali jika Allah mewahyukan diri-Nya dan manusia menanggapi dengan iman. Iman dan akal budi tidak berlawanan. Iman dapat melindungi manusia dari kesesatan; akal budi dapat membuktikan dasar-dasar iman dan membangun ilmu pengetahuan ilahi. Singkatnya, melalui iman manusia mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak kepada Allah.

Konsili Vatikan II (1963-1965)
          Konsili mendekati masalah iman dan wahyu sebagai komunikasi pribadi dan persatuan personal Allah dan manusia, pemberian diri Allah (DV 2). Pemberian diri Allah ini disampaikan melalui perkataan dan perbuatan sepanjang sejarah dan memuncak dalam diri Yesus Kristus (DV 3-4). Atas pemberian diri Allah dalam Kristus itu, manusia menanggapi dengan imannya. Jadi iman merupakan penyerahan diri manusia secar bebas dan total kepada Allah yang telah memberikan dirin-Nya kepada manusia (DV 5). Jawaban itu melibatkan seluruh pribadi manusia dan bukan hanya akan budi dan kehendaknya.
          Bertolak dari DV 5 dapat ditemukan tiga butir perumusan iman:
Ø   Iman merupakan penyerahan diri seluruhnya kepada Allah secara bebas
Iman tidak hanya merupakan persetujuan terhadap sebuah kebenaran, tetapi merupakan penyerahan diri kepada Allah. Istilah alkitabiah “ketaatan iman” (Rm 16,26) diartikan oleh KV II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia yang menanggapi wahyu Allah. Dalam menjawab itu, tidak hanya lewat akal budi saja, tetapi dengan seluruh pribadi manusia, segenap jiwa raga, dan segenap hati dan kekuatan. KV II tidak bertentangan dengan KV I tetapi memandangnya secara menyeluruh.
Ø   Obyek iman kepercayaan yaitu Allah sendiri
Obyek yag diimani bukan pertama-tama kebenaran-kebenaran tetapi terutama Allah sendiri. Konsili mengatakan, “kepada Allah yang mewahyukan diri harus diberi ketaatan iman”.
Ø   Iman itu anugerah
Iman sebagai pertemuan personal antara Allah dan manusia adalah anugerah Allah. “Supaya iman itu ada perlulah uluran tangan dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin Roh Kudus” (DV 5). Peran Roh Kudus sendiri yakni: 1)“menggerakkan hati. 2) ‘membuka mata hati’ 3)memberikan kepuasan dan dan kegembiraan dalam menyetujui dan mengimani Allah.


0 comments:

Post a Comment