Tradisi Gereja
Pengertian
Istilah “tradisi” berasal dari kata Latin “traditio”,
“tradere” yang artinya menyerahkan, meneruskan, memberikan, menyampaikan. Dalam
bahasa Yunani dipakai kata “paradosis” yang artinya penyerahan, penerusan,
penyampaian. Dalam arti harafiah, tradisi berarti: sesuatu yang diteruskan dari
orang yang satu ke orang yang lain, dari generasi satu ke generasi selanjutnya
Konsep tradisi pertama-tama menyangkut proses penerusan, bukan soal adat
kebiasaan-ajaran.
Persoalan mengenai tradisi muncul dalam zaman reformasi.
Menurut reformis: kebenaran (justificatio)
tidak ada dalam tradisi tetapi hanya dalam Kitab Suci. Tradisi bisa keliru,
pemimpin Gereja dan ajaran Gereja bisa salah.
Hakikat Tradisi
Tradisi menyangkut aspek penerusan wahyu ilahi secara
historis. Allah menghendaki bahwa apa yang diwahyukan-Nya yakni keselamatan
kepada semua bangsa harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada
segala keturunan (DV 7). Tradisi berarti subyek, pewartaan iman dari satu
generasi ke generasi yang lain dan isi dari penerusan iman Gereja. Tradisi
merupakan proses komunikasi iman dari satu angkatan ke angkatan berikut.
Tradisi merupakan penyerahan, penerusan, dan komunikasi yang terus menerus
diantara orang sezaman. Kristius sendiri memerintahkan kepada para Rasul supaya
Injil yakni warta keselamatan yang dahulu dijanjikan Allah melalui para nabi
dan dipenuhi oleh-Nya dimaklumkan sampai keujung bumi (Mat 28,19-20). Perintah
Allah itu dilaksanakan oleh para Rasul melalui pewartaan lisan, dengan teladan
hidup, serta ajaran-ajaran.
Selain itu perintah itu juga dilakukan dengan cara membukukan amanat
keselamatan itu dengan ilham Roh Kudus, yakni berupa Kitab Suci.
Sesudah Gereja Perdana, tradisi mengolah dan memperdalam
ungkapan iman yang ada dalam Kitab Suci (DV 8). Pengalaman iman sebagaimana
terumuskan dalam Kitab Suci selalu aktual dan punya arti bagi zaman sekarang
dan senantiasa harus dibaca, direnungkan dan dimengerti secara baru. Dengan
demikian, tradisi sebagai suatu proses pewartaan menyangkut persoalan
bagaimanakah seseorang dapat beriman? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia
jika tidak ada yang memberitakan-Nya (Rm 10,14).
Sumber tradisi
Tradisi bersumber pada pengajaran
para Rasul. Pengajaran ini dengan bimbingan Roh Kudus diteruskan kepada
para penggantinya, sehingga wahyu bisa diterima sepanjang zaman. Tradisi
berusaha terus menghayati dan memahami kekayaan iman yang terungkap dalam Kitab
Suci. Proses penghayatan dan pemahaman itu terlaksana dibawah terang Roh Kudus
di dalam Gereja, dibimbing oleh pimpinan Gereja. Jika Dewan Para Uskup dengan
Paus merumuskan kebenaran iman dalam bentuk dogma, maka ajaran resmi itu tidak berarti
suatu ajaran yang baru, apalagi wahyu lain, melainkan perumusan kembali sesuai
dengan tuntutan zaman. Yesus Kristus tetap sama, baik hari ini maupun kemarin
sampai selama-lamanya (Ibr 13,8), tetapi dunia berubah terus menerus. Maka
supaya Sabda Kristus tetap berarti perlu ditafsirkan dan diaktualkan bagi
angkatan baru. Tradisi menjadi gambaran Gereja yang hidup dan berkembang.
Tradisi meneruskan sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci, menerjemahkannya
sesuai zaman. Tradisi tidak bisa lepas dari Kitab Suci sebagai sumbernya,
sebaliknya Kitab Suci membutuhkan Tradisi untuk menterjemahkan Sabda Allah itu
(DV 9).
Dasar dan isi Tradisi
Dalam DV 7-8 dikatakan bahwa dasar dari tradisi
adalah kehendak Allah/Kristus sendiri yang mau menyelamatkan semua manusia.
Peranannya adalah menjadi jaminan bahwa Allah selalu menyertai dan membimbing
umat manusia dalam situasi dan kondisinya melalui Roh Kudus.
Masih dalam DV 8, apa yang menjadi isi tradisi
adalah segala segala sesuatu yang berupa pertolongan bagi umat Allah untuk
hidup suci dn meningkatkan iman (tradisio verbalis yakni ajaran Gereja,
tradisio realis yaitu hidup, cara bersikap, tata cara ibadat Gereja).
Macam tradisi
Ø Traditio Apostolica/divina
Yaitu
tradisi Gereja pada zaman para Rasul. Tradisi ini disebut juga traditio divina (tradisi suci) karena
Gereja dibentuk oleh Kristus dan para Rasul. Para Rasul mewartakan kesaksian
tentang Pribadi Yesus, sabda dan karya-Nya, serta ajaran-ajaran-Nya (tradisi
lisan). Tradisi para Rasul itu membeku dalam KS (tradisi tertulis), dan selanjutnya
menjadi tolok ukur bagi Gereja selanjutnya. Seluruh pewartaan para Rasul
itu, dalam hal-hal yang substansial tidak dapat ditambah/dikurangi.
Ø Traditio Eclesiastica
Yaitu
tradisi sesudah zaman para Rasul. Dalam tradisi ini wahyu Allah yang tercantum
dalam Kitab Suci direfleksikan dan didalami dengan bimbingan Roh Kudus dalam
berbagai situasi. Fungsi tradisi adalah merumuskan Sabda Allah terus menerus di
dalam Gereja sepanjang sejarah. Fungsi ini sudah dimulai sejak zaman para Bapa
Gereja hingga sekarang.
0 comments:
Post a Comment