Pengertian Iman
Iman dalam arti umum
Kata ‘iman’ seakar
dengan kata ‘aman’, ‘amin’. Iman berarti menerima, meyetujui dengan apa yang
dinyatakan. Dalam bahasa Indonesia, ‘beriman’ lebih dimaksudkan dalam hubungan
dengan Allah, sedang ‘percaya’ dipakai dalam hubungan dengan manusia. Dalam
konteks teologis iman adalah penyerahan diri
manusia kepada Allah, jawaban atas wahyu Allah, menaruh kepercayaan kepada
Allah. Disini perlu dibedakan antara iman subyektif dan iman obyektif. Iman
subyektif: iman sebagai kegiatan, sikap, tindakan sehinggan akal budi
dan kehendak ikut serta. Iman obyektif: sasaran/obyek iman, apa yang diimani
(berbeda menurut agama/keyakinannya).
Iman dalam Kitab Suci
Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama tidak ada istilah yang seragam
mengenai iman. Beriman umumnya diungkapkan dengan kata ‘he-emin’ yang berarti ‘mantab berdiri’, ‘mempunyai andalan pada’; ‘aman’ : pasti, kuat, teguh; ‘batah’: mengandalkan diri; ‘hasah’: berlindung.
Pengalaman iman Perjanjian Lama mengalir dari relasi bangsa
Israel dengan Allah yang mewahyukan diri dalam sejarah. Pengakuan sentral iman
Perjanjian Lama adalah: Yahwe adalah Allah Israel (Yos 24,2). Credo umat
Perjanjian Lama itu misalnya tampak dalam Ul 26, 5-9. Iman Perjanjian Lama
bergerak dari iman Abraham yang
terjangkarkan pada peristiwa pembebasan Israel dari Mesir. Ungkapan paling
padat misalnya: ‘hanya dengan tetap teguh berdiri didalam iman maka manusia
akan tetap bertahan dan hidup (Yes 7,9).
Maka iman pada hakekatnya: jawaban manusia kepada Allah
yang mewahyukan diri-Nya secara historis. Manusia menjawab perintah Allah dengan
kataatan dan pengakuan (Mzm 199); dengan kesetiaan (Yes 26,2f), dengan sikap
percaya (Kej 15,6; Ye3r 39,18).
Perjanjian Baru
Iman diungkapkan dengan kata ‘pistis’ dan ‘pisteuin’
yang artinya kepercayaan, ketaatan. Dalam injil sinoptik iman pertama-tama
dipahami sebagai sikap mendengarkan (Mrk 4:9). Iman juga berarti mengerti
( Mat 13:19). Dua hal yang ingin dipahami dalam sikap mengerti, pertama
yaitu menerima sabda Allah dan mempercayainya dan hidup sesuai dengan
sabda itu. Kedua, yaitu bertobat, orang berbalik kepada Allah (Mat
4:17). Menurut Yohanes, iman berarti menerima Allah dalam Yesus Kristus.
Dalam Kisah para Rasul, iman dilukiskan degan sikap manusia yang
mengarahkan diri kepada diri Yesus seluruhnya, sikap yang melekat pada pribadi
Yesus (Kis3:16). Dalam surat-surat Paulus beriman berarti semakin
mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus. Manusia diajak semakin mengenal
rencana penyelamatan Allah sendiri dalam Yesus Kristus (1Kor 1:17-3; 2:1-4).
Paulus mengartikan ‘sabda Yesus’ bukan sebagai pernyataan-pernyataan kebenaran,
melainkan Diri Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat (Rm:21-31).
Sesudah paska terjadi pergeseran: Kristus yang semula
mewartakan Kerajaan Allah menjadi Yesus yang diwartakan. Iman kepada Kristus
berarti memasukkan manusia ke dalam eksistensi baru di dalam Kristus (2Kor
5,17) dan membuat orang beriman berpartisipasi pada nasibnya (Rm 6,4-11).
Tradisi
Agustinus
Manusia tidak dapat
berbuat apa. Keselamatan itu mutlak karunia dan iman itu rahmat. Konsili Orange
(529) yang meghadapi pelagianisme (Kristus hanya dibutuhkan oleh orang berdosa.
Dari usahanya sendiri manusia bisa selamat.), mengajarkan bahwa seluruh proses
beriman bersifat rahmat, termasuk bentuk pertamanya dimana manusia
membuka diri mencari Allah. Dipihak manusia hanya bisa menghambat atau
menyetujui.
Konsili Trente (1545-1563)
Persolannya adalah iman
dibicarakan dalam rangka justificatio.
Pembenaran itu cukup dengan iman saja atau perlu perbuatan? Reformasi menjawab
cukup dengan iman saja (sola fides),
sebab iman adalah penyerahan diri total kepada Allah (fides fiducialis). Trente menjawab pembenaran tidak cukup dengan
iman melainkan juga perbuatan. Iman merupakan penerimaan wahyu Allah secara
konseptual. Agar iman itu sungguh menjadi nyata, maka diperlukan perbuatan.
Konsili Vatikan I (18691-1870)
Latar belakang dari KV I adalah munculnya dua aliran besar
waktu itu: rasionalisme: aliran yang
sangat menekankan peran rasio dan mengesampingkan iman; dan tradisionalisme/fideisme: aliran yang
menyingkirkan peran akal budi dan lari kepada iman semata.
KV
I pertama mencoba menghadapi dua alira tersebut melalui Konstitusi Dei Filius. Melawan rasionalisme, KV I
menyatakan bahwa iman merupakan penerimaan kebenaran-kebenran oleh akal
budi. Penerimaan ini bukan karena terang akal budi melainkan karena wibawa
Allah yang mewahyukan diri. Manusia beriman atas otoritas Allah yang mewahyukan
diri, artinya manusia terikat untuk taat dalam iman kepada Allah karena Allah
tidak dapat menipu atau di tipu.
Melawan tradisionalisme/fideisme, KV I menyatakan ketaatan
iman itu harus selaras dengan akal budi dan bahwa Allah menyediakan
bermacam-macam mukjijat yang memungkinkan kita mengakui bahwa wahyu berasal
dari Allah. Agar iman itu memiliki kesesuaian dan tidak bertentangan dengan
akal budi, Allah dengan bantuan Roh Kudus menberikan tanda-tanda luarperwahyuan
terutama mukzizat yang dapat ditangkap dengan kemampuan pengenalan.
Ada dua tata pengenalan: kodrati dan adikodrati. Yang
pertama, mengenal Allah menurut akal budi; yang kedua: menurut iman ilahi.
Keduanya, juga berbeda obyeknya. Yang pertama, pengenalan Allah yang kodrati
tidak pernah dapat dijangkau dan dikenal oleh budi yakni misteri Allah yang
tersembunyi, kecuali jika Allah mewahyukan diri-Nya dan manusia menanggapi dengan
iman. Iman dan akal budi tidak berlawanan. Iman dapat melindungi manusia dari
kesesatan; akal budi dapat membuktikan dasar-dasar iman dan membangun ilmu
pengetahuan ilahi. Singkatnya, melalui iman manusia mempersembahkan kepatuhan
akal budi serta kehendak kepada Allah.
Konsili Vatikan II (1963-1965)
Konsili mendekati masalah iman dan wahyu sebagai komunikasi
pribadi dan persatuan personal Allah dan manusia, pemberian diri Allah (DV 2).
Pemberian diri Allah ini disampaikan melalui perkataan dan perbuatan sepanjang
sejarah dan memuncak dalam diri Yesus Kristus (DV 3-4). Atas pemberian diri
Allah dalam Kristus itu, manusia menanggapi dengan imannya. Jadi iman merupakan
penyerahan diri manusia secar bebas dan total kepada Allah yang telah
memberikan dirin-Nya kepada manusia (DV 5). Jawaban itu melibatkan seluruh
pribadi manusia dan bukan hanya akan budi dan kehendaknya.
Bertolak dari DV 5 dapat ditemukan tiga butir perumusan
iman:
Ø Iman merupakan penyerahan diri seluruhnya
kepada Allah secara bebas
Iman
tidak hanya merupakan persetujuan terhadap sebuah kebenaran, tetapi merupakan
penyerahan diri kepada Allah. Istilah alkitabiah “ketaatan iman” (Rm 16,26)
diartikan oleh KV II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia
yang menanggapi wahyu Allah. Dalam menjawab itu, tidak hanya lewat akal budi
saja, tetapi dengan seluruh pribadi manusia, segenap jiwa raga, dan segenap
hati dan kekuatan. KV II tidak bertentangan dengan KV I tetapi memandangnya
secara menyeluruh.
Ø Obyek iman kepercayaan yaitu Allah sendiri
Obyek
yag diimani bukan pertama-tama kebenaran-kebenaran tetapi terutama Allah
sendiri. Konsili mengatakan, “kepada Allah yang mewahyukan diri harus diberi
ketaatan iman”.
Ø Iman itu anugerah
Iman
sebagai pertemuan personal antara Allah dan manusia adalah anugerah Allah.
“Supaya iman itu ada perlulah uluran tangan dan bantuan rahmat Allah serta
pertolongan batin Roh Kudus” (DV 5). Peran Roh Kudus sendiri yakni:
1)“menggerakkan hati. 2) ‘membuka mata hati’ 3)memberikan kepuasan dan dan
kegembiraan dalam menyetujui dan mengimani Allah.
0 comments:
Post a Comment